Sepotong Kisah Tentang Mereka
*Tulisan ini aku dedikasikan untuk
orang-orang yang sedang berjuang untuk hidup keluarganya di jalanan dan untuk
anak-anak lain yang kurang beruntung (entah yang sedang sekolah maupun tidak). Kita
doakan agar Allah selalu mencukupi kebutuhan mereka, melancarkan segala urusan
mereka, dan mengabulkan setiap doa dalam tangis mereka. Mari di-Amiinkan!*
Doc. Pribadi |
Doc. Pribadi |
Aku selalu
merindukan mengikuti aksi-aksi sosial di organisasi kerelawanan. Seperti kafein
kopi yang selalu membuatku kecanduan. Aku suka melihat lengkungan senyuman
mereka yang ada di jalanan. Ada bapak tukang becak atau petugas kebersihan yang
dengan sumringahnya mengucap terima kasih. Atau tukang tambal ban yang
menggigil kedinginan di bawah atap yang bocor suatu malam menyambut
kedatanganku dengan senyum kelelahan. Bahkan wajah sendu seorang bapak yang terbangun di emperan toko.
Kadang,
aku sempat kecewa jika tidak ada donatur di program Jumat MENABUNG (Menebar
Nasi Bungkus), sehingga tidak bisa melakukan aksi. Pernah dana yang terkumpul
hanya sedikit. Setelah semua nasi bungkus yang kami sebarkan habis, kami
berniat akan pulang. Dalam perjalanan, masih banyak terlihat mata-mata lelah
dan peluh bercucuran itu serasa melambai kami untuk mendekat. Dengan kesepakatan,
kami merogoh sedikit saku untuk membelikan mereka nasi bungkus lagi.
Dan hal yang paling menyenangkan itu saat dana
yang terkumpul cukup banyak. Sehingga akan banyak bungkusan yang kami bagi. Akan
banyak senyum yang akan kutemui. Akan banyak secercah bahagia yang bisa
terlukis dalam hati mereka. Seperti yang
rumah zakat selalu ajarkan, Ketenangan
ada saat bisa berbagi dengan sesama.
Aku
suka mendengarkan mereka bercerita tentang kehidupan yang dilaluinya. Sebelum
mengulurkan nasi bungkus, selalu kutanya nama, alamat, pekerjaan, bahkan penghasilan.
Aku berlaku seperti pembeli seperti
biasanya. Bertanya harga dagangan mereka atau sistem kerja jika mereka bekerja
menjual jasa. Tanpa pernah keberatan, mereka selalu menjawab panjang lebar. Berkisah
tentang kepingan hidup mereka yang tidak mudah untuk djalani. Cerita mereka
selalu mengalir tanpa pernah kuminta. Bahkan, ada temanku yang berbincang
sangat lama sekali dengan seorang kakek yang ternyata adalah veteran. Beliau berkisah
tentang perjuangannya melawan Belanda. Perasaanku
selalu bergetar mendengar kisah-kisah mereka.
Minggu kemarin,
aksi kami di sebuah sekolah yang bertempat di dekat rumah teman seorganisasi
denganku. Dia bercerita, sekolah ini berdiri di tanah bersengketa yang tak
berkesudahan urusannya. Bangunanannya sudah tidak memadai. Dekat gedung sekolah
itu juga ada kandang kambing, serta di sana tidak ada air bersih yang tersedia.
Tempatnya memang di pelosok Kabupaten Jember.
Doc. Pribadi |
Doc. Pribadi |
Doc. Pribadi |
Aksi di
sekolah terdengar menyenangkan. Dan aku menyambut dengan senang. Pertama kali
melihat sekolah itu memang berbeda jauh dengan gedung sekolah yang berdiri
gagah di pinggir kota. Tempat ini tidak bercat warna-warni, berpagarkan besi,
serta dikelilingi pohon menjulang bersemi. Kesan indah atau pun nyaman tidak
tersirat di tempat ini.
Tapi yang
membuatku begitu senang berdiri di sini adalah karena keantusiasan para murid
kelas dua yang kumasuki. Betapa mereka bersorak gembira menyambut kami. Melompat
kegirangan memanggil kami kakak. Mengangkat tangan tinggi-tinggi saat kami
bertanya apa cita-cita mereka. Sungguh, menyenangkan sekali. Senyum polos
mereka membuatku lupa bahwa mereka itu kumal dan tidak rapi seperti anak kota
lainnya. Tanpa perlu aku jelaskan panjang lebar, kalian pasti sudah tahu dan
bisa membayangkan cara berpakaian mereka itu seperti apa. Ruang kelas yang tidak memadai itu tetap menjadi tempat yang menyenangkan.
