Aku Ingin Berhenti
“Aku
ingin berhenti . . . .”
Suaraku
sayup-sayup tertelan angin dan derasnya hujan sore lalu. Sorot mata wanita yang
ada di depanku memandang tajam terlihat berusaha mencari jawaban.
“Kenapa?”
tanyanya.
“Aku terlalu
takut jika tidak bisa melakukannya. Aku takut jika tetap di sini semua urusanku
terbengkalai.”
Wanita
itu mengembuskan napas dengan kasar. Aku tahu, mungkin dia kecewa dengan
ucapanku.
Aku mengatakan
ingin berhenti bukan seketika saat aku berpikir ingin berhenti. Tapi niatan itu
sudah kupikir berulang kali, bahkan ratusan kali. Ketika aku merasa lelah dan
berpikir ada hal lain yang harus kuperjuangkan, maka di saat itulah pikiran
ingin berhenti selalu kupertanyakan.
***
Aku
bukan orang yang mahir mengelola waktu dan pikiran. Aku bukan orang yang bisa
memikirkan dua hal secara bersamaan. Apalagi aku adalah orang pemikir yang
selalu suka memberatkan diri sendiri dengan sesuatu yang sebenarnya tidak
terasa berat bagi orang lain.
Banyak ketakutan
saat aku mulai sibuk memikirkan orang lain, karena aku takut diriku sendiri tak
terurus. Aku takut menjadi orang yang pandai membahagiakan orang lain, tapi
gagal membahagiakan orangtuaku sendiri. Dan mataku selalu membasah kalau ingat
itu.
Aku
kadang ingin seperti teman lain yang urusannya begitu mudah. Tinggal duduk
manis tanpa harus dihantui dengan macam-macam tagihan tugas. Bisa pergi ke
perpustakaan berjam-jam dan menyelesaikan tugas akhirnya sampai selesai tanpa
ada yang menjeda. Aku ingin seperti mereka yang tidak khawatir meninggalkan
gawainya tanpa memikirkan apa pun dan siapa pun.
Aku
ingin seperti mereka yang bisa pergi kemana saja sesukanya tanpa harus cemas
ada orang lain yang menunggunya. Aku ingin seperti mereka yang bisa melakukan
hobinya di sembarang waktu tanpa takut merusak banyak agenda.
Tapi itu
semua hanya keinginan, bukan kebutuhanku.
Berhari-hari
harus bangun dengan pikiran berkecamuk karena pesan-pesan mendarat bersamaan. Menagih
tugas ini itu, menanyakan ini itu, tapi tidak ada yang menanyakan bagaimana
kabar diriku. So sad.
Berhari-hari
harus tidur dengan membawa berderet-deret pertanyaan yang belum ada jawabannya,
harus berkutat dengan banyak agenda, dan harus menghadapai berbagai karakter
orang yang menguras tenaga. So tired.
Berhari-hari
harus merelakan menyingkirkan beberapa rencana untuk menyenangkan diri sendiri
karena ada bahagia orang lain yang harus didahulukan.
***
Kecamuk
pikiran itu mungkin terlihat pada sorot mata lelahku. Dan wanita yang ada di
hadapanku mengerti apa yang kurasakan karena dia pernah berada di posisiku saat
ini.
“Aku
tahu memang berat, tapi percayalah, Allah sudah berjanji untuk hamba-Nya yang
mempermudah urusan orang lain maka urusannya akan dimudahkan.” Wanita itu diam
sejenak lalu mencuri napas.
“Kita
tidak akan pernah tahu doa mana yang dikabulkan oleh Allah. Dan kita juga tidak
menyangka kalau ternyata doa terbaik orang-orang yang kau temui di luar sana
adalah doa yang dihijabah oleh Allah.”
Sesaat
aku terdiam. Dalam hati aku membenarkan ucapannya.
Lalu aku bertanya pada diriku sendiri. “Apakah
hidupmu merasa tidak berarti saat membersamai mereka di luar sana?”
Tanpa diminta, hati yang tidak bisa
berbohong ini menjawab sendiri,”Hidupku sangat berarti saat aku lelah dan
lillah bersama mereka.”
Dan
lalu, diriku menjawab sendiri harus bagaimana.
Aku bukan
orang yang sibuk sekali. Di luar sana banyak orang yang lebih sibuk, lebih
pusing, lebih berat, bahkan lebih terasa tertekan. Tapi nyatanya, berlian harus
berulang kali ditempa agar terlihat kilaunya, dan begitu juga manusia.
Aku teringat
pada sebuah nasehat, hidup bukan hanya
sekadar lewat, tapi harus banyak hal yang kita perbuat. Dan mungkin aku
sudah lupa pada sebuah kalimat yang pernah kutulis, kadang kita terlalu sibuk mengurusi sendiri sampai lupa untuk berbagi
pada orang lain.
Dan ketahuilah, dunia ini adalah tempat
berlelah-lelah di jalan-Nya. Dan tempat peristirahatan terbaik adalah
surga-Nya.
Jadi
sudah sangat jelas. Bahwa hidup bukan hanya tentang “aku”, tapi juga “mereka”
di luar sana. Dan setiap kehidupan adalah perjuangan, bukan mencari
peristirahatan, karena sejatinya surga adalah tempat istirahat terbaik.
2 komentar
Karena hidup tidak melulu tentang diri sendiri.
BalasHapusApa kabar mbak Anik? ^^
Alhamdulillah baik. Mbak Nova apa kabar?
HapusMakasih ya setia mampir di sini :)