Perdebatan Dengan Ibu
Saat aku
belum cukup dewasa, dari ibu aku belajar banyak tentang hukum-hukum Islam. Dan sampai
sekarang, segala ajaran yang beliau ajarkan melalui obrolan-obrolannya itu
masih tersimpan rapi di kepingan memori.
Masih
bisa kuingat, ibu pernah marah saat aku memakan darah ayam rebus. Saat itu
usiaku masih empat tahun. Aku bermain di rumah tetangga yang berjualan soto
ayam dengan kakak laki-lakiku. Saat kakak masih asyik bermain bola di sepetak
tanah tetangga, aku diberi seperti daging sapi coklat kehitam-hitaman oleh
tetangga tersebut. Tanpa bertanya apa yang dia beri, aku menerimanya dan
mengunyah pelan-pelan. Belum sampai kutelan, kakak berlari cepat-cepat membuang
daging itu jauh-jauh dariku. Aku lupa, apakah pemilik rumah saat itu melihat
ulah kakak.
Aku menangis
menghentak-hentakkan kaki ke tanah. Kakak memaksa menggendongku dan mengajak
pulang. Aku memukul punggungnya keras-keras saat perjalanan. Rumahku dan
tetangga itu tidak terlalu jauh—hanya sekitar sepuluh langkah.
Aku menangis
meraung-raung mengadu pada ibu, kuceritakan bahwa kakak membuang makananku. Setelah
kakak menjelaskan apa yang dia buang, kulihat ibu sama sekali tidak memarahi
kakakku. Beliau malah memberitahuku agar tidak menerimanya jika diberi lagi. Ibu
bilang, itu darah ayam yang direbus lalu digoreng. Rasanya memang enak, tapi
hukumnya haram jika dimakan orang Islam—begitulah ibu menjelaskan. Semenjak
saat itulah aku tahu, bahwa darah itu haram.
Lalu saat
usiaku bertambah setahun, ibu menyekolahkanku di TPQ dekat rumah. Sekolah yang
masuk setiap sore itu berdekatan dengan Masjid di desa. Suatu ketika, bapak
marbot sedang membersihkan masjid dan aku sedang bermain-main di teras masjid
dengan temanku.
Lalu
bapak marbot itu memanggil kami dan menyuruh mengambil uang recehan di dalam
kotak amal yang tidak terkunci. Aku dan seorang temanku menurut saja. Kami
gunakan uang yang saat itu hanya seribu perak untuk membeli es dan beberapa
makanan ringan. Pada waktu itu, harga jajanan masih sangat murah. Dengan uang
seribu saja aku sudah kenyang membeli banyak jajan.
Sepulang
dari TPQ, aku bercerita kepada ibu bahwa aku mendapat rezeki dari bapak marbot.
Kuberitahu bahwa ada uang recehan di kotak amal. Bukan senyum yang terlukis di
bibirnya, tapi semburat amarah terlihat jelas menutupi wajah ayunya. Ibu marah
parah. Aku menjelaskan, bapak marbotlah yang menyuruhku untuk mengambilnya. Ibu
tidak menerima alasanku, bagaimana pun itu bukan uang yang halal dimakan. Itu adalah
uang infaq untuk masjid. Besoknya, ibu memberi uang lebih untuk mengganti uang
yang aku gunakan kemarin ke kotak amal. Dan aku tidak dibolehkan lagi memakan
uang infaq.
Begitulah,
aku selalu belajar tentang banyak hal dari ibu. Aku percaya ucapan ibu selalu
benar. Ibu tidak pernah menjerumuskan aku pada hal yang salah.
Lalu kemarin,
ada hal yang mengubah pikiranku tentang ibu. dan sampai sekarang, rasanya
jengkel sekali. Aku adalah orang yang baru mengenal Islam beberapa waktu dekat
ini. Meskipun aku adalah orang yang baru belajar tentang Islam, tapi aku tidak
ingin menjalankan syariat Islam setengah-setengah.
