Pelajaran Dari Lantai

by - 01.42

Mencari teman itu mudah, tapi menjaga kelanggengannya yang sulit. Kadang, sebuah pertemanan bisa retak karena salah paham. Hanya karena pesan whatsapp yang di read tanpa ada balasan bisa menimbulkan prasangka yang tidak-tidak. Padahal, kadangkala centang pesan whatsaap sudah biru, meskipun si penerima belum merasa membaca. Kadang berniat nanti akan membalas lalu lupa. Begitulah di era instans ini, kesetiakawanan seseorang dinilai juga sangat instans—hanya dari seberapa cepat dia membalas pesan whatsapp.

Alangkah tidak lucunya, jika aku dijauhi oleh para tetangga kos hanya karena lantai kamar. Aku bukan manusia seperti kisah-kisah sahabat Rasulullah yang abadi dalam dongeng pengantar tidur karena kesabarannya. Untuk menjadi orang yang sabar, harus berlari maraton berkilo-kilo jauhnya. Karena, kesabaran tak setipis mudahnya merindukan seseorang.

Di rumah, ibu membiasakan mencuci kaki dan menggunakan sandal khusus dalam rumah sebelum masuk kamar salat. Di mana pun itu, tempat yang digunakan salat harus suci. Begitulah, aku sering diajari. Ibu bisa marah parah saat mengetahui anak-anaknya tidak mengindahkan peraturan tak tertulis yang dibuatnya. Semakin dewasa, itu sudah menjadi kebiasaan dan rasanya di kaki seperti ada kotoran yang menempel jika tidak melaksanakan perintah beliau.


Beberapa kali aku menumpang salat di rumah orang lain, kutahu banyak dari mereka juga mempunyai peraturan yang sama seperti di rumah. Pernah suatu ketika aku bertamu ke sebuah rumah seorang ibu yang memiliki anak balita dan seusia TK. Sebelum masuk kamar salat, aku dianjurkan memakai sandal jepit yang khusus dipakai di dalam rumah. Beliau bilang, lantainya sering terkena ompol anaknya dan nanti kakiku terkena najis. Pernah juga aku berkunjung ke suatu rumah yang anak-anaknya sudah dewasa. Tapi peraturan yang sama juga kutemukan di sana. Kurasa, ini sikap kehati-hatian untuk menjaga kesucian seseorang yang akan melaksanakan salat.

Sesuatu yang sudah kulakukan bertahun-tahun, bahkan sudah mendarah daging di ingatan itu membuatku geram jika dilanggar seseorang di tempatku. Hanya karena sebuah lantai, pahala puasaku bisa jadi berkurang hampir setiap harinya. Teman-teman kos begitu mudahnya keluar-masuk kamarku yang juga kugunakan untuk salat tanpa menggunakan sandal. Kalau depan kamar adalah lantai bersih yang tidak dilewati kaki bersandal, maybe it’s no problem for me. Akan tetapi, lantai depan kamar itu kotor karena dilewati sandal dan sepatu yang berbekas kotoran dari aspal jalanan. Bahkan, tak jarang kucing tetangga juga ikut menyumbang kotoran di lantai itu.

Kalau mereka masuk ke kamarku tidak bersandal, otomatis jejak-jejak yang tertinggal juga meninggalkan kotoran secara kasat mata. Meski jika dilihat dengan mata telanjang, lantainya memang tetap bersih. Dongkol sekali rasanya melihat lantai kamarku dianggap seperti jalanan. Bisa jadi, mereka beranggapan kamarku bukanlah masjid yang selalu dijaga kesuciannya.

Tapi aku terlalu lemah untuk menegur mereka. Ingin mengingatkan, tapi takut mereka akan sangsi datang ke kamarku. Aku takut dianggap terlalu fanatik dengan kebersihan. Ketakutanku ini bukan karena alasan. Teman-temanku hafal jika aku mempunyai kebiasaan mengepel lantai saat hari libur. Lalu ada satu teman yang bilang kamarku itu mirip Masjid LDII yang sedikit-sedikit harus dipel. Tersinggung memang, apalagi aku ini tipe orang yang sensitif. Tapi tak terlalu aku pikirkan. Kuanggap itu hanya sebagai guyonan.

Semenjak saat itu, aku mengepel lantai di waktu kosan sedang sepi. Lelah memang, harus mengepel lantai setiap hari. Mengingat orang yang datang tanpa alas kaki intensitasnya lebih sering daripada dulu sebelum aku lebih akrab dengan mereka. Tapi pikirku, lelah ini tidak seberapa dibandingkan jika aku lelah melihat mereka tak mau lagi datang ke kamarku.

Perasaan kesal itu datang hampir setiap hari dan aku jengah sekali melihat ulah mereka. Tapi aku belajar sebuah kesabaran dari orang sebelumku, yaitu  Hasan al-Bashri .

Masalah lantai kamarku ini seujung kuku pun tidak ada apa-apanya dibandingkan kisah beliau yang begitu sabarnya mendapati ubin kamar mandi tetangga atasnya bocor. Sehingga air kotor merembes masuk ke kamar mandinya. Tanpa protes, beliau hanya menaruh ember untuk menampung airnya. Dan, itu beliau lakukan tidak hanya satu ada dua minggu, tapi dua puluh tahun. Lalu tetangga yang beragama Nasrani itu mengetahui tentang bocor tersebut saat menjenguk Hasan al-Bashri yang sedang sakit.


Dari situ aku berpikir, mungkin mereka seperti itu atas ketidaktahuannya. Mengajarkan sesuatu yang baik itu memang perlu, tapi menjaga hubungan baik juga perlu. Dan selagi itu bukanlah kebiasaan yang merugikan atau sikap zalim, tidak perlu aku memperpanjang urusannya. Hatiku akan bersih dari kesal seiring seringnya aku mengusap lantai kamar. Dan setiap usapan itu, aku belajar arti dari kesabaran.

You May Also Like

2 komentar

  1. Sebaiknya dibicarakan saja dengan teman-teman, mbak Anik. InsyaALLah hati mereka yang lapang akan ikhlas menerima segala masukan :)

    BalasHapus