Belajar Menerima

by - 20.51


Sebelum aku berangkat merantau lagi, ibu sempat menitip pesan kepadaku untuk telaten dan sabar dalam bekerja. Beliau bilang, “Kalau lagi capek kerja, selalu ingat perjuangan Bapak, ya.” Aku mengangguk mengiyakan pesan ibu.

Iyaya, begitu pikirku. Aku pernah berpikir, bapak kok nggak pernah ya malas untuk berangkat kerja. Coba kalau bapak malas, dapur ibu  tak bisa mengepul setiap hari.

Saat aku bekerja di bimbel Kediri, ada seorang tetanggaku yang juga kerja di sana. sebut saja dia A. Dia hanya lulusan SMA, namun sudah bekerja di bimbel itu selama 6 tahun. Sekarang posisinya menjadi tentor matematika. Aku pernah melihat dia mengajari muridnya dengan cara berpikirnya sangat cepat. Pernah aku merasa sebal karena dia yang lulusan SMA sudah menjadi tentor, sedangkan aku yang sudah sarjana hanya menjadi korektor soal. Lambat laun aku malu sendiri pernah berpikir seperti itu. Karena nyatanya, menjadi tentor di tempat itu tidak mudah. Harus memahami pelajaran Matematika yang melihat angkanya saja aku sudah mengerutkan kening. Rumusnya begitu rumit,serumit pikiran perempuan yang sedang galau karena cinta.


Karyawan di bimbel itu maksimal kerja seminggu hanya 3-4 hari. Sedangkan, tetanggaku itu satu-satunya orang yang sudah bekerja penuh selama sepekan kecuali hari Ahad. Gaji di sana tidak tinggi menurutku. Gajinya berdasarkan level. Aku yang pertama kali kerja di sana merasa kurang cukup. Karena levelku masih pemula. Si A ini gajinya paling tinggi di antara yang lain. Levelnya juga paling tinggi.

Aku memang tidak terlalu dekat dengan si A ini meskipun kami tetangga. Akan tetapi, saat memperhatikannya, ada yang luput dari penilaianku. Aku lupa, dibalik posisinya sebagai tentor dan gajinya yang lumayan tinggi di Kota kediri ada sebuah usaha yang mungkin tidak orang lain ketahui. Ada rasa sabar yang dia pupuk ketika harus menerima gaji awal yang masih sedikit, ada rasa yakin yang dia rawat setiap hari bahwa kelak dia akan bisa naik tingkat lagi. Aku juga tahu, sebelum menjadi tentor dia juga pernah merasakan lelahnya menjadi korektor soal. Dia sangat loyal di mataku. Segelintir orang yang mau bersabar bertahun-tahun kerja di sana sampai akhirnya naik posisi dan gaji. Pantas saja jika pemilik bimbel begitu percaya kepadanya. Bimbel itu seakan sudah menjadi miliknya, karena sebagian besar dia yang mengelola dan bertanggung jawab di dalamnya.

Sepotong ingatan tentang perjuangan orang-orang itulah yang terbesit dalam pikiranku ketika aku begitu kacau memikirkan kantor cabangku yang sekarang. Maklumlah, aku baru ini masuk di dunia kerja di bawah naungan lembaga. Dulu aku hanyalah guru les freelance yang tidak tahu-menahu bagaimana di ruangan kerja.

Sempat juga terbesit dalam pikiranku, orang yang pertama kerja itu membutuhkan perjuangan yang tidak mudah. Keloyalanku sedang diuji, begitu juga dengan rasa sabar dan rasa menerimaku. Ketika begini, aku jadi semakin tahu diriku sendiri yang selalu mendambakan sesuatu secara instans. Simsalabim semuanya langsung enak.

Kadang, manusia lupa mensyukuri segala keadaannya. Beberapa bulan lalu aku pernah memikirkan suatu hal secara spontan. Tidak kusengaja. Aku ingin bekerja di tempat dimana tidak ada senioritas. Tempat dimana tidak terlalu bising dengan suara orang banyak. Bising di sini maksudnya terlalu banyak orang dan akan menimbulkan banyak konflik. Aku ingin bekerja yang santai, agar tidak menghalangiku beribadah tepat waktu. Dan. Sekarang semua terkabulkan. Tapi nyatanya manusia tetaplah manusia yang rasa syukurnya terlihat habis. Adaaaa saja yang kurang di mataku. Kurang ini kurang itu. Sampai akhirnya aku gelap mata dan tidak mensyukuri apa yang telah diberikan Allah kepadaku.

Bagaimana pun itu, aku tetap mengapresiasi diriku sendiri yang sudah mau berjuang untuk sabar, menerima keadaan, dan selalu berlajar syukur.

You May Also Like

0 komentar