Sudah enam
bulan terakhir aku belajar untuk tidak bersalaman dengan lelaki yang bukan
mahramku. Aku berusaha jika bertemu dengan teman akrab tidak mengajaknya
bersalaman seeprti dulu. Dan teman itu pun juga tidak mengajakku bersalaman. Alhamdulillah,
dalam waktu enam bulan terakhir aku jarang sekali bersalaman dengan laki-laki
yang bukan mahramku. Yang kuingat, hanya sekali saat teman akrabku terlanjur
mengulurkan tangan dan aku sungkan untuk menolaknya. Dan setelah itu, rasanya
berdosa sekali. Amat menyesali perbuatanku yang terlalu sungkan dengan manusia.
Sudah lama
aku tak pulang, dan pasti ibu akan melihat banyak sekali perubahan yang ada
pada diriku. Entah itu cara berjilbab, berpakaian, mungkin juga kebiasaan
beribadahku. Ibu tahu aku mulai berjilbab lebar, dan beliau tidak melarangnya. Tapi,
ada satu hal yang ternyata ibu tidak sepemahaman denganku, yaitu berjabat tangan
dengan laki-laki bukan mahram.
Suatu siang,
aku tertidur di depan TV tanpa mengenakan jilbab. Tanpa kuketahui, ada sepupu
laki-lakiku membuka pintu rumah dan masuk menemuiku. Karena kami jarang
bertemu, maka dia mengajakku bersalaman dan aku menerima uluran tangannya. Sungguh,
setelah itu aku merasa menyesal sekali. Ingin aku menolak uluran tangannya,
tapi saat itu aku sedang tidak berjilbab, rasanya tidak mungkin aku menolaknya.
Kalau saja aku berjilbab, mungkin masih pantas kalau aku menolaknya. Aku marah
dengan kecerobohanku yang tertidur di depan TV.
Aku menggerutu
di samping ibu setelah kepulangan sepupuku itu, “Kan, aku jadi salaman sama
yang bukan mahramku.”
“Halah,
kan sama saudara sendiri ya ndak apa-apa.”
“Dia
itu bukan mahramku, Buk.”
“Umumnya laki-laki dan perempuan
salaman itu ndak apa-apa, daripada
nanti orangnya kecewa ulurannya kamu tolak. Yang penting kan kita salamannya ndak pake perasaan yang ndak-ndak.”
“Sebagai
orang Islam, kita itu mengikuti hukum Islam yang sebenarnya, Buk, bukan pada
umumnya.”
“Ya
kalau kamu orang Darul Hadis, baru ndak
boleh salaman sama yang bukan mahram.”
“Ndak peduli Darul Hadis, Muhammadiyah,
atau pun NU, hukum dalam Islam menyentuh yang bukan mahram itu haram.”
Beliau
lalu diam tanpa membantah.
Ah,
ibuk. Sebenarnya aku tidak suka perdebatan seperti ini. Bukan bermaksud ingin
menentangmu, Buk. Aku hanya ingin mengutarakan kebenaran.
Ingin sekali
rasanya kau mendukungku, Buk. Kalau saja banyak orang mencela karena aku tidak
berbuat seperti orang pada umumnya, aku akan tetap tegar menghadapi segala
desas-desus itu jika kau ada di sampingku dan meyakinkan bahwa semuanya
baik-baik saja.
Aku merasa
kehilangan sosok ibu yang selama ini menjadi panutanku. Kepercayaanku kepada
beliau mendadak runtuh begitu saja. Aku menelan pil kekecewaan yang begitu
pahit. Ingin marah, tapi bukan begitulah cara untuk mengutarakan kebenaran.
Aku yakin,
sebenarnya dalam hati kecil ibu sependapat denganku, akan tetapi beliau sudah
mengikuti kebiasaan masyarakat pada umumnya. Karena aku masih ingat jelas, saat
ibu melarang anak-anaknya berpacaran dan berboncengan dengan yang bukan
mahramnya. Berarti sebenarnya ibu tahu tentang hukumnya.
Tapi apalah
arti dipandang baik oleh orang bumi, jika ternyata yang kita lakukan malah
membuat menjauhi penduduk langit. Biar saja, aku dikatakan sok suci, asalkan
yang kulakukan sesuai syariat-Nya.
Baru kali
ini, aku menangis karenamu—karena perbedaan kita. Tapi bagaimana pun, Bu. Ibu
tetap orang tua yang akan selalu kuhormati. Doa atas nama ibu selalu berbaris
rapi mengangkasa ke langit.
Dan ibu,
tetaplah ibuku. Semoga kebaikan dan hidayah selalu menyertaimu.
0 komentar