Andaikan Media Sosial Tanpa Status
Apa
jadinya jika media sosial tanpa status?
Pasti membosankan
dan tidak ada variasi. Itulah alasannya mengapa setiap aplikasi selalu memberi
terobosan baru pada fiturnya. Jan Koum dan Brian Acton yang mendirikan whatsapp
berinisiatif menambah fitur status pada aplikasinya agar semakin banyak orang
yang tidak jemu lalu meninggalkan aplikasi buatannya.
Tapi beda denganku yang malah
menyesal kenapa di whatsapp ada fitur status. Padahal dulu aku rela uninstal BBM dan beralih ke WA karena di WA hanya ada fitur chat dan panggilan. Itu pun dulu hanya
tersedia panggilan suara.
Terdengar
aneh memang. Harus kuakui, aku adalah orang yang type bapernya akut. Kronis
malah, sudah stadium empat. Tahu sendiri kan, di BBM setiap pagi sampai malam,
bahkan 24 jam sudah seperti warung makan yang menyediakan foto makanan lauk apa
saja. Seperti majalah yang menyediakan foto cewek dan cowok dengan gaya yang
berbagai rupa. Serta menyediakan foto yang banyak sekali tidak jelas. Dan harus
kuakui juga, aku pernah masuk dalam kategori itu. Dikit-dikit upload,
dikit-dikit buat status. Kalau sedikit saja ada sesuatu yang terjadi, seakan
dunia harus tahu dengan mempostingnya di status.
Dan
sekarang aku sudah taubat. Hiks. Aku sadar ternyata dulu sempat masuk dalam
dunia yang alay. *Maaf tulisan ini tidak bermaksud menyinggung siapa pun, aku
sedang membicarakan diriku sendiri*.
Aku
sempat berpikir seperti ini, banyak waktu yang terbuang sia-sia. Hanya karena
satu unggahan foto. MasyaAllah, untuk mengunggah satu foto saja harus menjepret
berulang kali agar hasilnya bagus. Lalu mengedit sana-sini agar tampilannya
lebih wah. Dan yang terakhir, membumbui dengan caption yang begitu manis agar
terlihat lebih bermakna.
Di sisi
lain, aku merasa sudah banyak jam yang aku habiskan hanya untuk melihat status
orang. Mungkin ini hanya aku yang merasakan, karena ini semua tergantung dengan
lingkaran orang yang berteman dengan kita di media sosial. Status mereka bagiku
amat nggak penting. Sesuatu yang sepele banget. Dan bodohnya aku dulu yang
mau-maunya men-scroll sampe bawah
untuk kepo dengan status mereka.
Dan
yang lebih tragis, media sosial digunakan untuk menyindir seseorang. Meluapkan
emosi dengan berkata kotor dan mengumpat orang sepuasnya. Dan ini yang selalu
membuat salah paham antara teman satu dan teman lainnya. Padahal energi buruk
yang diluapkan melalui tulisan, ucapan, dan lainnya bisa memberikan pengaruh
buruk pada psikologis seseorang. Semakin sering seseorang mengonsumsi pengaruh
buruk, maka dalam dirinya juga akan muncul energi buruk. Hmhmh, dan aku juga pernah
masuk dalam kategori yang ini.
Beda cerita
kalau teman BBM kita adalah orang-orang yang dewasa dan bijak. Setiap apa pun
yang mereka upload selalu berupa nasehat dan hal-hal yang penting. Meski
membaca status beberapa menit saja, rasanya sudah mendapat ilmu yang banyak.
Untuk mengantisipasi
hal itu, di media sosial mana pun aku hanya melihat story orang-orang yang sering menyebarkan ilmu dan nasehat. Jika ada
orang-orang yang story-nya alay, aku mute. Agar aku tidak membuang waktu
untuk melihatnya. Kalau berisi guyonan satu dua kali masih wajar. Memang hidup
tidak selalu dibawa serius.
Semakin
ke sini, aku semakin sadar tidak semua hal harus dipublikasi. Jika ada acara
organisasi, reuni, acara keluarga masih pantas untuk diunggah. Tapi jika setiap
hari mengunggah foto jalan-jalan dengan foto makanan yang menggiurkan, aku
mikir-mikir untuk ini. Sempat baca di blognya Mbak Gita Savitri, coba baca
tulisan dia yang berjudul Kesederhanaan yang Dirindukan. Ada satu kalimat yang
buat aku mikir di tulisan itu, Bagaimana
pertanggungjawaban gue nanti, kalau ternyata ada banyak orang yang iri melihat
hidup gue karena secara tidak sadar gue pamer kekayaan. Lalu orang-orang itu
lantas mikir hidupnya itu nggak menyenangkan dan nggak patut disyukuri.
Orang yang
suka kuliner dan orang yang hanya suka mengunggah foto itu beda, gaes. Aku nggak
menyalahkan orang-orang yang suka kuliner lalu mengunggah setiap foto makanan. Kalau
kuliner dijadikan hobi, pasti di foto itu ada keterangan tentang harga, rasa,
tempat, atau cara pembuatan. Postingannya sangat informatif. Beda kan kalau cuma
sekadar nongkrong. Foto tangan dekat cup coklat
atau lainnya. Tujuannya apa coba? Orang yang suka travelling juga akan memberikan informasi tentang tempat-tempat
yang dikunjunginya, bukan hanya sekadar upload foto dengan caption yang
dibuat-buat agar terlihat bijak.
