Pak, Antar Saya Pulang!
harian.analisadaily.com |
Aku turun
dari bus dengan membawa barang bawaan yang lumayan banyak. Ini memang sudah
menjadi kebiasaan rutinan anak rantau setiap liburan. Membawa pakaian, makanan yang ibu jejalkan di kantong kresek, dan oleh-oleh khas kota untuk teman dekat. Aku
malas bergelung dengan kemacetan arus balik liburan. Sehingga lebih memilih
melakukan perjalanan di malam hari.
Seperti
biasa, saat satu kaki sudah turun dari bus, banyak orang datang berebut
penumpang. Mulai dari sopir taksi, angkot, dan ojek. Karena ini sudah larut
malam, bahkan sudah masuk dini hari, sopir yang datang tidak sebanyak saat
siang.
“Taksi, Mbak.” Aku tersenyum dan menggeleng
menolaknya.
“Mbak,
ojek, Mbak.” Ada bapak-bapak berkumis tipis berjalan sejajar denganku.
“Tidak,
Pak.” Aku tersenyum menolaknya halus.
Lalu
dia mundur dan pergi mencari target penumpang lain.
Suasana
terminal Jember masih sangat ramai. Mengingat mayoritas penduduk di sini adalah
mahasiswa perantau, banyak orang pulang-pergi dari kota ini. Atau melakukan
perjalanan dari kota lain dan hanya transit sebentar di kota suwar-suwir ini.
Ada banyak pedagang kaki lima yang berlarian naik-turun bus, atau ibu-ibu yang
berkeliling sambil membawa termos besar menjajakan kopi.
Aku
duduk di kursi panjang dekat tempat penurunan penumpang. Sibuk menatap layar
ponsel untuk menghubungi temanku yang bersedia menjemput. Dia bilang, pukul
satu dini hari tadi sudah selesai acara di aula dekat terminal.
Sesaat setelah bus yang tadi kunaiki telah melaju, ada bus Akas datang. Kulihat ada bapak tua tergopoh-gopoh memajukan becaknya di dekat pintu keluar bus. menawari setiap orang yang turun. Tapi, tak ada satu pun yang menggubris tawarannya.
Bapak itu berjalan ke arahku.
“Mbak,
becak.” Bapak tua berjenggot putih tebal menuntun becaknya mendekat. Dia memakai topi putih lusuh dan kaos parpol usang yang terlihat
menipis.
“Saya
sudah dijemput, Pak,” jawabku.
Bapak
itu tersenyum lalu memundurkan becaknya.
“Sudah
malam tetap narik becak, Pak?” tanyaku.
“Dari
tadi siang belum dapat penumpang,” jawabnya dengan tersenyum melihatkan giginya
yang masih utuh.
Aku
menghentikan aktivitas dengan ponsel. Menatap langkahnya yang semakin menjauh.
Kulihat dia berwara-wiri mencari penumpang. Semua yang ditawarinya menggeleng. Tak
ada raut kekecewaan, dia tersenyum menerima setiap penolakan. Lalu didorong
becaknya ke tempat yang lebih jauh. Keberadaannya masih bisa tertangkap oleh
kedua bola mataku.
Dia
memarkir becaknya di bawah pohon jambu monyet dekat pangkalan ojek. Terlihat
dia duduk sambil melihat penumpang yang berwajah lelah menenteng barang bawaan
yang terlihat berat. Atau melihat para tukang ojek sedang menggemakan tawa bermain
kartu.
Dia
tersenyum menyaksikan pertemuan sepasang orang yang terlihat lama tak bersua. Mereka
berpelukan dan terlihat sedang berbincang-bincang—mungkin bertanya kabar.
Aku
tertegun bukan karena melihat mereka yang sedang melepas rindu, tapi karena
bapak tua itu. Kulihat jarum arloji menyentuh hampir angka dua. Waktu yang
tepat untuk beristirahat di bawah balutan selimut atau bercengkrama dengan Sang Pencipta di bawah atap rumah. Namun, bapak itu memilih duduk
menunggu penumpang di becaknya yang sudah
berkarat.
