Perdebatan Dengan Ibu

by - 22.39

Saat aku belum cukup dewasa, dari ibu aku belajar banyak tentang hukum-hukum Islam. Dan sampai sekarang, segala ajaran yang beliau ajarkan melalui obrolan-obrolannya itu masih tersimpan rapi di kepingan memori.

Masih bisa kuingat, ibu pernah marah saat aku memakan darah ayam rebus. Saat itu usiaku masih empat tahun. Aku bermain di rumah tetangga yang berjualan soto ayam dengan kakak laki-lakiku. Saat kakak masih asyik bermain bola di sepetak tanah tetangga, aku diberi seperti daging sapi coklat kehitam-hitaman oleh tetangga tersebut. Tanpa bertanya apa yang dia beri, aku menerimanya dan mengunyah pelan-pelan. Belum sampai kutelan, kakak berlari cepat-cepat membuang daging itu jauh-jauh dariku. Aku lupa, apakah pemilik rumah saat itu melihat ulah kakak.

Aku menangis menghentak-hentakkan kaki ke tanah. Kakak memaksa menggendongku dan mengajak pulang. Aku memukul punggungnya keras-keras saat perjalanan. Rumahku dan tetangga itu tidak terlalu jauh—hanya sekitar sepuluh langkah.


Aku menangis meraung-raung mengadu pada ibu, kuceritakan bahwa kakak membuang makananku. Setelah kakak menjelaskan apa yang dia buang, kulihat ibu sama sekali tidak memarahi kakakku. Beliau malah memberitahuku agar tidak menerimanya jika diberi lagi. Ibu bilang, itu darah ayam yang direbus lalu digoreng. Rasanya memang enak, tapi hukumnya haram jika dimakan orang Islam—begitulah ibu menjelaskan. Semenjak saat itulah aku tahu, bahwa darah itu haram.

Lalu saat usiaku bertambah setahun, ibu menyekolahkanku di TPQ dekat rumah. Sekolah yang masuk setiap sore itu berdekatan dengan Masjid di desa. Suatu ketika, bapak marbot sedang membersihkan masjid dan aku sedang bermain-main di teras masjid dengan temanku.

Lalu bapak marbot itu memanggil kami dan menyuruh mengambil uang recehan di dalam kotak amal yang tidak terkunci. Aku dan seorang temanku menurut saja. Kami gunakan uang yang saat itu hanya seribu perak untuk membeli es dan beberapa makanan ringan. Pada waktu itu, harga jajanan masih sangat murah. Dengan uang seribu saja aku sudah kenyang membeli banyak jajan.

Sepulang dari TPQ, aku bercerita kepada ibu bahwa aku mendapat rezeki dari bapak marbot. Kuberitahu bahwa ada uang recehan di kotak amal. Bukan senyum yang terlukis di bibirnya, tapi semburat amarah terlihat jelas menutupi wajah ayunya. Ibu marah parah. Aku menjelaskan, bapak marbotlah yang menyuruhku untuk mengambilnya. Ibu tidak menerima alasanku, bagaimana pun itu bukan uang yang halal dimakan. Itu adalah uang infaq untuk masjid. Besoknya, ibu memberi uang lebih untuk mengganti uang yang aku gunakan kemarin ke kotak amal. Dan aku tidak dibolehkan lagi memakan uang infaq.

Begitulah, aku selalu belajar tentang banyak hal dari ibu. Aku percaya ucapan ibu selalu benar. Ibu tidak pernah menjerumuskan aku pada hal yang salah.

Lalu kemarin, ada hal yang mengubah pikiranku tentang ibu. dan sampai sekarang, rasanya jengkel sekali. Aku adalah orang yang baru mengenal Islam beberapa waktu dekat ini. Meskipun aku adalah orang yang baru belajar tentang Islam, tapi aku tidak ingin menjalankan syariat Islam setengah-setengah.

