(CERPEN) Perihal Rindu Tanpa Jemu
Doc. Pribadi |
Mendung
sore membayang pada wajah keriputnya. Gelap kelabu kemerah-merahan menyaputi
kedua mata cekung yang penglihatannya sudah mengabur. Ada resah yang
disembunyikan dalam bilik hatinya. Dalam doa, tersimpan beribu-ribu harapan
yang telah lama tersulam seiring bertambah renta usianya. Tak banyak yang dia pinta,
hanya menyemoga anak cucu datang ke rumah tuanya. Namun waktu tak kunjung
menginginkan temu, kesunyian masih merajai ambang pintu rumah itu.
Ada
suara deru motor berhenti di pelataran rumahnya yang terkotori daun-daun
kering. Tubuh ringkihnya sudah tak mempunyai daya untuk sekadar memungut daun
yang berguguran dari pohon mangganya. Sekali pun dia juga tak terpikir untuk
memanen mangga manalagi yang telah ranum di dahan. Itulah kenapa setiap siang
sepulang sekolah banyak anak badung yang melempari mangganya dengan batu atau diam-diam
memanjatnya. Nenek itu tidak peduli berkilo-kilo mangga telah raib dicuri oleh
tetangga, serta mangga busuk berjatuhan sisa dimakan hewan liar.
Dia terkesiap
segera berdiri menyambut kedatangan seseorang yang mungkin saja dialah sosok
yang dinantinya selama ini. Matanya berbinar-binar menyiratkan kebahagiaan. Belum
juga terlihat langkah kaki siapa yang terdengar, dia sudah meyakinkan diri
sendiri bahwa itu adalah langkah kaki anak dan cucunya yang terakhir dia dengar
lima belas tahun lalu.
Untuk kesekian
kali, pil pahit kekecewaan harus ditelan. Bukan anaknya yang datang dari
pulau seberang, tapi segerombolan anak muda yang rajin menjenguk. Mereka bukan
siapa-siapa, tapi rela datang untuk menepis kesunyian rumah berdinding anyaman
bambu yang dihuninya. Mereka mengaku sebagai relawan—relawan pengusir
kesepian.
“Sudah
makan, Nek?” Seulas senyum tulus merekah di bibir mereka. Nenek tersenyum memamerkan
gigi yang sudah tak tersisa.
“Sudah.
Kalian sudah makan?” Mereka mengangguk bersamaan.
Suaranya
bergetar menyembunyikan keresahan yang menghinggapi ruang hati. Namun, tak
ada yang tahu, karena nenek tak pernah ingin mereka tahu. Nenek pikir, biar
saja penantian ini cukup dia rasa sendiri. Kesepian yang sudah mengakrabinya
bertahun-tahun itu sudah bebal dirasakan. Rasa pilu sudah terlalu perih,
namun sesakit apapun perasaannya, dia sudah terbiasa.
“Nenek
duduk saja. Nanti capek.” Tangan lembut gadis belia itu menuntun tubuh lemah berusia seabad itu duduk di kursi bambu reyot.
Di antara
lima pemuda pemudi yang datang, hanya dua yang bisa duduk di samping nenek dan
sisanya berdiri. Tak ada lagi kursi yang ada di rumahnya. Kasur nenek pun sudah
kempes nyaris terlihat kapuk di dalamnya sudah menghilang. Almari nenek juga
sudah keropos dimakan rayap.
Setiap pemuda
pemudi itu datang, nenek diperlakukan seperti ratu. Rambut yang nyaris tak
terlihat warna hitamnya itu disisir oleh gadis berbaju oranye, lalu baju
lusuhnya yang terbuka lebar dikancingkan oleh gadis berjilbab hitam. Nenek diam
membiarkan mereka memperlakukannya seperti boneka barbie yang dirias. Lalu kemudian,
seorang laki-laki berambut cepak mengulurkan gelas kecil berisi madu murni
seperempatnya. Nenek menurut, dia meminum madu itu pelan-pelan. Berulang kali
lidahnya mengecap-ngecap merasakan manis legit cairan kental keemasan itu.
Begitulah,
mereka datang selalu membawa apa yang tak tersedia di rumahnya. Nenek tak punya
apa-apa, hanya rangkaian ucapan terima kasih dan doa kebaikan untuk membalas
perhatian mereka. Meski mereka tak berbuat banyak untuk kehidupannya, dan apa
yang dilakukan mereka tak cukup untuk menebus kesepiannya selama ini, tapi
mereka tetap awet dalam ingatan tuanya. Meski tak ingat nama mereka satu per
satu, tapi nenek tetap ingat siapa mereka.
Hanya dengan
mereka nenek merasa didengarkan. Kadang, saat resah menyusup begitu hebatnya,
dia bercerita tentang para anak cucunya. Dia berkisah bagaimana saat rumah tua
ini masih ramai dengan anak-anaknya. Mereka pergi ke pulau orang untuk mencari
kehidupan yang lebih baik, tapi nyatanya janji pulang tak pernah mereka
indahkan. Nenek bilang, dia percaya anak mereka masih ingat nenek dan suatu
hari nanti akan pulang meramaikan rumah tua ini seperti dulu.