Sesekali
kulihat dia menenggak air mineral yang disembunyikan di kotak belakang tempat
duduk becak. Hampir lima belas menit bola mataku mengekorinya, belum juga
dia dapatkan satu pun penumpang.
Malam
sudah larut. Penumpang yang datang tidak terlalu banyak. Dan itu pun mereka
lebih memilih taksi atau ojek yang lebih cepat. Atau menunggu jemputan.
Melihatnya
kelimpungan mencari penumpang, aku merasa bersalah. Kenapa aku menolaknya? Perasaanku seperti diaduk-aduk melihatnya. Antara tidak tega dan bingung harus melakukan apa.
Tapi
harus bagaimana lagi, dengan barang bawaan sebanyak ini dan keadaan tubuh yang
lelah, serta jarak kos yang lumayan jauh, tidak mungkin aku menerima tawarannya.
Kulihat
tas ransel yang sedari tadi di sampingku. Aku teringat ada sebotol air mineral
yang masih belum kubuka, dan roti yang kubeli di terminal Surabaya tadi. Aku
berniat memberikannya kepada bapak itu sambil menyelipkan beberapa lembar uang.
Tapi takut, bapak itu tersinggung. Bukankah dia bukan pengemis yang hanya
menerima uluran uang?
Satu-satunya
cara untuk membantu dengan menjadi penumpang becaknya. Karena yang dia butuhkan
memang hanyalah penumpang untuk mengisi kantong penghasilan.
Aku
menatap barang bawaanku berniatan untuk menghampirinya dan berkata, “ Pak,
antar saya pulang.” Tapi tidak mungkin
sekali.
Kulihat
dia sudah tertidur di bawah bintang-gemintang menikmati desauan angin yang
menggerak-gerakkan atap kain becaknya.
“Sa!”
Kulihat ada gadis berlesung pipi datang di hadapanku dengan motornya.
“Sebagian
barang bisa ditaruh depan.” Dia turun dari motornya sambil mengangkat
barang-barangku.
Aku
ragu-ragu saat akan menaiki motornya. Pandanganku masih belum beralih dari
bapak itu.
“Sa,
ayo naik!” Aku menatap temanku. Lalu dengan berat hati aku menurutinya.
Saat akan
sampai gerbang keluar terminal, aku menyuruhnya berhenti.
“Kenapa?”
“Aku
naik becak aja, ya.” Dia membulatkan matanya.
“Jauh,
Sa.”
“Tunggu
aku di perempatan Mangli. Aku turun di sana.”
“Kamu
mau ngapain?”
“Kasihan
bapak itu dari tadi belum dapat penumpang.” Temanku menoleh ke arah pandangan
mataku. Aku menangkap dia memandangnya dengan iba.
Dia mengangguk
menyetujui. Aku menggendong tas ranselku dan berjalan ke arah bapak itu. Barang
yang berat tetap di motor temanku.
“Pak!”
panggilku sambil memegang bahunya. Kulihat dia sudah memejamkan mata. Ada raut
lelah yang terlukis jelas di wajahnya.
“Iya,
Mbak.” Dia bangun dengan gelagapan.
“Antar
saya ke perempatan Mangli.”
“Saya
sedang tidak bermimpi, kan?” tanyanya dengan kening berkerut.
“Tidak,
Pak.” Aku ikut kebingungan dibuatnya.
“Beneran?
Bukannya tadi saya sudah menawarkan becak dan mbak bilang sudah dijemput?”
tanyanya keheranan.
Tanpa
menjawab, aku duduk di becaknya, dan beliau bersiap-siap mengayuh.
*Cerita ini terinspirasi dari program Jumat Menabung Rumah Zakat
4 komentar
Hiks. Mulia sekali dirimu.
BalasHapusCup cup
BalasHapusKrik krik
BalasHapusMasya Allah, Dek...
BalasHapusHaish manis sekali kamuuu