Riuh Dalam Sepi

by - 20.25



Hampir dua bulan aku terasingkan di kota orang. Sendiri. Tak ada teman dan saudara. Aku sudah terbiasa merantau dan kemana-mana sendiri, urusan survive di kota orang bukan lagi hal baru. Ya, meski aku belum pandai mengatur diri, tapi setidaknya aku bukan perempuan yang baru saja menjajaki rasanya merantau. Setidaknya, sudah ada secuil ilmu dan pengalaman semasa kuliah dulu. Masalah mengatur keuangan, kegiatan, dan lainnya insyaallah mampu kujalani sendiri. Berbekal paketan internet, gmaps, google, dan aplikasi ojek online aku bisa melakukan sesukaku dan kemana pun kumau tanpa merumitkan ini itu. 

Namun, Allah menciptakanku sebagai mahluk sosial yang tidak hanya bisa hidup berbekal fasilitas internet. Aku memang bisa mengusir kebosanan dengan membuka media sosial berulang kali, streaming film berjam-jam, atau mengunyah banyak buku online di aplikasi perpustakaan. Sayangnya, aku tetaplah manusia yang rindu hangatnya kebersamaan. Rindu bertemu dan berbincang dengan banyak orang. Meski kuakui, kadang aku lebih suka untuk berdiam diri di pojokan kamar.

Semasa kuliah dulu, aku selalu tak mengganti baju sepulang kuliah. Meletakkan tas dan kaos kaki di sembarang tempat di sudut kamar sebelahku. Lalu aku selonjoran di lantai atau menggeser tempat tidur teman kosku. Aku akan bercerita apa saja tentang keseharianku waktu itu. Entah tentang dosen yang telat datang, teman kelas yang menyebalkan, atau tema diskusi di kelas yang begitu menarik. Semua hal kuceritakan. Aku senang didengarkan, dan aku lega mereka begitu khidmat mengiyakan setiap uraian ceritaku. Lebih senangnya lagi, mereka selalu ketagihan untuk mendengarkan ceritaku. Mereka suka aku mendongeng katanya. Padahal aku tidak sedang mengarang cerita,  hanya saja aku lebih mudah mengingat hal-hal yang benar-benar kuperhatikan dan membagikannya ke orang lain. Apalagi dua teman sekamar ini menyambut setiap ceritaku suka cita, begitu riang dan semangatnyalah diriku untuk terus melanjutkan rutinitasku bercerita.


Ketika mereka lebih dulu lulus daripada aku, aku tak begitu khawatir. Karena masih ada teman organisasi lain yang sering kutemui saat rapat atau kita sekadar keluar untuk makan. Dimana pun itu, selalu ada pembicaraan hangat yang kulakukan dengan teman-teman. Ada obrolan kecil yang kami lontarkan sembari menunggu hujan, pesanan makan datang, atau menunggu lampu merah di perempatan. Hidupku tak pernah kesepian. Aku merasa setiap hari hari-hariku riuh dengan suara orang-orang. Sampai aku tak sempat mengajak bicara diriku sendiri, apalagi yang memiliki seluruh diriku, yaitu Allah.

Lalu sekarang, Allah menempatkan diriku tak terlalu jauh dari kota kelahiran. Hanya dua jam perjalanan menggunakan kereta api. Tantangan di sini juga tidak terlalu terasa. Karena dari segi bahasa, budaya, dan makanan nyaris sama dengan kota kelahiranku. Berbeda dengan kota semasa kuliah dulu, dimana aku harus menghadapi banyak hal berbeda di dalamnya. Ketika aku masuk pada sebuah kota yang berbeda budaya, aku bisa melewatinya. Tapi kini, ketika aku tinggal di kota yang menurutku memberi banyak kemudahan, nyaris setiap hari aku merasa kepayahan. Karena satu hal yaitu K E S E P I A N.