Mengisahkan kepada mereka perihal anak cucu sudah cukup untuk mengobati kerinduannya. Nenek mampu bersandiwara dengan mahir. Wajah riang dibingkai senyum manisnya. Padahal hatinya sedang bergemuruh menahan rindu yang kian lama menggerogoti pertahanan kesabaran.
Mengisahkan kepada mereka perihal anak cucu sudah cukup untuk mengobati kerinduannya. Nenek mampu bersandiwara dengan mahir. Wajah riang dibingkai senyum manisnya. Padahal hatinya sedang bergemuruh menahan rindu yang kian lama menggerogoti pertahanan kesabaran.
Lalu mendadak
rumah reyotnya menjadi sepi sepulang pemuda-pemudi itu. Kepergian selalu
menyisakan ingatan tentang anak cucunya. Mungkin rumah nenek juga akan ramai
dengan gelak tawa seperti tadi jika anak cucunya berkumpul. Seulas senyum
tersungging di bibir tipisnya. Lalu tanpa disadari, sebulir air meluncur di
pipi cekung pada wajah kusam nenek. Kenangan lama berhasil mengaduk-aduk perasaannya.
“Kenapa,
Nek?” Suara Surti, tetangga depan rumahnya datang membawa rantang berisi makan
siang.
Nenek
diam tak menjawab. Hanya matanya yang terlihat dipenuhi kilau embun.
“Pasti
rindu lagi ya sama anaknya?” Suara cempreng Surti membuat perasaan nenek
semakin berantakan.
“Sudah
berapa tahun peristiwa gelombang tsunami membawa anak nenek pergi? Sudah tiga
belas tahun mereka tak ada kabar, berarti mereka sudah tidak ada. Tak perlu
ditangisi, mereka sudah tak hidup lagi.” Nenek melihat gerakan bibir Surti yang
tak merasa berdosa mengucapkan itu. Surti sibuk membersihkan piring bekas makan
di meja samping nenek.
Surti kira pada sekeping hati renta nenek sudah tak bisa lagi tersayat luka. Padahal masih banyak lubang luka di sana yang masih menganga dan belum bisa diobati.
Nenek terpekur
meratapi tak ada orang yang mau mengerti tentang penantiannya. Atau tentang
kesepian yang perlahan-lahan menikamnya di rumah yang sempit dan gelap ini.
Rumah nenek
tidak mempunyai ventilasi yang memadai. Udara sulit masuk ke rumahnya. Yang ada
rumah ini terasa pengap dan panas. Banyak pakaian bertumpuk di tempat tidur membuat tak sedap pemandangan mata.
“Sudah,
dimakan sayurnya.” Surti akhirnya pergi. Begitulah, tetangga yang mengaku iba
dengan nasib nenek yang sebatang kara itu hanya datang dan pergi untuk memberi
makan.
Dia dan
para tetangga tak pernah bertanya bagaimana perasaan nenek. Bagaimana nenek
selalu dicekam kesepian ketika malam menghadirkan selimut gelapnya. Mereka mengira
nenek hanya butuh makan, padahal dalam palung hati nenek ada jeritan yang telah
lama tak terdengar, hanya menggema-gema didengar oleh dirinya sendiri dan
Tuhan.
Nenek tak
pernah marah dengan sikap Surti yang seperti itu, karena dia sadari mungkin
wanita beranak dua itu sudah lelah mengurusnya. Para tetangga juga sudah bosan
melihat keadaannya yang hanya merepotkan.
***
Sebulan
setelah itu, doa nenek terkabul. Rumahnya menjadi ramai. Banyak orang datang
untuknya. Entah karena kasian atau apa, mereka rela mendatangi nenek yang selama ini hanya merepotkan itu. Mendadak semua orang bergotong-royong mengurusi.
Pemuda-pemudi
yang biasanya menjenguk nenek juga datang, tapi kali ini sedikit pun tak ada
tawa yang menggema dari mereka untuk nenek. Seulas senyum pun rasanya berat
untuk mereka lukiskan. Perasaan mereka mengharu-biru.
Namun sayang,
anak nenek belum juga pulang. Sudah belasan tahun lamanya nenek menunggu tiada
jemu, mereka belum juga berkabar. Tapi mungkin saja, mereka tak pernah datang
karena sudah berpulang lebih awal dipanggil Tuhan. Jika nenek selalu berdoa
untuk dipertemukan dengan anak cucunya, mungkin inilah jawaban Tuhan.
Dan hari
ini, untuk terakhir kalinya nenek menjadi istimewa. Dia diantar beramai-ramai
oleh para tetangga untuk bertemu anak cucunya di peristirahatan terakhirnya.
*Mengenang sebulan kepergian Mbah Tosi
6 komentar
Mengharukan sekali Mba kisahnya, Subhanallah..
BalasHapusoh ya, salam kenal ya Mba
Iya mbak. Kasihan lihatnya.
HapusSalam kenal juga ya :)
Mbah Tosi ini yang pernah ada di tulisan yang dulu dek?? Yang punya sodara tua juga bukan? Ya Allahkuu kamu nulisnya gimana bisaa sebagus ini deek. Indah menyayat-nyayaat
BalasHapusIya bener, Mbak.
HapusMbak masih inget ternyata :D
Doakan beliau yak :)
Hai mbak Anik makin keren aja. Miss you :)
BalasHapusHalo mbak rikk. Miss you moreee dah :*
Hapus