Kesederhanaan Bapak dan Penilaian Orang

by - 10.29




Dari aku kecil, Bapak tidak mendidik dengan menuruti semua apa yang kuinginkan. Bapak tidak mengiming-imingi  barang yang memang tidak bisa dibelinya hanya untuk meredakan tangis anaknya. Karena Bapak tahu luka anak kecil yang dibohongi akan membekas sampai dewasa. Sekali pun beliau mampu membelikan, manfaat barang itu juga dipertimbangkan. Kalau ternyata hanya untuk kesenangan, lebih baik tidak membelinya, jika aku tetap ingin membeli harus dengan hasil tabungan sendiri.

Suatu ketika aku pernah protes kepada Bapak perihal lantai rumah yang tidak dikeramik seperti rumah tetangga yang lebih terlihat kinclong. Jawaban beliau membuat aku tertegun beberapa lama. Kalian tahu jawabannya? Jawabannya seperti ini, “Bapak lebih suka rumah bapak sederhana tapi bisa menyekolahkan anak, daripada rumah bagus tapi biaya sekolahnya nunggak.” Cara mengucapkannya biasa, kalimatnya juga sederhana, tapi begitu luar bisa membuat aku terharu dan baper sejadi-jadinya. 

Bapak itu orang yang prinsipnya kuat menurutku. Beliau bukan orang yang mudah mengikuti trend hanya untuk meninggikan prestise-nya di mata masyarakat. Siapa pun bapak, beliau hidup dengan pikiran dan hatinya sendiri. Bukan untuk mengikuti penilaian atau omongan orang.

Beliau pernah bercerita kepadaku tentang tetangga yang rumahnya sepuluh langkah lebih lima dari rumah kita. Tetangga itu curhat ke bapak tentang hutang-hutangnya yang kian menumpuk. Itu hal yang mencengangkan bagiku. Karena apa? Karena tetangga itu rumahnya mewah lantai dua, pagar besi, mobil bagus, dan toko grosirnya tak sepi dari pembeli. Bahkan, kalung dan gelang istrinya berkarat-karat dipakai.

Ada lagi tetangga sebelah rumah yang begitu bangganya memakai motor barunya. Tapi beberapa bulan kemudian, motornya disita karena tidak bisa mencicilnya. Atau orang kaya sebelah sana tapi uangnya terkuras habis untuk membiayai penyakitnya yang tak kunjung sembuh. Begitulah, cerita orang-orang yang bapak sampaikan kepadaku.

Aku juga jadi ingat dengan seorang teman kuliah yang hidupnya secara materi enak. Pergi dan pulang kuliah naik mobil, tinggal di perumahan, dan makan apa saja bebas tanpa mikir. Tapi nyatanya, setiap pagi matanya sembab menangisi bapaknya yang harus keluar-masuk rumah sakit karena serangan jantung. Materi yang dia punya tidak berarti apa-apa dalam keadaan seperti ini.

“Kita hidup bukan untuk menuruti penilaian orang,” ucap bapak setelah selesai bercerita.

“Secara materi kita memang lebih kurang dari mereka. Tapi secara batin, kita lebih bahagia dari mereka. Makan seadanya kalau hidup tenang dan sekeluarga sehat, itu sudah lebih dari cukup bagiku. Daripada memperbagus rumah dan kendaraan hanya agar mendapat pujian dari orang, tapi pikiran carut-marut setiap malam tanpa ada yang peduli.”

Setelah berbicara panjang, Bapak menatap layar televisi untuk melanjutkan nontonnya. Dan aku sibuk memikirkan ucapannya.


You May Also Like

5 komentar

  1. Inspiratif. Terima kasih sudah berbagi ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah. Terima kasih juga sudah mampir mbak :)

      Hapus
  2. Cerita yang menarik, dan pesan yang bijak. Saya juga hidup begitu, ga peduli apa kata org dan ikut trend. Jadi diri sendiri ga mengada-ngada dan memaksakan diri. Jauh lebih damai hidup.

    BalasHapus
  3. MasyaaAllah
    Salut buat bapak, mba

    BalasHapus