Tak ada lagi tempat pulang untuk cerita. Maksudku untuk bercerita face to face. Kalau orangtua, pastilah aku selalu cerita apa saja. Tapi yang aku maksud adalah seseorang yang bisa kuajak ngobrol secara langsung sambil menikmati remasan mie instans, semangkuk mie rebus kuah, atau sosis bakar di pinggir jalan. Aku lebih suka bercerita secara langsung, karena waktuku tak tersita untuk mengetik pesan panjang lebar, menunggu balasan, merekam pesan suara, atau video call yang terjeda karena sinyal memburuk. Kumpulan menit-menit yang terbuang itu seharusnya bisa lebih manis jika digunakan untuk saling menatap atau memberikan sentuhan kepada teman ceritaku. Ketika aku bersedih, ada yang langsung bisa memeluk, menepuk bahuku pelan-pelan, atau ada tangan yang kuremas ketika aku merasakan getirnya hidup ini.

Dengan begini, aku menjadi lebih menghargai pertemuan. Meski kadang orang yang kutemui tak sesuai dengan apa yang aku mau, aku selalu bilang pada diri sendiri, “Allah mempertemukanmu dengan setiap orang pasti ada alasan dan hikmah di dalamnya.” Ya, manusia itu bermacam-macam. Kita tak harus menyukai semuanya, namun juga tak boleh membenci satu atau semuanya. Bagaimana pun itu, mereka unik dengan diri mereka masing-masing. Pun aku juga belum tentu menjadi orang yang bisa membuat orang lain nyaman dan senang. Jika aku tak suka, cukup dengarkan. Jika suka, masuklah dalam obrolan. Selalu begitu yang kulakukan. Itulah kenapa kadang satu orang menilaiku tak sama dengan orang lainnya. Karena aku bisa saja menjadi pendiam atau orang yang banyak menanggapi obrolan. Ya, alasannya sangat simple, tergantung kenyamanan.

Kemarin aku membaca novel Bidadari Bermata Bening karya Habiburrahman El Shirazy penulis kesukaanku. Novel ini sudah terbit 2017 lalu, tapi baru kulihat langsung di Gramedia Mojokerto. Aku tertarik untuk membelinya. Dan memang benar, tidak ada suatu kebetulan di dunia ini. Semua seperti sudah diatur oleh Allah. Begitu pun dengan pertemuanku di novel ini. Aku merasa membaca novel ini di saat yang tepat. Dalam cerita ini ada tokoh bernama Afif. Dia sedang mengalami galau berat sampai sakit parah setahunan. Setelah berhasil sembuh dan mengumpulkan semangatnya lagi, dia melarikan diri dari rumah. Meninggalkan selembar kertas yang dia geletakkan di kamar tidur. Dalam surat itu dia bilang aku pergi seperti Imam Asy Syibli dulu pergi memperbaiki dirinya. Di situ dikisahkan bahwa Imam Asy Syibli digembleng gurunya untuk merasa sendiri bersama Tuhan di tengah keramaian. Dia dibiarkan kemana saja tanpa bekal apa pun, hanya bekal percaya bahwa Tuhan selalu bersamanya.

Dari situ aku merasa apalah aku ini, tidak ada teman mengobrol saja sudah bersusah hati. Bagaimana dengan orang-orang di luar sana yang ditinggalkan anak-anaknya lalu sebatang kara tinggal di emperan toko. Bagaimana dengan orang-orang yang melewati malam-malamnya dengan kelaparan, dan bagaimana-bagaimana lainnya.

Seketika itu juga aku sadar, iyaya ketika aku tidak ada teman atau saudara yang bisa kita andalkan saat kita butuh, aku hanya menggantungkan diri kepada Allah. Tanpa sadar aku selalu melibatkan Allah ketika kemana-mana. Aku sekarang tak lagi riuh berdiskusi dengan orang-orang, tapi aku lebih riuh berbicara dengan diriku sendiri dalam doa. Dan itu hal yang sudah lama tak pernah aku lakukan. Hal yang sering kuabaikan sampai-sampai aku tak mengenali diriku sendiri.

You May Also Like

0 komentar