Didewasakan Oleh Waktu

by - 00.00


Aku pernah menemui status orang, aku lupa namanya karena tidak mengenalnya. Bunyinya seperti ini, Imam Ali pernah mengatakan, “Didiklah anak-anakmu 25 tahun sebelum lahir.” Artinya pendidikan anak dimulai jauh hari sebelum orangtuanya menikah yaitu dengan cara mendidik diri mereka sendiri dan mencarikan bagi anak turunannya rahim yang salehah.

25 tahun sebelum lahir sama saja sebelum kita dilahirkan. Jika kita mempersiapkan mendidik satu generasi sebelum lahir, sama saja dengan mendidik generasi berikut-berikutnya. Begitu juga, di saat kita mendidik diri sendiri di masa ini, sama saja dengan mendidik anak-anak kita kelak.

Jujur, beberapa bulan terakhir ini aku berkeinginan untuk menikah muda. Karena alasan yang hanya mementingkan diriku sendiri. Tapi semakin ke sini, aku banyak menemukan perbincangan, tulisan, dan artikel yang mengatakan bahwa pernikahan itu bukan hanya tentang kesiapan untuk menerima seseorang dalam hidup kita. Namun, pernikahan itu lebih kompleks. Kita harus menyiapkan bermacam-macam hal untuk siap menjalani ibadah yang waktunya  paling lama ini. Mungkin dengan cara ini Allah menegurku untuk tidak terlalu terburu-buru. Allah ingin hamba  yang belum begitu baik ini untuk mempersibuk memperbaiki diri.

Dulu semester awal, aku belum pernah kepikiran tentang rumah tangga, mendidik anak, dan hal-hal yang berbau serius. Tapi usia yang membawa pikiranku untuk tenggelam pada hal-hal yang mau tidak mau harus aku pelajari. Tidak ada yang pernah menyuruhku untuk mempelajari tentang pernikahan dan parenting. Entah, aku juga tidak tahu dapat bisikan darimana selama ini.

Di usia yang semakin mendewasa  banyak hal yang kutemukan dengan sendirinya. Hal itu terbesit begitu saja saat aku menghadapi suatu permasalahan atau peristiwa. Sampai aku sadar, sebenarnya yang membuat kita dewasa itu adalah usia. Ya memang, usia  tidak menjadi patokan seseorang sudah benar-benar dewasa. Banyak orang yang sudah berumur, nyatanya masih belum dewasa pemikirannya. Banyak anak yang masih belia, tapi pemikirannya sudah seperti orang dewasa. Bisa jadi, itu semua karena pengalaman, lingkungan, dan konten apa yang dikonsumsinya.

Sebenarnya aku tidak sering berada di lingkungan orang dewasa. Lingkungan sekitarku juga banyak yang tidak tertarik dengan parenting dan ilmu pernikahan. Ada sih, tapi tidak terlalu banyak. Pokoknya entahlah, aku tidak tahu kenapa begitu serius untuk mempelajari ilmu ini.

Meskipun aku mempelajarinya dengan mencuri-curi waktu, misalnya saat ada waktu kosong aku blogwalking pada akun-akun ibu rumahtangga dengan membaca cerita tentang anak, suami, dan rumah tangga mereka. Aku juga mengoleksi buku-buku tentang pernikahan dan parenting.  Dengan terlihat lugunya aku pasrah saat ditertawai teman-temanku. Katanya bacaanku sudah seperti orang dewasa.

Tapi aku cuek saja. Karena bagiku, mempersiapkan pernikahan dan mendidik anak itu bukan hanya membaca setelah menikah lalu dipraktikkan. Tapi dimana kita membaca berulang kali, meresapi, dan mempraktikkkannya juga berulang kali. Semua itu membutuhkan proses persiapan yang panjang.

Tapi di sisi lain, kita tidak hanya belajar dari buku. Bisa jadi dari kebiasaan seseorang, dari sebuah peristiwa, dan lingkungan. Aku sering berkumpul dan mengamati kebiasaan teman-teman yang menurutku mereka lebih dewasa dari diriku. Aku memperhatikan mereka  saat marah, saat berbicara, mengontrol emosinya, menghadapi suatu masalah, dan lain-lain. Lalu dari itu semua terbentuk sebuah karakter baru dalam diriku.

