Riuh Dalam Sepi
Hampir dua bulan
aku terasingkan di kota orang. Sendiri. Tak ada teman dan saudara. Aku sudah
terbiasa merantau dan kemana-mana sendiri, urusan survive di kota orang bukan lagi hal baru. Ya, meski aku belum
pandai mengatur diri, tapi setidaknya aku bukan perempuan yang baru saja
menjajaki rasanya merantau. Setidaknya, sudah ada secuil ilmu dan pengalaman
semasa kuliah dulu. Masalah mengatur keuangan, kegiatan, dan lainnya insyaallah
mampu kujalani sendiri. Berbekal paketan internet, gmaps, google, dan aplikasi
ojek online aku bisa melakukan sesukaku dan kemana pun kumau tanpa merumitkan
ini itu.
Namun, Allah
menciptakanku sebagai mahluk sosial yang tidak hanya bisa hidup berbekal
fasilitas internet. Aku memang bisa mengusir kebosanan dengan membuka media
sosial berulang kali, streaming film berjam-jam, atau mengunyah banyak buku
online di aplikasi perpustakaan. Sayangnya, aku tetaplah manusia yang rindu
hangatnya kebersamaan. Rindu bertemu dan berbincang dengan banyak orang. Meski kuakui,
kadang aku lebih suka untuk berdiam diri di pojokan kamar.
Semasa kuliah
dulu, aku selalu tak mengganti baju sepulang kuliah. Meletakkan tas dan kaos
kaki di sembarang tempat di sudut kamar sebelahku. Lalu aku selonjoran di
lantai atau menggeser tempat tidur teman kosku. Aku akan bercerita apa saja
tentang keseharianku waktu itu. Entah tentang dosen yang telat datang, teman
kelas yang menyebalkan, atau tema diskusi di kelas yang begitu menarik. Semua hal
kuceritakan. Aku senang didengarkan, dan aku lega mereka begitu khidmat
mengiyakan setiap uraian ceritaku. Lebih senangnya lagi, mereka selalu
ketagihan untuk mendengarkan ceritaku. Mereka suka aku mendongeng katanya. Padahal
aku tidak sedang mengarang cerita, hanya
saja aku lebih mudah mengingat hal-hal yang benar-benar kuperhatikan dan
membagikannya ke orang lain. Apalagi dua teman sekamar ini menyambut setiap
ceritaku suka cita, begitu riang dan semangatnyalah diriku untuk terus
melanjutkan rutinitasku bercerita.
Ketika mereka
lebih dulu lulus daripada aku, aku tak begitu khawatir. Karena masih ada teman
organisasi lain yang sering kutemui saat rapat atau kita sekadar keluar untuk
makan. Dimana pun itu, selalu ada pembicaraan hangat yang kulakukan dengan
teman-teman. Ada obrolan kecil yang kami lontarkan sembari menunggu hujan,
pesanan makan datang, atau menunggu lampu merah di perempatan. Hidupku tak
pernah kesepian. Aku merasa setiap hari hari-hariku riuh dengan suara
orang-orang. Sampai aku tak sempat mengajak bicara diriku sendiri, apalagi yang
memiliki seluruh diriku, yaitu Allah.
Lalu sekarang,
Allah menempatkan diriku tak terlalu jauh dari kota kelahiran. Hanya dua jam
perjalanan menggunakan kereta api. Tantangan di sini juga tidak terlalu terasa.
Karena dari segi bahasa, budaya, dan makanan nyaris sama dengan kota
kelahiranku. Berbeda dengan kota semasa kuliah dulu, dimana aku harus
menghadapi banyak hal berbeda di dalamnya. Ketika aku masuk pada sebuah kota
yang berbeda budaya, aku bisa melewatinya. Tapi kini, ketika aku tinggal di
kota yang menurutku memberi banyak kemudahan, nyaris setiap hari aku merasa
kepayahan. Karena satu hal yaitu K E S E
P I A N.
