Sepucuk Surat Merah Hati (2)
“Hanna!” Mata lelaki berkaus oblong itu membulat melihat
kedatanganku.
“Ayu ada, Kak?” tanyaku sedikit ragu melihat tingkahnya yang aneh
kali ini.
“E ... e, kalian sudah buat janji?”
Keningku berkerut dibuatnya. Memang adiknya itu siapa? Seorang
pejabat sibuk yang hanya bisa ditemui
dengan janji?
“Bukankah aku sudah biasa datang ke sini tanpa janji?” Aku balik bertanya
dengan menatapnya serius.
Dia bersikap kikuk di depanku. “Oh, sebentar aku panggilkan Ayu.” Lelaki
berwajah tirus itu masuk ke dalam rumah tanpa menyuruhku masuk.
Aku merasa tersesat di sebuah planet. Semua orang mendadak berubah—tak kukenal
mereka yang dulu. Beberapa minggu ini aku merasa Ayu sengaja menjauh. Dia lebih
sering menghindar dan buru-buru pulang setelah kuliah.
Dia tidak lagi duduk di sebelahku saat di kelas, mengajak makan siang di
bakso favorit kita selepas pulang, atau meminta menemaninya membeli komik di
pameran buku dua hari lalu di perpustakaan kota.
Dan hari ini, aku merasa Kak Galang pun ekspresinya menyiratkan bahwa aku
tidak bisa semudah dulu bertemu Ayu.
Aku menunggu di teras rumahnya. Tempat ini masih sama seperti tiga minggu
terakhir aku ke sini. Masih ada pohon mangga yang berbunga dan buahnya masih
terlihat kecil.
Ada bunga anggrek putih dan ungu yang menempel di pohon itu. Aku tahu,
ibunya Ayu sangat suka dengan tanaman. Ini terbukti dengan adanya beberapa pot
bunga matahari kecil, mawar, dan kaktus berbentuk lucu.
Rumah ini semakin sejuk dengan adanya suara gemericik air dari air mancur
buatan. Ada melati air yang memenuhi kolam di bawahnya. Sesekali suara air
berkecipak karena ikan di dalamnya berkejar-kejaran.
“Hanna.” Aku mendengar suara lembutnya.
Aku menoleh ke arahnya dan kulihat lengkungan senyum terlukis di bibir
mungilnya. Namun, kudapati sembab pada matanya.
“Are you okay, Ayu?” Aku
memandanginya dengan penuh tanya.
Apakah selama ini Ayu menghindar karena ada masalah? Kenapa aku menjadi
sahabat yang sangat bodoh sekali. Hampir dua minggu Ayu menjauh, tetapi baru
sekarang aku menanyakan keadaannya.
Semua perhatian dan pikiranku sudah terkuras hanya untuk memikirkanmu yang
jauh di sana. Tanpa aku tahu, apakah kau juga sibuk merindu dan memikirkanku?
“Aku lebih baik dari apa yang kau lihat.” Dia berhambur memelukku. Tangisnya
semakin pecah dalam pelukan. Aku merasakan dia mendekapku begitu erat.
“Maafkan aku yang tidak peka memahamimu, Ayu.”
“Kenapa kau berkata seperti itu, Hanna?”
Dia melepaskan pelukannya dan menatapku. Aku melihat sudut matanya basah.
Wajahnya memerah menahan tangis.
“Aku baru sempat datang untuk menanyakan keadaanmu. Meski kau tidak
bercerita, aku tahu pasti ada masalah yang mengundang hujan di matamu.”
“Aku baik-baik saja.” Ada senyum yang dipaksakan di bibirnya.
“Okelah kalau kau tidak ingin bercerita. Tetapi apa aku juga tidak
dibolehkan masuk ke rumahmu?” Aku mengangkat alis dan kedua bahu menggodanya.
“Aku sampai lupa menyilakanmu masuk.” Digandengnya tangan kiriku.
Saat akan masuk ke kamar Ayu, kulihat ada wanita beralis tebal memakai
daster bunga-bunga usang membawa sepiring bolu.
“Hanna, coba cicipi bolu buatan Ayu.” Wanita itu menyodorkan piring putih
ke arahku.
“Buatan Ayu? Sejak kapan Ayu bisa masak, Kak?” Aku melirik ke arah Ayu.
Tawaku dan Kak Gina beradu menggodanya. Semburat merah di wajah Ayu
perlahan mulai memudar. Dengan malu-malu dia menutupi mulutnya dengan tangan
kanan menahan tawa.
“Jangan salah! Dia sekarang sudah jago masak. Biasalah, dia kan sekarang
sudah menjadi gadis pingitan. Kerjaannya sekarang sibuk di dapur.” Aku mendelik
mendengar ucapan kalimat kakak ipar Ayu.
Saat melihatnya, kudapati Ayu salah tingkah di depan kami. Ada sesuatu yang
mengganjal di perasaanku.
To be continued!
4 komentar
Next
BalasHapusNext juga
BalasHapusCerbung kece euy😍💜
BalasHapuslanjut ke 3
BalasHapus