Aku menyadari  sebuah kesalahan yang baru saja aku sadari. Aku adalah orang yang emosional, mudah meluapkan emosi pada media sosial, mudah terbawa suasana, dan sulit untuk mengendalikan diri sendiri. Aku malu sekali rasanya pernah marah dengan orang, berprasangka buruk, membuka aib orang, mudah memutuskan suatu hal saat marah, dan hal childish lainnya.

Sampai hari ini, aku mengingat-ingat dari tahun ke tahun sedikit banyak perubahan pada diriku sehingga terbentuklah hal yang baru pada diriku. Meski belum sempurna baik dan masih banyak hal yang harus kupelajari.

Hal yang ingin kusampaikan sebenarnya adalah kalau kita menyadari bahwa kelak setiap manusia akan mendidik dan mempersiapkan generasi bangsa, pastilah mereka akan menyiapkan masing-masing dirinya untuk menjadi sebaik-baiknya guru. Mereka berbuat baik bukan semata hanya untuk menggugurkan kewajiban yang dititahkan Allah. Tapi karena menyadari, bahwa dari satu karakter dalam dirinya bisa turun pada generasinya kelak. Pastinya semua orang tidak ingin melihat generasi penerusnya mewarisi sifat buruk darinya.


Kalau pun ada orang yang belum bisa dewasa padahal usianya sudah menua, positif thinking saja, kelak akan ada waktunya dia menjadi lebih dewasa dari saat itu. Setiap orang berproses mendewasa dengan cara yang berbeda karena banyak faktor. Tidak bisa disamakan, pada usia ini si A,B,C harus mampu begini-begini. Ada yang lambat dan ada yang cepat.


Karena aku pernah merasakan, sebenarnya saat  aku masih terlihat seperti anak kecil atau melakukan hal-hal buruk lainnya, bukan karena aku ini egois tidak mau belajar. Bukan karena itu karakterku dari kecil dan  bersikeukeuh untuk mempertahankan. Tapi dari pengalamanku sendiri, itu semua karena atas ketidaktahuanku. Ibarat orang belajar di sekolah, aku pernah tidak masuk saat pelajaran tentang mengelola emosi sehingga aku ketertinggalan bab materi.


Seperti yang sudah kutulis di atas, semua itu membutuhkan proses belajar yang panjang. Andai saja, pendidikan di Indonesia ini meluluskan siswanya yang benar-benar bisa mengerti esensi belajar dan menerapkan ilmunya, mungkin bertahun-tahun hanya segelintir orang yang bisa lulus. Karena apa? Karena selama ini pendidikan di negara ini lebih mengajarkan kita untuk menghafal dan mendapat nilai bagus. Sampai-sampai kebanyakan orang lupa tentang sebuah arti belajar sampai dia menua. Banyak orang mengira belajar hanya untuk anak sekolah dan kuliah. Padahal setiap harinya kita ini belajar tentang apa pun itu, entah kecakapan hidup, mengelola diri, tanggung jawab, dan lainnya. Ilmu di dunia ini tidak akan habis jika kita belajar ribuan tahun pun. Karena pada dasarnya, sepandai-pandainya manusia, ada Maha Pandai yang menguasai semua bidang ilmu.


You May Also Like

8 komentar

  1. Permasalahan hidup memang suka mendewasakan ya mba :)

    BalasHapus
  2. dewasa bukan hanya soal umur dan fisik ya mbak.. yang mendewasakn kita butuh waktu, tempaan, serta kesabaran dan keinginan belajar yang kuat..

    BalasHapus
  3. Kadang pengalaman hidup bisa menentukan seseorang itu bisa menjadi dewasa secara wajar, lebih cepat dewasa atau bahkan terlambat dewasa, berapapun usianya.

    Ada anak usia 10 tahun yang sudah bisa momong adiknya, memasak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, padahal dia juga sekolah.

    Sementara anak lain dengan usia sebaya, masih asyik dengan gadgetnya sepanjang hari dan bermanja-manja.

    Pastinya banyak hal yang mempengaruhi ya mbak, entah secara alami atau sengaja dikondisikan demikian :).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bener, Mbak. Kedewasaan nggak didapat secara instans. Butuh proses yang panjang.

      Hapus
  4. dari pengalaman sya sebagai anak kos, kita dituntut mengahadapi semua masalah dan bertanggung jawab dan pantang mengeluh maka disini terbentuk sendiri kedewasaan dalam diri kita. namun semua butuh prosesnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. *tos* kita sama anak kos hehee
      semenjak kos juga aku jadi belajar untuk mandiri dan dewasa

      Hapus