Sepotong Kisah Tentang Mereka

by - 19.15


*Tulisan ini aku dedikasikan untuk orang-orang yang sedang berjuang untuk hidup keluarganya di jalanan dan untuk anak-anak lain yang kurang beruntung (entah yang sedang sekolah maupun tidak). Kita doakan agar Allah selalu mencukupi kebutuhan mereka, melancarkan segala urusan mereka, dan mengabulkan setiap doa dalam tangis mereka. Mari di-Amiinkan!*

Doc. Pribadi

Doc. Pribadi

Aku selalu merindukan mengikuti aksi-aksi sosial di organisasi kerelawanan. Seperti kafein kopi yang selalu membuatku kecanduan. Aku suka melihat lengkungan senyuman mereka yang ada di jalanan. Ada bapak tukang becak atau petugas kebersihan yang dengan sumringahnya mengucap terima kasih. Atau tukang tambal ban yang menggigil kedinginan di bawah atap yang bocor suatu malam menyambut kedatanganku dengan senyum kelelahan. Bahkan wajah sendu seorang bapak yang terbangun di emperan toko.

Kadang, aku sempat kecewa jika tidak ada donatur di program Jumat MENABUNG (Menebar Nasi Bungkus), sehingga tidak bisa melakukan aksi. Pernah dana yang terkumpul hanya sedikit. Setelah semua nasi bungkus yang kami sebarkan habis, kami berniat akan pulang. Dalam perjalanan, masih banyak terlihat mata-mata lelah dan peluh bercucuran itu serasa melambai kami untuk mendekat. Dengan kesepakatan, kami merogoh sedikit saku untuk membelikan mereka nasi bungkus lagi.

Dan hal yang paling menyenangkan itu saat dana yang terkumpul cukup banyak. Sehingga akan banyak bungkusan yang kami bagi. Akan banyak senyum yang akan kutemui. Akan banyak secercah bahagia yang bisa terlukis dalam hati mereka. Seperti yang rumah zakat selalu ajarkan, Ketenangan ada saat bisa berbagi dengan sesama.

Aku suka mendengarkan mereka bercerita tentang kehidupan yang dilaluinya. Sebelum mengulurkan nasi bungkus, selalu kutanya nama, alamat, pekerjaan, bahkan penghasilan.  Aku berlaku seperti pembeli seperti biasanya. Bertanya harga dagangan mereka atau sistem kerja jika mereka bekerja menjual jasa. Tanpa pernah keberatan, mereka selalu menjawab panjang lebar. Berkisah tentang kepingan hidup mereka yang tidak mudah untuk djalani. Cerita mereka selalu mengalir tanpa pernah kuminta. Bahkan, ada temanku yang berbincang sangat lama sekali dengan seorang kakek yang ternyata adalah veteran. Beliau berkisah tentang perjuangannya melawan Belanda.  Perasaanku selalu bergetar mendengar kisah-kisah mereka.

Minggu kemarin, aksi kami di sebuah sekolah yang bertempat di dekat rumah teman seorganisasi denganku. Dia bercerita, sekolah ini berdiri di tanah bersengketa yang tak berkesudahan urusannya. Bangunanannya sudah tidak memadai. Dekat gedung sekolah itu juga ada kandang kambing, serta di sana tidak ada air bersih yang tersedia. Tempatnya memang di pelosok Kabupaten Jember.
Doc. Pribadi

Doc. Pribadi

Doc. Pribadi

Aksi di sekolah terdengar menyenangkan. Dan aku menyambut dengan senang. Pertama kali melihat sekolah itu memang berbeda jauh dengan gedung sekolah yang berdiri gagah di pinggir kota. Tempat ini tidak bercat warna-warni, berpagarkan besi, serta dikelilingi pohon menjulang bersemi. Kesan indah atau pun nyaman tidak tersirat di tempat ini.

Tapi yang membuatku begitu senang berdiri di sini adalah karena keantusiasan para murid kelas dua yang kumasuki. Betapa mereka bersorak gembira menyambut kami. Melompat kegirangan memanggil kami kakak. Mengangkat tangan tinggi-tinggi saat kami bertanya apa cita-cita mereka. Sungguh, menyenangkan sekali. Senyum polos mereka membuatku lupa bahwa mereka itu kumal dan tidak rapi seperti anak kota lainnya. Tanpa perlu aku jelaskan panjang lebar, kalian pasti sudah tahu dan bisa membayangkan cara berpakaian mereka itu seperti apa. Ruang kelas yang tidak memadai itu tetap menjadi tempat yang menyenangkan.