Tak ada lagi
tempat pulang untuk cerita. Maksudku untuk bercerita face to face. Kalau orangtua, pastilah aku selalu cerita apa saja. Tapi
yang aku maksud adalah seseorang yang bisa kuajak ngobrol secara langsung
sambil menikmati remasan mie instans, semangkuk mie rebus kuah, atau sosis
bakar di pinggir jalan. Aku lebih suka bercerita secara langsung, karena
waktuku tak tersita untuk mengetik pesan panjang lebar, menunggu balasan,
merekam pesan suara, atau video call
yang terjeda karena sinyal memburuk. Kumpulan menit-menit yang terbuang itu
seharusnya bisa lebih manis jika digunakan untuk saling menatap atau memberikan
sentuhan kepada teman ceritaku. Ketika aku bersedih, ada yang langsung bisa
memeluk, menepuk bahuku pelan-pelan, atau ada tangan yang kuremas ketika aku
merasakan getirnya hidup ini.
Dengan begini,
aku menjadi lebih menghargai pertemuan. Meski kadang orang yang kutemui tak
sesuai dengan apa yang aku mau, aku selalu bilang pada diri sendiri, “Allah mempertemukanmu dengan setiap orang
pasti ada alasan dan hikmah di dalamnya.” Ya, manusia itu bermacam-macam. Kita
tak harus menyukai semuanya, namun juga tak boleh membenci satu atau semuanya. Bagaimana
pun itu, mereka unik dengan diri mereka masing-masing. Pun aku juga belum tentu
menjadi orang yang bisa membuat orang lain nyaman dan senang. Jika aku tak
suka, cukup dengarkan. Jika suka, masuklah dalam obrolan. Selalu begitu yang
kulakukan. Itulah kenapa kadang satu orang menilaiku tak sama dengan orang
lainnya. Karena aku bisa saja menjadi pendiam atau orang yang banyak menanggapi
obrolan. Ya, alasannya sangat simple, tergantung kenyamanan.
Kemarin aku
membaca novel Bidadari Bermata Bening karya Habiburrahman El Shirazy penulis
kesukaanku. Novel ini sudah terbit 2017 lalu, tapi baru kulihat langsung di
Gramedia Mojokerto. Aku tertarik untuk membelinya. Dan memang benar, tidak ada
suatu kebetulan di dunia ini. Semua seperti sudah diatur oleh Allah. Begitu pun
dengan pertemuanku di novel ini. Aku merasa membaca novel ini di saat yang
tepat. Dalam cerita ini ada tokoh bernama Afif. Dia sedang mengalami galau
berat sampai sakit parah setahunan. Setelah berhasil sembuh dan mengumpulkan
semangatnya lagi, dia melarikan diri dari rumah. Meninggalkan selembar kertas
yang dia geletakkan di kamar tidur. Dalam surat itu dia bilang aku
pergi seperti Imam Asy Syibli dulu pergi memperbaiki dirinya. Di situ
dikisahkan bahwa Imam Asy Syibli digembleng gurunya untuk merasa sendiri
bersama Tuhan di tengah keramaian. Dia dibiarkan kemana saja tanpa bekal apa
pun, hanya bekal percaya bahwa Tuhan selalu bersamanya.
Dari situ aku
merasa apalah aku ini, tidak ada teman mengobrol saja sudah bersusah hati. Bagaimana
dengan orang-orang di luar sana yang ditinggalkan anak-anaknya lalu sebatang
kara tinggal di emperan toko. Bagaimana dengan orang-orang yang melewati malam-malamnya
dengan kelaparan, dan bagaimana-bagaimana lainnya.
Seketika itu juga
aku sadar, iyaya ketika aku tidak ada teman atau saudara yang bisa kita
andalkan saat kita butuh, aku hanya menggantungkan diri kepada Allah. Tanpa sadar
aku selalu melibatkan Allah ketika kemana-mana. Aku sekarang tak lagi riuh
berdiskusi dengan orang-orang, tapi aku lebih riuh berbicara dengan diriku
sendiri dalam doa. Dan itu hal yang sudah lama tak pernah aku lakukan. Hal yang
sering kuabaikan sampai-sampai aku tak mengenali diriku sendiri.
0 komentar