Kami mendongeng,
bermain, menyanyi, dan tebak profesi. Saat ditugaskan menulis di sebuah kertas
tentang apa cita-cita mereka, aku berjalan menghampiri satu persatu. Ada anak
yang belum bisa membaca dan menulis, tetapi dia bisa menulis namanya sendiri. Saat
aku tanya ingin menjadi apa, dia menjawab ingin menjadi dokter. Aku membantunya
mengeja. Kujelaskan, dokter itu diawali dari kata D. Dia menulis D dengan
sempurna, lalu o, k, t,e, dan r dengan benar. Oh ternyata anak ini sudah
mengenal huruf tetapi belum bisa menulis kalimat.
Lalu ada
seorang anak laki-laki duduk sendiri di bangku paling pojok. Aku menghampirinya.
Kulihat kertasnya hanya ada coretan O dan I. Aku tanya apakah dia sudah bisa
menulis, dia hanya menggeleng. Lalu teman di sampingnya menjawab bahwa anak itu
hanya bisa menulis lingkaran dan garis lurus.
Aku membimbingnya
untuk menulis. Saat kutanya dia ingin menjadi apa, dia menjawab tentara. Aku
menuntunnya dengan mengucapkan huruf-huruf yang merangkai kata tentara. Dia tetap
menulis O dan I. Lalu aku menulis huruf T di kertasnya, aku menyuruh dia untuk
menuliskan apa yang telah kutuliskan. Tapi tetap saja dia menulis huruf O dan
I. Meski salah, aku terus melanjutkan menuntun menulis huruf-huruf selanjutnya
dan memujinya. Pikirku, setidaknya dia mau mengikuti perintahku dulu.
Setelah
selesai menulis, kertasnya hanya tergores coretan. Meskipun begitu, aku
menyuruhnya untuk menempelkan seperti teman-teman yang lain di papan. Saat dia
duduk lagi di kursinya, aku menghampiri. Tadi kutanya, ternyata namanya Rio.
“Rio,
di rumah belajar dengan siapa?” Dia hanya menunduk.
“Ibu
dan Ayah masih ada?” Dia menunduk lagi.
“Rio
punya adik atau kakak?" tanyaku lagi. Dia membuang muka tak melihatku sekali
pun.
Lalu aku
bertanya pada anak yang lain, Rio memang belum bisa membaca dan menulis. Karena
setiap kali diminta belajar, dia memberontak lalu memukuli ibunya. Sedikit heran,
padahal aku menangkapnya dia anak yang pendiam.
Setelah
istirahat, kami membagikan kue untuk mereka. Kulihat Rio tidak ada bersama
tasnya. Aku menghampiri bangku paling depan. Setahuku namanya Hayu. Dia manis,
rambut kritingnya dikuncir agak berantakan.
Saat kutanya,
“Kamu tahu Rio ada dimana?”
“Pulang,”
jawab Hayu.
“Kenapa
pulang?” Hayu hanya menunduk. Lalu aku melontarkan pertanyaan kepada Hayu seperti
yang aku tanyakan kepada Rio. Dia hanya diam dan menunduk.
Saat kutanya,
“Hayu punya adik atau kakak?”
Dengan
pelan dia menjawab, “Rio.” Aku mengerutkan kening mendengarnya. Mungkin anak di
sebelah Hayu tahu kebingunganku, lalu dia menjelaskan bahwa Hayu dan Rio adalah
saudara kandung, dan Rio adalah adiknya.
Ada penasaran
yang menyusup, apa yang terjadi. Mereka berdua tidak seperti anak lain yang
riang dan berceloteh. Mereka cenderung diam dan tertutup.
Saat acara
telah selesai dan Hayu bersalaman denganku, aku bilang, “Semangat belajarnya,
Hayu.” Ada seulas senyum dari bibir mungilnya.
Aku memandangi
punggung yang menggendong tas usang itu semakin menjauh. Ingin sekali aku
datang ke rumahnya dan mendengar cerita-ceritanya.
4 komentar
Ketenangan itu ada saat bisa berbagi dengan sesama. Nice quote, mbak Anik :)
BalasHapusTulisan Mbak Anik kuerenn :)
Semoga bermanfaat, Mbak :)
HapusTetap semangat ya untuk Rio, Hayu dan juga untuk kita semua ^_^
BalasHapusSiapp :)
Hapus