Pelajaran Dari Lantai
Mencari
teman itu mudah, tapi menjaga kelanggengannya yang sulit. Kadang, sebuah
pertemanan bisa retak karena salah paham. Hanya karena pesan whatsapp yang di read tanpa ada balasan bisa menimbulkan
prasangka yang tidak-tidak. Padahal, kadangkala centang pesan whatsaap sudah
biru, meskipun si penerima belum merasa membaca. Kadang berniat nanti akan
membalas lalu lupa. Begitulah di era instans ini, kesetiakawanan seseorang
dinilai juga sangat instans—hanya dari seberapa cepat dia membalas pesan
whatsapp.
Alangkah
tidak lucunya, jika aku dijauhi oleh para tetangga kos hanya karena lantai
kamar. Aku bukan manusia seperti kisah-kisah sahabat Rasulullah yang abadi
dalam dongeng pengantar tidur karena kesabarannya. Untuk menjadi orang yang
sabar, harus berlari maraton berkilo-kilo jauhnya. Karena, kesabaran tak
setipis mudahnya merindukan seseorang.
Di rumah,
ibu membiasakan mencuci kaki dan menggunakan sandal khusus dalam rumah sebelum
masuk kamar salat. Di mana pun itu, tempat yang digunakan salat harus suci. Begitulah,
aku sering diajari. Ibu bisa marah parah saat mengetahui anak-anaknya tidak
mengindahkan peraturan tak tertulis yang dibuatnya. Semakin dewasa, itu sudah
menjadi kebiasaan dan rasanya di kaki seperti ada kotoran yang menempel jika
tidak melaksanakan perintah beliau.
Beberapa
kali aku menumpang salat di rumah orang lain, kutahu banyak dari mereka juga
mempunyai peraturan yang sama seperti di rumah. Pernah suatu ketika aku bertamu
ke sebuah rumah seorang ibu yang memiliki anak balita dan seusia TK. Sebelum masuk
kamar salat, aku dianjurkan memakai sandal jepit yang khusus dipakai di dalam
rumah. Beliau bilang, lantainya sering terkena ompol anaknya dan nanti kakiku
terkena najis. Pernah juga aku berkunjung ke suatu rumah yang anak-anaknya
sudah dewasa. Tapi peraturan yang sama juga kutemukan di sana. Kurasa, ini
sikap kehati-hatian untuk menjaga kesucian seseorang yang akan melaksanakan
salat.
Sesuatu
yang sudah kulakukan bertahun-tahun, bahkan sudah mendarah daging di ingatan
itu membuatku geram jika dilanggar seseorang di tempatku. Hanya karena sebuah
lantai, pahala puasaku bisa jadi berkurang hampir setiap harinya. Teman-teman
kos begitu mudahnya keluar-masuk kamarku yang juga kugunakan untuk salat tanpa menggunakan sandal. Kalau depan
kamar adalah lantai bersih yang tidak dilewati kaki bersandal, maybe it’s no problem for me. Akan tetapi,
lantai depan kamar itu kotor karena dilewati sandal dan sepatu yang berbekas
kotoran dari aspal jalanan. Bahkan, tak jarang kucing tetangga juga ikut
menyumbang kotoran di lantai itu.
Kalau mereka
masuk ke kamarku tidak bersandal, otomatis jejak-jejak yang tertinggal juga
meninggalkan kotoran secara kasat mata. Meski jika dilihat dengan mata telanjang,
lantainya memang tetap bersih. Dongkol sekali rasanya melihat lantai kamarku
dianggap seperti jalanan. Bisa jadi, mereka beranggapan kamarku bukanlah masjid yang selalu dijaga kesuciannya.
Tapi aku
terlalu lemah untuk menegur mereka. Ingin mengingatkan, tapi takut mereka akan
sangsi datang ke kamarku. Aku takut dianggap terlalu fanatik dengan kebersihan.
Ketakutanku ini bukan karena alasan. Teman-temanku hafal jika aku mempunyai
kebiasaan mengepel lantai saat hari libur. Lalu ada satu teman yang bilang
kamarku itu mirip Masjid LDII yang sedikit-sedikit harus dipel. Tersinggung memang,
apalagi aku ini tipe orang yang sensitif. Tapi tak terlalu aku pikirkan. Kuanggap
itu hanya sebagai guyonan.
Semenjak
saat itu, aku mengepel lantai di waktu kosan sedang sepi. Lelah memang, harus
mengepel lantai setiap hari. Mengingat orang yang datang tanpa alas kaki
intensitasnya lebih sering daripada dulu sebelum aku lebih akrab dengan mereka.
Tapi pikirku, lelah ini tidak seberapa dibandingkan jika aku lelah melihat
mereka tak mau lagi datang ke kamarku.
Perasaan
kesal itu datang hampir setiap hari dan aku jengah sekali melihat ulah mereka.
Tapi aku belajar sebuah kesabaran dari orang sebelumku, yaitu Hasan al-Bashri .
Masalah lantai kamarku ini seujung kuku pun tidak ada
apa-apanya dibandingkan kisah beliau yang begitu sabarnya mendapati ubin kamar
mandi tetangga atasnya bocor. Sehingga air kotor merembes masuk ke kamar
mandinya. Tanpa protes, beliau hanya menaruh ember untuk menampung airnya. Dan,
itu beliau lakukan tidak hanya satu ada dua minggu, tapi dua puluh tahun. Lalu tetangga
yang beragama Nasrani itu mengetahui tentang bocor tersebut saat menjenguk Hasan al-Bashri yang sedang sakit.
Dari situ aku berpikir, mungkin mereka seperti itu atas
ketidaktahuannya. Mengajarkan sesuatu yang baik itu memang perlu, tapi menjaga
hubungan baik juga perlu. Dan selagi itu bukanlah kebiasaan yang merugikan atau
sikap zalim, tidak perlu aku memperpanjang urusannya. Hatiku akan bersih dari
kesal seiring seringnya aku mengusap lantai kamar. Dan setiap usapan itu, aku
belajar arti dari kesabaran.
2 komentar
Sebaiknya dibicarakan saja dengan teman-teman, mbak Anik. InsyaALLah hati mereka yang lapang akan ikhlas menerima segala masukan :)
BalasHapusMasih takut, Mbak. hoho
BalasHapus