Belajar Menerima
Sebelum aku berangkat merantau
lagi, ibu sempat menitip pesan kepadaku untuk telaten dan sabar dalam bekerja. Beliau
bilang, “Kalau lagi capek kerja, selalu ingat perjuangan Bapak, ya.” Aku mengangguk mengiyakan pesan ibu.
Iyaya,
begitu pikirku. Aku pernah berpikir, bapak kok nggak pernah ya malas untuk
berangkat kerja. Coba kalau bapak malas,
dapur ibu tak bisa mengepul setiap hari.
Saat aku bekerja di bimbel
Kediri, ada seorang tetanggaku yang juga kerja di sana. sebut saja dia A. Dia
hanya lulusan SMA, namun sudah bekerja di bimbel itu selama 6 tahun. Sekarang posisinya
menjadi tentor matematika. Aku pernah melihat dia mengajari muridnya dengan
cara berpikirnya sangat cepat. Pernah aku merasa sebal karena dia yang lulusan
SMA sudah menjadi tentor, sedangkan aku yang sudah sarjana hanya menjadi
korektor soal. Lambat laun aku malu sendiri pernah berpikir seperti itu. Karena
nyatanya, menjadi tentor di tempat itu tidak mudah. Harus memahami pelajaran
Matematika yang melihat angkanya saja aku sudah mengerutkan kening. Rumusnya begitu
rumit,serumit pikiran perempuan yang sedang galau karena cinta.
Karyawan di bimbel itu maksimal
kerja seminggu hanya 3-4 hari. Sedangkan, tetanggaku itu satu-satunya orang
yang sudah bekerja penuh selama sepekan kecuali hari Ahad. Gaji di sana tidak
tinggi menurutku. Gajinya berdasarkan level. Aku yang pertama kali kerja di
sana merasa kurang cukup. Karena levelku masih pemula. Si A ini gajinya paling
tinggi di antara yang lain. Levelnya juga paling tinggi.
Aku memang tidak terlalu dekat
dengan si A ini meskipun kami tetangga. Akan tetapi, saat memperhatikannya, ada
yang luput dari penilaianku. Aku lupa, dibalik posisinya sebagai tentor dan
gajinya yang lumayan tinggi di Kota kediri ada sebuah usaha yang mungkin tidak
orang lain ketahui. Ada rasa sabar yang dia pupuk ketika harus menerima gaji
awal yang masih sedikit, ada rasa yakin yang dia rawat setiap hari bahwa kelak
dia akan bisa naik tingkat lagi. Aku juga tahu, sebelum menjadi tentor dia juga
pernah merasakan lelahnya menjadi korektor soal. Dia sangat loyal di mataku. Segelintir
orang yang mau bersabar bertahun-tahun kerja di sana sampai akhirnya naik
posisi dan gaji. Pantas saja jika pemilik bimbel begitu percaya kepadanya. Bimbel
itu seakan sudah menjadi miliknya, karena sebagian besar dia yang mengelola dan
bertanggung jawab di dalamnya.
Sepotong ingatan tentang
perjuangan orang-orang itulah yang terbesit dalam pikiranku ketika aku begitu
kacau memikirkan kantor cabangku yang sekarang. Maklumlah, aku baru ini masuk
di dunia kerja di bawah naungan lembaga. Dulu aku hanyalah guru les freelance yang tidak tahu-menahu
bagaimana di ruangan kerja.
Sempat juga terbesit dalam
pikiranku, orang yang pertama kerja itu membutuhkan perjuangan yang tidak
mudah. Keloyalanku sedang diuji, begitu juga dengan rasa sabar dan rasa
menerimaku. Ketika begini, aku jadi semakin tahu diriku sendiri yang selalu
mendambakan sesuatu secara instans. Simsalabim semuanya langsung enak.
Kadang, manusia lupa mensyukuri
segala keadaannya. Beberapa bulan lalu aku pernah memikirkan suatu hal secara
spontan. Tidak kusengaja. Aku ingin bekerja di tempat dimana tidak ada
senioritas. Tempat dimana tidak terlalu bising dengan suara orang banyak. Bising
di sini maksudnya terlalu banyak orang dan akan menimbulkan banyak konflik. Aku
ingin bekerja yang santai, agar tidak menghalangiku beribadah tepat waktu. Dan. Sekarang semua
terkabulkan. Tapi nyatanya manusia tetaplah manusia yang rasa syukurnya
terlihat habis. Adaaaa saja yang kurang di mataku. Kurang ini kurang itu. Sampai
akhirnya aku gelap mata dan tidak mensyukuri apa yang telah diberikan Allah
kepadaku.
Bagaimana pun itu, aku tetap
mengapresiasi diriku sendiri yang sudah mau berjuang untuk sabar, menerima
keadaan, dan selalu berlajar syukur.
0 komentar