Jangan Hanya Dimaki!

by - 17.13

Instagram.com/Asna_ig

Sering kita jumpai di sudut-sudut kota ada baliho besar bertuliskan “Dilarang memberi uang kepada pengemis dan pengamen!!!”

Ya, memberi sama saja dengan memanjakan. Nantinya mereka akan menggantungkan hidupnya dengan meminta-minta. Miris memang, perbuatan tercela itu dijadikan pekerjaan oleh sebagian masyarakat. Banyak orang masih muda, bertubuh segar bugar, bahkan membawa anak-anak mereka untuk meminta-minta di pinggir jalan, perempatan lampu merah, dan di perkampungan.

Aku menyetujui larangan pemerintah daerah itu. Karena aku sendiri juga tidak mau, mengemis menjadi sebuah budaya di tengah sulitnya ekonomi di negeri ini. Pernah aku dihampiri dengan gadis mungil seusia anak SD yang bertubuh kotor di terminal Bungurasih, Surabaya. Dia mengulurkan tangan untuk meminta beberapa receh uang kepadaku. Aku hanya tersenyum dan mengangkat tangan memberi isyarat tak ingin memberi. Dia memelototiku sambil berulang kali mengumpat. Mengataiku pelit, jahat, kejam, dan kata tidak sopan lainnya. Bahkan dia sempat mengancam jika aku tidak memberinya.


Sebenarnya, ada perasaan tidak tega yang menghampiri. Tapi melihat dari caranya yang begitu frontal, aku mengurungkan niat memberi. Kuyakinkan diriku sendiri, bukan dengan memberi caraku membantu mereka. Kuamati gadis kecil itu menjauh. Dia berjalan menuju wanita yang dandanannya juga kumal. Wanita itu masih muda. Kurasa, dia ibu dari gadis itu. Oh, ternyata anak itu tidak sendiri, batinku.

Beberapa kali ucapan miring tentang pengemis juga mampir di telingaku. Di sekitar kampusku banyak sekali pengemis berjejer di depan pintu ATM berlomba menyodorkan gelas mineral bekas agar diisi recehan setiap orang yang lewat. Atau di depan pintu rumah makan atau pertokoan, mereka sudah duduk manis menunggu orang yang iba untuk memberi beberapa rupiah untuknya.

Beberapa teman kudengar pernah berargumen panjang tentang para peminta-minta. Dia bilang, mereka itu manusia yang tidak mempunyai malu. Masih diberikan fisik yang sehat dan utuh, tetapi memasang muka sendu untuk dikasihani. Ocehannya begitu panjang sekali. Dalam hati aku memang membenarkannya.

Aku juga sempat berpikir, kenapa mereka tidak malu?

Lalu semua pikiran buruk tentang mereka dalam pikiranku lambat laun kian pudar, dan berubah menjadi perasaan malu pada diri sendiri. Ada penggalan kalimat di novel Ayat-Ayat Cinta 2 karya Kang Abik yang berhasil membuatku tertegun cukup lama. Sepele sekali, tapi coba kita renungi bersama-sama kalimat yang diucapkan tokoh Fahri kepada salah satu jamaah saat menghina dan membentak seorang pengemis di halaman masjid.

“Jadi kamu membela pengemis ini? Kamu setuju umat Islam mengemis, hah? Apa kamu tidak pernah belajar hadist? Tidak pernah mendengar Rasulullah SAW melarang umatnya meminta-minta? Melarang umatnya jadi pengemis?” ucap jamaah itu.

“Anda jangan salah paham. Saya sepakat dengan Anda bahwa umat Islam tidak boleh mengemis. Itu yang diajarkan Baginda Nabi. Saya hanya tidak setuju dengan ucapan kasar Anda. Kita tidak cukup hanya melarang saudara-saudara kita mengemis. Kita semua umat muslim, bertanggung jawab atas nasib mereka. Kita harus instropeksi diri, sudah genapkah zakat kita? Ada hak mereka dalam harta kita. Apakah kita yang nasibnya lebih baik telah membuat program riil untuk perbaikan nasib mereka? Di mana kita letakkan hadist nabi, man la yahtam bi amril muslimin fa laisa minhum. Siapa yang tidak peduli pada urusan kaum muslimin maka tidak termasuk golongan mereka?”

Selama ini banyak orang yang pandai melarang, memaki, bahkan menghakimi, tapi tidak juga memberi solusi. Kesejahteraan rakyat hanya dijadikan diskusi di ruang kelas, atau materi seminar untuk menghabiskan anggaran.

Tapi tidak pernah bertanya kepada diri sendiri, “apa yang telah diri ini perbuat untuk mereka?”


Seminggu lalu aku pernah berbincang-bincang dengan salah satu teman saat dosen belum juga datang. Dia adalah seorang lelaki yang sekarang berprofesi sebagai designer. Kerap kali dia absen kuliah karena harus menemui client-nya di luar kota atau membeli bahan.

Beberapa kali aku memuji design-nya yang pernah diupload di Instagram. Memang sangat bagus, client-nya pun juga beberapa pengusaha besar di Jawa Timur. Mereka bilang, design-nya hampir mirip dengan buatan Ivan Gunawan.

“Aku ini orangnya ndak bisa jahit, Nik. Bisaku ya cuma design,” jelasnya sambil menunjukkan beberapa foto baju di galeri smarthpone-nya.

“Kamu punya karyawan buat jahit?” tanyaku.

“Ada beberapa. Kemarin aku juga baru mempekerjakan sepupuku yang belum bekerja. Dia itu pintar buat brokat, akhirnya aku rekrut. Alhamdulilah, semenjak ada dia, banyak pesanan brokat datang. Padahal sebelumnya ndak ada.”

“Serius?” tanyaku lagi.

“Iya, ya memang sudah rezekinya dia ya. Aku itu ingat sama katanya almarhum abahku. Beliau bilang, bisa saja Allah itu memberikan rezeki kepada orang lain melalui kita. Makanya setiap banyak pesanan, aku banyak rekrut orang,” jelasnya.

Aku merasa kerdil sekali karena diri ini belum berbuat apa-apa untuk kehidupan orang lain.



You May Also Like

3 komentar