Pak, Antar Saya Pulang!

by - 00.35


harian.analisadaily.com

Aku turun dari bus dengan membawa barang bawaan yang lumayan banyak. Ini memang sudah menjadi kebiasaan rutinan anak rantau setiap liburan. Membawa pakaian, makanan yang ibu jejalkan di kantong kresek, dan oleh-oleh khas kota untuk teman dekat. Aku malas bergelung dengan kemacetan arus balik liburan. Sehingga lebih memilih melakukan perjalanan di malam hari.

Seperti biasa, saat satu kaki sudah turun dari bus, banyak orang datang berebut penumpang. Mulai dari sopir taksi, angkot, dan ojek. Karena ini sudah larut malam, bahkan sudah masuk dini hari, sopir yang datang tidak sebanyak saat siang.

 “Taksi, Mbak.” Aku tersenyum dan menggeleng menolaknya.

“Mbak, ojek, Mbak.” Ada bapak-bapak berkumis tipis berjalan sejajar denganku.

“Tidak, Pak.” Aku tersenyum menolaknya halus.

Lalu dia mundur dan pergi mencari target penumpang lain.


Suasana terminal Jember masih sangat ramai. Mengingat mayoritas penduduk di sini adalah mahasiswa perantau, banyak orang pulang-pergi dari kota ini. Atau melakukan perjalanan dari kota lain dan hanya transit sebentar di kota suwar-suwir ini. Ada banyak pedagang kaki lima yang berlarian naik-turun bus, atau ibu-ibu yang berkeliling sambil membawa termos besar menjajakan kopi.

Aku duduk di kursi panjang dekat tempat penurunan penumpang. Sibuk menatap layar ponsel untuk menghubungi temanku yang bersedia menjemput. Dia bilang, pukul satu dini hari tadi sudah selesai acara di aula dekat terminal.

Sesaat setelah bus yang tadi kunaiki telah melaju, ada bus Akas datang. Kulihat ada bapak tua tergopoh-gopoh memajukan becaknya di dekat pintu keluar bus. menawari setiap orang yang turun. Tapi, tak ada satu pun yang menggubris tawarannya. 

Bapak itu berjalan ke arahku.

“Mbak, becak.” Bapak tua berjenggot putih tebal menuntun becaknya mendekat. Dia memakai topi putih lusuh dan  kaos parpol usang yang terlihat menipis.

“Saya sudah dijemput, Pak,” jawabku.

Bapak itu tersenyum lalu memundurkan becaknya.

“Sudah malam tetap narik becak, Pak?” tanyaku.

“Dari tadi siang belum dapat penumpang,” jawabnya dengan tersenyum melihatkan giginya yang masih utuh.

Aku menghentikan aktivitas dengan ponsel. Menatap langkahnya yang semakin menjauh. Kulihat dia berwara-wiri mencari penumpang. Semua yang ditawarinya menggeleng. Tak ada raut kekecewaan, dia tersenyum menerima setiap penolakan. Lalu didorong becaknya ke tempat yang lebih jauh. Keberadaannya masih bisa tertangkap oleh kedua bola mataku.

Dia memarkir becaknya di bawah pohon jambu monyet dekat pangkalan ojek. Terlihat dia duduk sambil melihat penumpang yang berwajah lelah menenteng barang bawaan yang terlihat berat. Atau melihat para tukang ojek sedang menggemakan tawa bermain kartu.

Dia tersenyum menyaksikan pertemuan sepasang orang yang terlihat lama tak bersua. Mereka berpelukan dan terlihat sedang berbincang-bincang—mungkin bertanya kabar.

Aku tertegun bukan karena melihat mereka yang sedang melepas rindu, tapi karena bapak tua itu. Kulihat jarum arloji menyentuh hampir angka dua. Waktu yang tepat untuk beristirahat di bawah balutan selimut atau bercengkrama dengan Sang Pencipta di bawah atap rumah. Namun, bapak itu memilih duduk menunggu penumpang di becaknya yang sudah  berkarat.

Sesekali kulihat dia menenggak air mineral yang disembunyikan di kotak belakang tempat duduk becak. Hampir lima belas menit bola mataku mengekorinya, belum juga dia dapatkan satu pun penumpang.

Malam sudah larut. Penumpang yang datang tidak terlalu banyak. Dan itu pun mereka lebih memilih taksi atau ojek yang lebih cepat. Atau menunggu jemputan.

Melihatnya kelimpungan mencari penumpang, aku merasa bersalah. Kenapa aku menolaknya? Perasaanku seperti diaduk-aduk melihatnya. Antara tidak tega dan bingung harus melakukan apa. 

Tapi harus bagaimana lagi, dengan barang bawaan sebanyak ini dan keadaan tubuh yang lelah, serta jarak kos yang lumayan jauh, tidak mungkin aku menerima tawarannya.

Kulihat tas ransel yang sedari tadi di sampingku. Aku teringat ada sebotol air mineral yang masih belum kubuka, dan roti yang kubeli di terminal Surabaya tadi. Aku berniat memberikannya kepada bapak itu sambil menyelipkan beberapa lembar uang. Tapi takut, bapak itu tersinggung. Bukankah dia bukan pengemis yang hanya menerima uluran uang?

Satu-satunya cara untuk membantu dengan menjadi penumpang becaknya. Karena yang dia butuhkan memang hanyalah penumpang untuk mengisi kantong penghasilan.

Aku menatap barang bawaanku berniatan untuk menghampirinya dan berkata, “ Pak, antar saya pulang.”  Tapi tidak mungkin sekali.

Kulihat dia sudah tertidur di bawah bintang-gemintang menikmati desauan angin yang menggerak-gerakkan atap kain becaknya.

“Sa!” Kulihat ada gadis berlesung pipi datang  di hadapanku dengan motornya.

“Sebagian barang bisa ditaruh depan.” Dia turun dari motornya sambil mengangkat barang-barangku.

Aku ragu-ragu saat akan menaiki motornya. Pandanganku masih belum beralih dari bapak itu.

“Sa, ayo naik!” Aku menatap temanku. Lalu dengan berat hati aku menurutinya. 

Saat akan sampai gerbang keluar terminal, aku menyuruhnya berhenti.

“Kenapa?”

“Aku naik becak aja, ya.” Dia membulatkan matanya.

“Jauh, Sa.”

“Tunggu aku di perempatan Mangli. Aku turun di sana.”

“Kamu mau ngapain?”

“Kasihan bapak itu dari tadi belum dapat penumpang.” Temanku menoleh ke arah pandangan mataku. Aku menangkap dia memandangnya dengan iba.

Dia mengangguk menyetujui. Aku menggendong tas ranselku dan berjalan ke arah bapak itu. Barang yang berat tetap di motor temanku.

“Pak!” panggilku sambil memegang bahunya. Kulihat dia sudah memejamkan mata. Ada raut lelah yang terlukis jelas di wajahnya.

“Iya, Mbak.” Dia bangun dengan gelagapan.

“Antar saya ke perempatan Mangli.”

“Saya sedang tidak bermimpi, kan?” tanyanya dengan kening berkerut.

“Tidak, Pak.” Aku ikut kebingungan dibuatnya.

“Beneran? Bukannya tadi saya sudah menawarkan becak dan mbak bilang sudah dijemput?” tanyanya keheranan.


Tanpa menjawab, aku duduk di becaknya, dan beliau bersiap-siap mengayuh.

*Cerita ini terinspirasi dari program Jumat Menabung Rumah Zakat

You May Also Like

4 komentar