Boneka Pernikahan
Kusibakkan korden berenda
putih di ruang tamu. Kulihat kau pulang dengan sosok yang kukenal bergelayut
manja menggandeng tanganmu. Kalian berjalan beriringan dengan langkah ringan. Tanpa
tergesa—menikmati setiap langkah kaki berdua menuju rumah. Sesekali saling
pandang lalu melempar senyum satu sama lain. Tak kulihat bibir kalian
mengungkapkan satu dua kata. Hanya gerakan mulut kalian yang bisa kulihat
sedang menggemakan tawa. Melihat kalian semakin dekat, aku masuk ke dalam kamar
tamu yang berhadapan dengan kamar kita.
Aku
sengaja tidak mengabari bahwa siang ini batal berkunjung ke rumah ibumu. Pintu rumah
depan sengaja kukunci agar kau mengira aku benar-benar sedang pergi. Seperti biasa,
kau masuk dengan kunci yang kumasukkan di dalam pot bunga depan rumah.
Siang
ini, aku ingin membuat sedikit kejutan untukmu. Aku tahu hari ini kau pulang
lebih awal. Dan kali ini aku ingin menikmati makan siang berdua yang sering kau
batalkan.
Dari celah pintu aku melihat kau
masuk berdua ke kamar kita. Pintunya kau biarkan terbuka. Melihatmu begitu
memperlakukannya dengan lembut membuat perasaan penasaran menyelinap pada
diriku. Kenapa kau bisa selembut itu? Belum pernah kau perlakukan aku begitu
manisnya.
Tenggorokanku tercekat saat kau
membelai lembut rambutnya. Hatiku teriris. Kau tidak pernah selembut itu kepadaku.
Dari awal kita kenal, kau adalah sosok yang dingin. Kukira, setelah kita
menikah, kau akan berubah menjadi hangat. Ternyata tidak.
Seperti maling, aku mengintai kalian
dari celah pintu. Sayup kudengar obrolan yang tak bisa kupahami. Dari jarak sedekat
ini aku melihat semua rekam adegan yang kau lakukan.
Kulihat dari balik jendela kamar
tempatku berdiri mendung sedang menggantung di langit abu-abu. Suara kilatan
petir menggelegar. Tak kupedulikan. Aku sibuk memperhatikanmu.
Hampir 90 hari kita merajut hari di
ikatan suci, belum pernah aku bisa menggamit tanganmu ataupun membelai rambutmu
yang kehitaman. Tak sekali pun pernah kau daratkan ciuman hanya sekadar di keningku yang terlapisi kulit
kuning langsat. Tak pernah kau memamerkan kemesraan kita seperti yang sedang
kulihat sekalipun kita hanya berdua di sudut ruangan. Pernah aku mencoba
menyentuh, kau selalu berjingkat menjauh.
Mula-mula kalian saling berhadapan. Kau
tarik tangannya lembut lalu kau rekatkan tubuhmu dengannya. Napas kalian
memburu menikmati setiap sentuhan. Kulihat kalian menelan butir-butir
kebahagiaan yang tercipta.
Tenggorokanku tercekat melihat kau
lebih memilihnya dibandingkan aku. Sempat aku mempertanyakan, sikapmu yang dari awal selalu
dingin. Kau hanya menggeleng lalu tersenyum. Dengan lembut kau membisikkan
kalimat di daun telingaku tanpa sedikit pun menyentuh, “Belum saatnya.” Aku
lelah bertanya jika jawabanmu selalu sama.
Kupikir, apa arti sebuah pernikahan
jika aku hanya kau jadikan boneka penghias kamar. Adakalanya wanita itu seperti
teh. Sangat hangat lalu akan dingin jika dibiarkan.
Jika menginginkan sebuah kenikmatan,
bukan dia yang seharusnya kau pilih. Kau boleh memilih puluhan wanita di luar sana,
atau kupu-kupu malam sekali pun. Asal jangan dia yang sedang kau rengkuh dalam
kehangatan tubuhmu.
Pantas
saja, banyak kutemukan pesan-pesan manisnya di ponselmu. Aku kira ini hal biasa
dalam sebuah pertemanan. Ternyata selama ini kau menjalin cerita dengannya di
atas lengkingan rintihan lukaku. Kurasakan perih goresan luka yang tercipta. Hati ini tercabik sembilu, berdarah-darah, dan
putus asa.
Lebih baik aku tak pernah menikah
denganmu, jika aku hanya kau jadikan pembantu di rumahku sendiri. Kukira,
perasaanmu memudar karena aku tak terlalu baik dalam mengurusimu. Kurasa tidak.