Aku baca
tulisan Mbak Gita tuh mikir keras banget. MasyaAllah, aku mikir lama. Merenungi
sikapku dulu yang terlalu berlebihan. Sampai-sampai di instagramku numpuk foto
nggak penting dengan gaya yang sok imut. Seketika setelah itu juga aku hapus
semua foto itu. Aku berbalik lagi bertanya pada diriku sendiri. Tujuan aku buat
akun instagram itu buat apa sih. Kalau sekadar cuma buat upload foto senang-senang
lalu mengumpulkan like
sebanyak-banyaknya, lalu aku akan mendapatkan apa? Setelah nanti berpuluh-puluh
tahun ke depan, apa gaya hidupku yang “dikit-dikit
upload” itu tetap aku pertahankan. Lantas, setelah foto itu menumpuk di
media sosial fungsinya untuk apa?
Bukankah
lebih mengerikan lagi jika banyak orang memuji tentang hidupku. Dan itu yang
akan membuatku terkena penyakit hati. Hidup yang kelihatannya baik-baik saja,
atau bahkan ada yang menilai aku ini dari orang yang berada. Bener kata Mbak
Gita, sungguh, aku merasa berdosa sekali jika ada orang yang tidak mensyukuri
hidupnya karena melihat hidupku. Padahal foto itu hanya sekadar gambar yang
bisa dimanipulasi dengan senyuman. Kita tidak pernah tahu hidup seseorang sesungguhnya
jika hanya melalui foto. Karena itulah, aku mulai belajar untuk menyimpan momen-momen
kebahagiaan itu sendiri. Tidak perlu mengumumkan kepada semua orang bahwa aku
ini bahagia. Aku pernah baca buku tapi lupa sumbernya. Di buku itu di jelaskan,
justru orang yang memperlihatkan kebahagiaannya di media sosial malah
sebenarnya dia adalah orang yang sedang menyugesti dirinya sendiri bahwa dia
adalah orang yang bahagia. Dialah orang yang berusaha keras untuk menutupi
keadaan yang sebenarnya.
Aku
merasa tertampar setelah sadar apa yang selama ini aku lakukan kebanyakan tidak
informatif dan bermanfaat. Hidup hanya
sekadar senang-senang dan upload. Itulah
sebabnya aku jarang sekali lewat di beranda instagram dan facebook beberapa
bulan ini. Membuka akun kedua media sosial itu hanya untuk mengunjungi akun
atau grup yang penting. menurutku kedua media sosial inilah yang lebih banyak
berisi ke-alay-an.
Sebenarnya
aku hanya ingin mem-follow akun yang
penting, tapi tidak enak hati jika meng-unfollow
ratusan teman sekolah dan kuliah. Sehingga aku lebih memilih menggunakan
seperlunya. Jika aku tidak menyukai, ya sudah aku tidak perlu melihatnya. Aku juga
takut terlalu menilai postingan orang lain nanti jatuhnya aku merasa lebih baik
dan nge-judge orang seenaknya. Di samping
itu aku juga takut tidak mensyukuri nikmat yang ada pada hidupku jika banyak
melihat kemewahan teman-teman di instagram. Aku pun masih harus banyak belajar
untuk bersyukur.
Andaikan media sosial tanpa fitur status, apakah hidup kita menjadi damai tanpa ajang pengeksposan gaya hidup? Atau kah hidup ini serasa menjemukan karena kita tidak lagi bisa kepo tentang suasana hati atau gaya hidup seseorang?
Andaikan media sosial tanpa fitur status, apakah hidup kita menjadi damai tanpa ajang pengeksposan gaya hidup? Atau kah hidup ini serasa menjemukan karena kita tidak lagi bisa kepo tentang suasana hati atau gaya hidup seseorang?
Gaes,
kebahagiaan itu tidak dinilai seberapa sering kita upload foto atau seberapa
sering kita keluar jalan-jalan menghamburkan uang. Kebahagiaan itu sederhana
sekali—sesederhana kamu mensyukuri nikmat Tuhan.
"Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang
kamu dustakan"
--Ar-Rahman--
7 komentar
Setuju. Kebahagiaan itu sederhana banget. Media sosial tanpa status pasti membosankan ya. Saya jarang upload foto, paling kalau share event aja.
BalasHapusIya, yang membuat seru sebenarnya statusnya :)
HapusTetap harus bijak menggunakan media sosial ya, mbak Anik. Bahagia itu salah satunya bisa berbagi hal-hal yang bermanfaat pada orang lain. Bila tidak bisa memberi manfaat, setidaknya jangan membawa mudharat :)
BalasHapusNaah. Iya bener mbak :)
HapusI agree with u Mbak, saya udah jarang banget update status atau ngalay wkwk less selfie more masterpiece sih Mbak prinsip saya cz saya ingin dikenal sbg orang yang kaya akan karya dan manfaat bagi umat^^ nice post, sukakkk
BalasHapusSamaaaa, Mbak. :)
HapusSukaaaakk
BalasHapus