Pentingnya Mencarikan Jodoh Untuk Tulisan
Beberapa
hari aku memang sengaja tidak menyempatkan waktu untuk menulis di blog. Karena ada
tugas menulis di tempat lain dan nyambi nyicil skripsi. Kali ini ada sesuatu
yang pengen aku ceritain. Semoga saja ada yang membaca tulisan ini. Insyaallah bermanfaat.
Dari tadi
siang sebelum sholat Jumat, ada teman yang menghubungi melalu whatsapp. Sebenarnya
bukan sengaja menghubungi sih, cuma tadi mengomentari postingan foto dagangan
di status wa-ku dan kubalas hanya sekadarnya. Lalu dia me-reply pesanku yang sudah lama sekali tenggelam di chat paling atas.
Kuklik pesanku itu ternyata sudah tidak ada karena aku pernah membersihkan
keseluruhan chat. Pesan itu tentang obrolan kecil kami mengenai akun dakwah
yang dia kelola. Akun ini sudah sukses, sering bekerja sama dengan berbagai
acara dan followers-nya mencapai
ratusan ribu.
Aku ditawari
untuk menulis di sana. Sebenarnya sudah lama sejak tahun lalu. Tapi karena aku
memang dasarnya susah mempelajari hal-hal yang abstrak, jadinya aku tidak
mengiyakan tawarannya. Lebih tepatnya aku menggantungnya, menerima nggak,
menolak juga nggak. Aku lebih cepat nyantol dan mudah mempraktikkan kalau
mempelajari tentang bagaimana menghitung biaya produksi, mencatat transasksi
keuangan, atau membuat laporan keuangan. Aku suka menulis, tapi untuk
mempraktikkan teori-teorinya bagiku susah. Ya karena memang, menulis,
mendesain, dan mengisi konten membutuhkan daya kreatif. Sedangkan, aku orangnya
nggak kreatif-kreatif amat. Alasan aja sih, lebih tepatnya tidak mau berusaha.
-_-
Hari ini
aku ditawari lagi sama dia. Lagi-lagi aku tetap tidak menjawab iya dan nggak. Sebenarnya
aku mau, karena dengan begitu aku bisa ada wadah untuk menulis tulisan-tulisan
inspiratif.
Mungkin
dia agak kesel juga dengan aku yang kesannya begitu lelet dan nggak bisa diajak
kerjasama cepet. Dia tanya begini, “Ada rencana mau nulis buku, nggak?” Kupikir
dia tanya begini karena ingin menawari aku untuk nulis buku bareng atau apa
gitu. “Iya pengen. Tapi sampai sekarang aku belum tahu mau nulis apa,” jawabku.
“Siapa role modelnya?”
“Dwi
Suwiknyo sama Asma Nadia,” jawabku. Karena memang akhir-akhir ini aku lagi
ngefans sama Dwi Suwiknyo, kalau sama bunda Asma sih udah lama. Aku suka beliau
karena tulisannya lembut dan ringan. Kalau Mas Dwi, sebenarnya aku belum baca
bukunya. Hanya membaca tulisannya di blog dan webnya. Aku suka pemikiran dan
tindakannya yang care banget sama
penulis pemula seperti aku ini.
Lalu temanku
ini bilang seperti ini, “Kamu tahu Kurniawan Gunandi sama mbak yang nulis buku
Rentang Kisah, nggak? Awalnya mereka itu bisa besar karena mempunyai fans di
media sosial. Mereka membangun pembaca dan pendengar setia dulu di media
sosial. Sekarang tuh eranya kayak gitu.”
Batinku,
bukan cuma sekadar kenal sama mbak yang nulis Rentang Kisah, aku juga fans dan
stalker akutnya dia. Kalau lagi suntuk atau down,
aku stalking blog dan vlog-nya. Kalian tahu kan siapa dia? Yup, Gita Savitri
Devi atau Gitasav. Aku cerita sama temanku ini kalau aku ngefans sama dia bla
bla bla. Bahkan aku juga cerita liburan kemarin sampai rela berjam-jam di
Gramedia untuk baca buku Rentang Kisah sampai habis. Karena waktu itu aku nggak
punya uang buat beli.
“Aku terlalu takut untuk mengekspos diriku di
media sosial. Entah, karena lingkaranku yang nggak suka nulis sehingga aku jadi
tidak ada dukungan untuk itu. Atau karena aku merasa tulisanku belum sebagus
lainnya,” jawabku yang sedikit curhat kepada dia.
“Sebenarnya
orang-orang yang setuju dengan pemikiran kita nggak harus suka nulis juga. Nulis
aja sesuatu yang terlintas dalam diri entah kejadian teman atau orang sekitar. Tulisan
yang relatable dengan banyak orang
itu yang sering viral. Banyak orang yang merasa terwakili. Jadi takutnya karena
apa?”
“Apa
ya, entah aku kurang percaya diri. merasa takut kalau tulisanku dibaca orang
yang kukenal. Makanya selama ini aku hanya ramai di blog. Tapi takut untuk share di media sosial.”
Kulihat
lagi dia membalas pesanku seperti ini, “Kalau seumpama Gitasav nggak berani sharing di media sosialnya, nggak mau
ngomong di youtube, orang-orang jadi tahu dan menerima pesan dan pola pikirnya
nggak, ya? Oh kayaknya bakal tahu sih, kan dia juga nulis di blog. Tapi bakal se masive atau bahkan terinspirasi sama
buku dan kisah yang ditulis nggak, ya?”
Dia seperti
sedang bicara dengan dirinya sendiri, tapi sebenarnya dia mengajak aku berpikir
tentang apa yang diucapkannya.
Dengan sedikit
bingung, aku menjawabnya seperti ini, “Pertanyaan sederhana tapi cukup membuat
aku mikir terlalu dalam.”
“Sebenarnya
dalam benakmu sudah ada jawabannya, kan, ya?”
“Iya,
realisasinya yang sulit,” jawabku.
“Memang
tidak bisa sih dorongan dari luar soal seperti ini. Harus dorongan dari dalam.”
Sampai sekarang
aku mengetik ini, aku mengumpulkan keberanian untuk bisa menunjukkan diriku
kepada orang lain. Sebenarnya apa yang dia bilang benar sekali. Tapi ada yang
perlu digaris bawahi, semata bukan aku ingin tenar seperti Gitasav. Tapi logikanya
gini, katanya aku mau tulisanku menginspirasi banyak orang, tapi siapa yang mau
terinspirasi, kalau ternyata aku sendiri nggak mau tulisanku dibaca orang.
Aku nggak
tahu harus bagaimana agar aku bisa keluar dari rasa takut dan zona nyaman ini. Sebenarnya
kuncinya ada pada diriku sendiri yang harus melawannya. Ya emang bener sih,
kelak tulisan akan menemukan jodohnya. Tapi bukan berarti aku harus diam saja. Setidaknya
aku mencari jalan agar tulisanku bisa mudah untuk menemukan jodohnya. Kalau didiamkan
di sini siapa yang mau menemukan? #Ngomongsamakaca
2 komentar
Bukan untuk menjadi terkenal, tapi bermanfaat bagi orang lain. Begitu kata mbak Mab ^^
BalasHapusmakasih remindernya, Mbak.
Hapus