Kami mendongeng, bermain, menyanyi, dan tebak profesi. Saat ditugaskan menulis di sebuah kertas tentang apa cita-cita mereka, aku berjalan menghampiri satu persatu. Ada anak yang belum bisa membaca dan menulis, tetapi dia bisa menulis namanya sendiri. Saat aku tanya ingin menjadi apa, dia menjawab ingin menjadi dokter. Aku membantunya mengeja. Kujelaskan, dokter itu diawali dari kata D. Dia menulis D dengan sempurna, lalu o, k, t,e, dan r dengan benar. Oh ternyata anak ini sudah mengenal huruf tetapi belum bisa menulis kalimat.

Lalu ada seorang anak laki-laki duduk sendiri di bangku paling pojok. Aku menghampirinya. Kulihat kertasnya hanya ada coretan O dan I. Aku tanya apakah dia sudah bisa menulis, dia hanya menggeleng. Lalu teman di sampingnya menjawab bahwa anak itu hanya bisa menulis lingkaran dan garis lurus.

Aku membimbingnya untuk menulis. Saat kutanya dia ingin menjadi apa, dia menjawab tentara. Aku menuntunnya dengan mengucapkan huruf-huruf yang merangkai kata tentara. Dia tetap menulis O dan I. Lalu aku menulis huruf T di kertasnya, aku menyuruh dia untuk menuliskan apa yang telah kutuliskan. Tapi tetap saja dia menulis huruf O dan I. Meski salah, aku terus melanjutkan menuntun menulis huruf-huruf selanjutnya dan memujinya. Pikirku, setidaknya dia mau mengikuti perintahku dulu.

Setelah selesai menulis, kertasnya hanya tergores coretan. Meskipun begitu, aku menyuruhnya untuk menempelkan seperti teman-teman yang lain di papan. Saat dia duduk lagi di kursinya, aku menghampiri. Tadi kutanya, ternyata namanya Rio.

“Rio, di rumah belajar dengan siapa?” Dia hanya menunduk.

“Ibu dan Ayah masih ada?” Dia menunduk lagi.

“Rio punya adik atau kakak?" tanyaku lagi. Dia membuang muka tak melihatku sekali pun.

Lalu aku bertanya pada anak yang lain, Rio memang belum bisa membaca dan menulis. Karena setiap kali diminta belajar, dia memberontak lalu memukuli ibunya. Sedikit heran, padahal aku menangkapnya dia anak yang pendiam.

Setelah istirahat, kami membagikan kue untuk mereka. Kulihat Rio tidak ada bersama tasnya. Aku menghampiri bangku paling depan. Setahuku namanya Hayu. Dia manis, rambut kritingnya dikuncir agak berantakan.

Saat kutanya, “Kamu tahu Rio ada dimana?”

“Pulang,” jawab Hayu.

“Kenapa pulang?” Hayu hanya menunduk. Lalu aku melontarkan pertanyaan kepada Hayu seperti yang aku tanyakan kepada Rio. Dia hanya diam dan menunduk.

Saat kutanya, “Hayu punya adik atau kakak?”

Dengan pelan dia menjawab, “Rio.” Aku mengerutkan kening mendengarnya. Mungkin anak di sebelah Hayu tahu kebingunganku, lalu dia menjelaskan bahwa Hayu dan Rio adalah saudara kandung, dan Rio adalah adiknya.

Ada penasaran yang menyusup, apa yang terjadi. Mereka berdua tidak seperti anak lain yang riang dan berceloteh. Mereka cenderung diam dan tertutup.

Saat acara telah selesai dan Hayu bersalaman denganku, aku bilang, “Semangat belajarnya, Hayu.” Ada seulas senyum dari bibir mungilnya.


Aku memandangi punggung yang menggendong tas usang itu semakin menjauh. Ingin sekali aku datang ke rumahnya dan mendengar cerita-ceritanya. 

You May Also Like

4 komentar

  1. Ketenangan itu ada saat bisa berbagi dengan sesama. Nice quote, mbak Anik :)

    Tulisan Mbak Anik kuerenn :)

    BalasHapus
  2. Tetap semangat ya untuk Rio, Hayu dan juga untuk kita semua ^_^

    BalasHapus