Kesederhanaan Bapak dan Penilaian Orang
Dari aku
kecil, Bapak tidak mendidik dengan menuruti semua apa yang kuinginkan. Bapak tidak
mengiming-imingi barang yang memang
tidak bisa dibelinya hanya untuk meredakan tangis anaknya. Karena Bapak tahu
luka anak kecil yang dibohongi akan membekas sampai dewasa. Sekali pun beliau
mampu membelikan, manfaat barang itu juga dipertimbangkan. Kalau ternyata hanya
untuk kesenangan, lebih baik tidak membelinya, jika aku tetap ingin membeli
harus dengan hasil tabungan sendiri.
Suatu ketika
aku pernah protes kepada Bapak perihal lantai rumah yang tidak dikeramik
seperti rumah tetangga yang lebih terlihat kinclong. Jawaban beliau membuat aku
tertegun beberapa lama. Kalian tahu jawabannya? Jawabannya seperti ini, “Bapak
lebih suka rumah bapak sederhana tapi bisa menyekolahkan anak, daripada rumah
bagus tapi biaya sekolahnya nunggak.” Cara mengucapkannya biasa, kalimatnya
juga sederhana, tapi begitu luar bisa membuat aku terharu dan baper
sejadi-jadinya.
Bapak itu
orang yang prinsipnya kuat menurutku. Beliau bukan orang yang mudah mengikuti
trend hanya untuk meninggikan prestise-nya
di mata masyarakat. Siapa pun bapak, beliau hidup dengan pikiran dan hatinya
sendiri. Bukan untuk mengikuti penilaian atau omongan orang.
Beliau pernah
bercerita kepadaku tentang tetangga yang rumahnya sepuluh langkah lebih lima
dari rumah kita. Tetangga itu curhat ke bapak tentang hutang-hutangnya yang
kian menumpuk. Itu hal yang mencengangkan bagiku. Karena apa? Karena tetangga
itu rumahnya mewah lantai dua, pagar besi, mobil bagus, dan toko grosirnya tak
sepi dari pembeli. Bahkan, kalung dan gelang istrinya berkarat-karat dipakai.
Ada lagi
tetangga sebelah rumah yang begitu bangganya memakai motor barunya. Tapi
beberapa bulan kemudian, motornya disita karena tidak bisa mencicilnya. Atau orang
kaya sebelah sana tapi uangnya terkuras habis untuk membiayai penyakitnya yang
tak kunjung sembuh. Begitulah, cerita orang-orang yang bapak sampaikan
kepadaku.
Aku
juga jadi ingat dengan seorang teman kuliah yang hidupnya secara materi enak. Pergi
dan pulang kuliah naik mobil, tinggal di perumahan, dan makan apa saja bebas
tanpa mikir. Tapi nyatanya, setiap pagi matanya sembab menangisi bapaknya yang
harus keluar-masuk rumah sakit karena serangan jantung. Materi yang dia punya
tidak berarti apa-apa dalam keadaan seperti ini.
“Kita
hidup bukan untuk menuruti penilaian orang,” ucap bapak setelah selesai
bercerita.
“Secara
materi kita memang lebih kurang dari mereka. Tapi secara batin, kita lebih
bahagia dari mereka. Makan seadanya kalau hidup tenang dan sekeluarga sehat,
itu sudah lebih dari cukup bagiku. Daripada memperbagus rumah dan kendaraan
hanya agar mendapat pujian dari orang, tapi pikiran carut-marut setiap malam tanpa
ada yang peduli.”
Setelah
berbicara panjang, Bapak menatap layar televisi untuk melanjutkan nontonnya. Dan
aku sibuk memikirkan ucapannya.
5 komentar
Inspiratif. Terima kasih sudah berbagi ^^
BalasHapusAlhamdulillah. Terima kasih juga sudah mampir mbak :)
HapusCerita yang menarik, dan pesan yang bijak. Saya juga hidup begitu, ga peduli apa kata org dan ikut trend. Jadi diri sendiri ga mengada-ngada dan memaksakan diri. Jauh lebih damai hidup.
BalasHapusNyamannnya memang seperti itu ya mbak :)
HapusMasyaaAllah
BalasHapusSalut buat bapak, mba