Sudah enam bulan terakhir aku belajar untuk tidak bersalaman dengan lelaki yang bukan mahramku. Aku berusaha jika bertemu dengan teman akrab tidak mengajaknya bersalaman seeprti dulu. Dan teman itu pun juga tidak mengajakku bersalaman. Alhamdulillah, dalam waktu enam bulan terakhir aku jarang sekali bersalaman dengan laki-laki yang bukan mahramku. Yang kuingat, hanya sekali saat teman akrabku terlanjur mengulurkan tangan dan aku sungkan untuk menolaknya. Dan setelah itu, rasanya berdosa sekali. Amat menyesali perbuatanku yang terlalu sungkan dengan manusia.

Sudah lama aku tak pulang, dan pasti ibu akan melihat banyak sekali perubahan yang ada pada diriku. Entah itu cara berjilbab, berpakaian, mungkin juga kebiasaan beribadahku. Ibu tahu aku mulai berjilbab lebar, dan beliau tidak melarangnya. Tapi, ada satu hal yang ternyata ibu tidak sepemahaman denganku, yaitu berjabat tangan dengan laki-laki bukan mahram.

Suatu siang, aku tertidur di depan TV tanpa mengenakan jilbab. Tanpa kuketahui, ada sepupu laki-lakiku membuka pintu rumah dan masuk menemuiku. Karena kami jarang bertemu, maka dia mengajakku bersalaman dan aku menerima uluran tangannya. Sungguh, setelah itu aku merasa menyesal sekali. Ingin aku menolak uluran tangannya, tapi saat itu aku sedang tidak berjilbab, rasanya tidak mungkin aku menolaknya. Kalau saja aku berjilbab, mungkin masih pantas kalau aku menolaknya. Aku marah dengan kecerobohanku yang tertidur di depan TV.

Aku menggerutu di samping ibu setelah kepulangan sepupuku itu, “Kan, aku jadi salaman sama yang bukan mahramku.”

“Halah, kan sama saudara sendiri ya ndak apa-apa.”

“Dia itu bukan mahramku, Buk.”

Umumnya laki-laki dan perempuan salaman itu ndak apa-apa, daripada nanti orangnya kecewa ulurannya kamu tolak. Yang penting kan kita salamannya ndak pake perasaan yang ndak-ndak.”

“Sebagai orang Islam, kita itu mengikuti hukum Islam yang sebenarnya, Buk, bukan pada umumnya.”

“Ya kalau kamu orang Darul Hadis, baru ndak boleh salaman sama yang bukan mahram.”

Ndak peduli Darul Hadis, Muhammadiyah, atau pun NU, hukum dalam Islam menyentuh yang bukan mahram itu haram.”

Beliau lalu diam tanpa membantah.

Ah, ibuk. Sebenarnya aku tidak suka perdebatan seperti ini. Bukan bermaksud ingin menentangmu, Buk. Aku hanya ingin mengutarakan kebenaran.

Ingin sekali rasanya kau mendukungku, Buk. Kalau saja banyak orang mencela karena aku tidak berbuat seperti orang pada umumnya, aku akan tetap tegar menghadapi segala desas-desus itu jika kau ada di sampingku dan meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja.

Aku merasa kehilangan sosok ibu yang selama ini menjadi panutanku. Kepercayaanku kepada beliau mendadak runtuh begitu saja. Aku menelan pil kekecewaan yang begitu pahit. Ingin marah, tapi bukan begitulah cara untuk mengutarakan kebenaran.

Aku yakin, sebenarnya dalam hati kecil ibu sependapat denganku, akan tetapi beliau sudah mengikuti kebiasaan masyarakat pada umumnya. Karena aku masih ingat jelas, saat ibu melarang anak-anaknya berpacaran dan berboncengan dengan yang bukan mahramnya. Berarti sebenarnya ibu tahu tentang hukumnya.

Tapi apalah arti dipandang baik oleh orang bumi, jika ternyata yang kita lakukan malah membuat menjauhi penduduk langit. Biar saja, aku dikatakan sok suci, asalkan yang kulakukan sesuai syariat-Nya.

Baru kali ini, aku menangis karenamu—karena perbedaan kita. Tapi bagaimana pun, Bu. Ibu tetap orang tua yang akan selalu kuhormati. Doa atas nama ibu selalu berbaris rapi mengangkasa ke langit.


Dan ibu, tetaplah ibuku. Semoga kebaikan dan hidayah selalu menyertaimu.

You May Also Like

0 komentar