Semua Ada Waktunya
Aku
ingat sekali, pada tanggal 10 Februari 2018 lalu aku datang ke wisuda seorang
kawan yang usianya lebih tua dariku. Melihat senyum merekahnya ada haru yang
kusembunyikan. Aku takut dibilang alay oleh kawan yang lain jika memperlihatkan
perasaan haruku.
Aku terharu
bukan hanya karena toga yang dikenakannya, terlebih karena cerita tak terduga
yang pernah diceritakannya sendiri di hadapanku.
Jadi ceritanya,
kawan yang ini adalah seorang pementorku di suatu organisasi. Seorang perempuan
tangguh yang begitu aku kagumi karena kedewasaan, pemikiran, dan prestasinya.
Aku belajar banyak dari dia. Kesibukannya di organisasi, membuat dia harus
menghabiskan waktu di kampus selama lima tahun.
Aku tidak
tahu bagaimana perasaannya saat melihat temannya sudah lulus, bekerja, atau
menikah, sedangkan dia masih sibuk dengan skripsi yang tak kunjung selesai. Dia
mengabdikan dirinya pada organisasi untuk berdakwah dan menyiapkan kader dakwah
selanjutnya. Seorang perempuan yang misi hidupnya untuk berjuang di jalan Allah
itu terlihat tak gentar meski tertinggal dari teman lainnya.
Lalu suatu
ketika di tahun 2017 saat terjadi bencana meletusnya gunung berapi di Bali, dia
terjun membawa nama organisasi kerelawanannya. Dia membuang penat karena
bertepatan hari itu sidang skripsinya ditunda oleh dosen. Dia membuang rasa
galaunya dengan melakukan aksi kebaikan di Bali. Setelah itu, aku tidak
tahu-menahu apa lagi yang terjadi dengannya.
Singkat
cerita, pada awal bulan Desember 2017 aku dikejutkan sebuah ucapan polosnya. “Kalian
belum tahu ya kalau aku akan menikah?” Sontak saat itu mataku membulat
mendengarnya. Kupikir dia bercanda, tapi kurasa perempuan seperti dia tidak
akan pernah bercanda pada hal-hal yang serius.
“Dengan
siapa, Mbak?” tanyaku.
“Dengan
anak relawan,” katanya.
“Relawan
Jember, bukan?” tanya teman sebelahku.
Di organisasi
relawan ini jika ada orang yang menikah, kita selalu penasaran menikah dengan
siapa. Karena di organisasi yang menerapkan syariat Islam ini tidak mengenal
kata pacaran sebagai pendekatan. Jika pun menikah dengan sesama relawan, kita
selalu ingin tahu bagaimana perjalanannya.
Perempuan
itu menggeleng. “Dengan siapa, Mbak?” tanyaku. “Dengan relawan Bandung. Kalian
nggak kenal. Aku saja baru ketemu sekali saat aksi di Bali,” ungkapnya.
Dia memulai
ceritanya karena aku dan teman sebelah kepo. Pertemuan mereka di Bali adalah
pertemuan biasa. Perempuan itu tidak
menaruh rasa kepada siapa pun. Namun mengejutkan, saat sepulang dari Bali,
laki-laki yang baru dikenal itu menghubunginya untuk mengungkapkan
keseriusannya. Sontak kaget, perempuan itu memberi nomor ponsel abinya kepada
laki-laki itu lalu memblokir nomor ponselnya.
Pernikahan
mereka simple, hanya satu kali pertemuan keluarga mereka sudah menemukan
tanggal pernikahan.
“Mbak, qodarullah ya sidangmu ditunda. Kalau
nggak ditunda mungkin mbak nggak pergi ke Bali lalu nggak ketemu si dia.” Perempuan
yang anggun itu hanya tersenyum mendengarku.
Mungkin
ini hadiah yang diberikan Allah atas ganti tertundanya sidang dan kelulusannya.
Karena Allah ingin saat wisuda, perempuan itu didampingi imamnya.
Tidak selalu
yang duluan lebih cepat dari yang terlambat. Dan yang terlambat, belum tentu
ketinggalan.
Dan
sekarang, teman-temannya yang sudah lulus banyak yang belum nikah, sedangkan
dia sudah memperoleh double gelar, yaitu sarjana dan istri. Ini sebagai bukti,
semua manusia mempunyai masa prosesnya sendiri-sendiri. Kita tidak perlu menyamakan masa proses setiap orang, karena setiap
bunga tidak mekar bersamaan. (unknown)
0 komentar