Seni Berkomunikasi

by - 20.28

Pixabay.com
Akhir tahun lalu, aku dan teman-teman relawan ada acara besar serentak senasional yaitu Indonesia Mendongeng. Kala itu aku sebagai koordinator acara. Sie acara bertugas untuk mencarikan siapa pendongeng di acara nantinya. Hasil kesepakatan kami mengundang pendongeng kondang dan membuat sayembara mendongeng. Setelah pamflet sayembara disebar di media sosial, salah satu panitia bagian dokumentasi menghubungiku.

"Mbak Anik, kalau panitia ikut sayembara mendongeng boleh nggak?" 

Dengan mantap aku langsung menjawab, "Boleh, Dek. Tapi tetap ikut seleksi dengan peserta lainnya, ya!" 

Setelah itu dia kuminta untuk mengisi formulir pendaftaran online. Kubaca prestasinya di bidang mendongeng, ternyata dia pernah menjuarai mendongeng tingkat kota. Dua kali seingatku. Suatu ketika aku dan dia mempunyai kesempatan berdua pergi ke suatu tempat untuk belanja perlengkapan acara.


"Dek, kenapa nggak bilang dari awal sih kalo bisa dongeng?"

"Salah Mbak Anik sendiri sih nggak tanya." Dia cengengesan.

"Yaah, siapa juga yang bakal nyangka kamu bakat dongeng. Belajar dari mana, Dek?"

"Otodidak saja, Mbak. Dari kecil kebiasaan tiap pulang sekolah ditanya sama ibu 'gimana hari ini?' trus akhirnya punya kebiasaan cerita sampai sekarang."

Aku terdiam. Pikiranku melompat jauh ke belakang mengingat komunikasiku dengan ibu. Hubunganku dengan orangtua memang tidak bisa dikatakan buruk, tapi juga belum bisa dikatakan baik. 

Aku menyadari bahwa orangtuaku bukan orang yang berpendidikan tinggi yang paham seni berkomunikasi dengan anak atau ilmu parenting. Tapi aku melihat bapak dan ibu bukan orang yang pandai mengekspresikan kasih sayangnya. Aku paham kok mereka sangat menyayangi anak-anaknya melalui perhatian mereka. Tapi semacam sentuhan kecil, mencium pipi, memeluk, atau sekadar menyandarkan kepala di bahu mereka merupakan hal yang sulit untuk dilakukan. Entah kenapa, antara kami hal itu sangat langka bahkan malu untuk dilakukan. Aku bukan orang yang suka bercerita kepada orangtua. Hanya hal-hal yang umum saja dan itu sepenggal-penggal. Aku merasa antara hati kami ada jarak yang membentang. Meski ada ikatan kasih sayang, tapi entahlah aku bingung bagaimana menjelaskannya. 

Jika keluarga lain mengucapkan selamat ulang tahun atau hari ibu, tidak sama sekali di keluarga kami. Saat berpisah hanya mencium tangan mereka. Aku belum pernah merasakan dicium keningku oleh bapak atau ibu. Miris ya :( untuk mendahului pun aku juga malu. Karena kita tidak dibiasakan sejak kecil. Begitu juga kakak-kakakku, juga tak ada yang terbuka perihal perasaannya. Aku kadang iri melihat keluarga-keluarga di luar sana yang terlihat begitu hangatnya berpegangan tangan atau berpelukan. 

Malam kemarin sebelum tidur, ada sebuah pikiran masuk dengan sendirinya. Ada suara dari diriku sendiri. Suara itu bilang seperti ini, kelak anak-anakmu tidak hanya membutuhkan uang, sandang, pangan, papan, atau sekolah tinggi. Karena sebenarnya itu semua hanyalah pelengkap untuk pendidikan anak. Dasar pendidikan yang sebenarnya adalah ketika pelajaran dari orangtua sendiri. Bagaimana orangtua mengajari kasih sayang, bersikap lembut, memanajemen diri, dan lainnya. 

Orangtua harus bisa menjadi teman, pendengar untuk anak-anaknya. Sehingga anak-anaknya tidak mencari perhatian di luar rumahnya. Maka dari itu, sering aku berbicara dengan diriku sendiri, mulai sekarang belajar untuk mendengar, ya. Tidak hanya menggunakan telinga, tapi juga hati. Kelak ada cerita-cerita menakjubkan dari suami dan anak-anakku yang harus didengar. Ada hati mereka yang harus aku rengkuh dengan kasih sayang. Ada tangan yang harus aku genggam kuat, menguatkannya pada segala pelik kehidupan.

(Calon) istri dan (calon) Ibumu ini sedang belajar banyak hal sebelum bertemu dengan kalian. 


You May Also Like

0 komentar