Aku selama ini sudah berusaha menjadi yang terbaik. Menyiapkan kopi pahit, nasi goreng, dan telur ceplok kesukaanmu setiap pagi. Menyiapkan pakaian
kerja dan membersihkan setiap sudut rumah kita. Mati-matian aku belajar memasak
dari ibumu. Selalu menghidangkan masakan lezat kesukaanmu agar kau betah di
rumah. Tetapi kau lebih suka makan di luar bersama dia—teman kerja yang pernah
kau perkenalkan denganku.
Ingin rasanya, setelah kita berdua
lelah dengan rutinitas hari, malamnya bisa merajut kasih bersama. Hanya sekadar
bersandar di bahumu saat kita duduk di depan tivi, atau memelukmu saat kita
tidur berdampingan. Keinginan itu tak pernah terealisasikan, hanya sekadar
ucapan permintaanku setiap malam, lalu menguap begitu saja tertelan waktu.
Udara di luar sangat dingin. Air mata
langit sedang mengguyur bumi. Tetapi di sini, aku merasa sedang di atas bara
api. Begitu panas. Aku sibuk melepaskan karbondioksida, menghirup oksigen,
tetapi itu justru membuatku sesak, menyiksa.
Setelah aku berhasil menguasai diri,
kubuka pelan pintu yang sedari tadi menyembunyikanku. Aku melangkah pelan
mendekat tanpa suara. Langkah kakiku pun tak terdengar.
“Alan.”
Aku memanggilmu dengan suara serak. Suaraku lirih dan tertelan angin.
“Alan!” suaraku sedikit keras dari
biasanya.
Sontak kau hentikan adegan
menjijikkanmu. Mata kalian membulat melihatku berdiri di ambang pintu. Kulit putihmu
memerah menahan malu.
Dengan langkah gontai kau berjalan
menghampiriku.
“Alice, Bukannya kau pergi?”
“Apa yang sedang kau lakukan?” Aku
menelan ludah menahan air mata. Dia berdiri tepat di hadapanku.
“Aku...” Kalimatnya menggantung tak
terselesaikan, menguap di udara.
Kita berdua saling pandang dan sibuk
menenangkan detak jantung masing-masing. Kutatap serius kedua bola mata
hitamnya. Aku mencari arti dari pandangannya. Apakah ada rasa bersalah
terhadapku? Tetapi aku tak menemukan apa-apa, lebih tepatnya tak bisa
mengartikan pandangannya.
“Jawab pertanyaanku!” Aku
membentaknya begitu keras. Hal yang tak pernah kulakukan kepadanya.
Kutatap lama sosok di pojok ruangan.
Dia bergeming di tempatnya. Aku bisa melihat sendu yang menghiasi wajahnya. Dengan
terburu, dia mendekatiku. Tubuh tingginya menjulang di samping Alan. Berulang kali
aku menelan ludah menahan air mata di depan mereka.
“Aku minta maaf, Alice,” suaranya
terdengar seperti belati yang menusuk batinku. Hanya sepotong maaf tak akan
bisa merapikan kepingan hatiku yang sudah berserakan. Kalian sudah menghujamkan
baja yang sangat keras dan terlalu dalam di hatiku.
Aku hanya terdiam. Bibirku kelu. Suasana
lengang. Hanya isakan tangisku yang pecah dan tak bisa kutahan. Tubuhku berguncang-guncang
merasakan luapan amarah. Kuhembuskan napas kasar untuk meredakan tangis.
“Jika
kau mau, silakan pilih wanita mana saja untuk kau kencani, aku rela, asal bukan
laki-laki seperti dia.”
Kita membisu, membiarkan udara yang
berbicara. Mewakili suasana hati yang tak mampu dilisankan dalam bentuk
kata-kata.
#Fiksi
13 komentar
Diiih. Si alan gay -,-
BalasHapusKeren banget nih ceritanya mbak anik. Love it
Iya nih ternyata si Alan ...
HapusTerima kasih, Mbak. :)
Ya ampuuun ngga ketebaak, kirain ceweeek :) endingnya kereen!
BalasHapusTerima kasih, Mbak :)
HapusDiiih. Si alan gay -,-
BalasHapusKeren banget nih ceritanya mbak anik. Love it
Endingnya super kereeen. Nice one! Lanjutkan.
BalasHapusTerima kasih, bang :)
HapusWow, kirain... :)
BalasHapusKirain apa, Kak? :v
HapusEndingnya twist...gx ketebak...gak ngira..krain slingkuh sama cewek..eh ternyata... Wkwkwk
BalasHapusHahaa. Nggak ketahuan ya :D
HapusIya mbak...bener2 ending tak terduga..hehe
HapusTerima kasih Mbak yang lebih keren :)
BalasHapus