Dilema Berbuka Puasa
Sebelum
bulan Ramadan bertamu, jauh-jauh hari sudah banyak teman yang mengajak acara
buka bersama. Sudah menjadi kebiasaan di masyarakat, bulan Ramadan menjadi
momen temu rindu di saat adzan Maghrib berkumandang syahdu.
Tahun-tahun
sebelumnya aku memang sangat antusias mengikuti momen-momen seperti itu. Karena
agenda saat Ramadhan inilah momen yang bisa dijadikan alasan untuk berkumpul
dan itu terjadi setahun sekali.
Baru tahun
ini aku merasa malas sekali menanggapi puluhan chat di grup organisasi kampus,
kelas kuliah, bahkan teman SMA yang merundingkan masalah buka bersama. Bukan bermaksud
menjauhi, sebenarnya juga ingin berkumpul bersama mereka, tapi di satu sisi aku
punya alasan kenapa lebih memilih buka sendiri di kosan. Lebih tepatnya buka
bersama teman-teman di kosan.
Ada banyak
agenda buka bersama, itu berarti akan ada banyak waktu yang terbuang untuk
mengikuti salat Maghrib tepat waktu dan salat tarawih. Kebanyakan orang lebih mengutamakan menu
berbuka dibandingkan salat sebagai kewajibannya.
Sekitar
lima hari lalu aku bingung menentukan pilihan. Awalnya, teman-teman kos sudah
ramai membicarakan buber (buka bersama). Aku tidak punya alasan untuk menolak,
karena saat itu aku memang lagi kosong di kos. Setelah mikir panjang, okelah aku ikut. Aku menanggapi
pesan grup kosan dengan menanyakan perihal tempatnya. “Tempat berbukanya ada
mushollanya nggak?” Daan, sama sekali tidak ada yang merespon pertanyaanku. Mereka
sibuk membicarakan harga dan view di
sana.
Kesal sekali.
Pernah kejadian di tahun lalu saat buka bersama, tempat makan tidak ada
mushollanya dan jauh dari masjid umum. Alhasil, salat Maghrib nyaris mendekati
waktu isya’ karena teman-teman bilang nanti saja cari masjidnya. Mau pergi
sendiri, tapi aku tidak bisa nyetir motor. Hikss T.T
Tapi di
grup yang lain, ini grup organisasi islami luar kampus. Saat mereka heboh membicarakan buka
bersama, aku sama sekali tidak merespon apa pun, hanya mengikuti obrolan yang
terus mengalir. Ada teman yang bilang, “Kita
buka bersamanya di rumah si X aja ya. Biar salat Maghribnya nggak keteteran.
Kita juga salat tarawih di rumah X sekalian.” Lama sekali aku baca pesan
teman itu berulang-ulang.
Ada perasaan
menyesal. Ah, kenapa undangan buka bersama organisasi ini datang terlambat. Aku
sudah mengiyakan buber anak kosan. Di tempat buber teman kosan memang ada
musholanya, tapi saat adzan Isya’ kami baru perjalanan pulang.
Sebenarnya
buka bersama itu bukan seberapa mahal menu berbuka, seberapa bagus tempatnya
agar foto yang kita abadikan lebih berwarna, dan seberapa lama kita mengobrol. Tapi
bagaimana kita membatalkan puasa dengan menu sederhana asalkan kewajiban salat
tak terlupa.
Allah
memang baik. Dari sekian banyak acara buka bersama, hanya satu yang terlaksana,
dan sisanya gagal karena bulan Ramadhan bertepatan dengan sibuk musim ujian. Dan
aku bersyukur akan itu.
4 komentar
Semoga puasanya lancar ya, mbak. Kalau acara buka bersama membuat ibadah kita tersendat, kok rasanya 'eman' ya :)
BalasHapusAmiin. Iya laya itu mbak :)
HapusAsyiik sekali. Haha
BalasHapusBiasaaaa~
Hapus