Jangan Hanya Dimaki!
Instagram.com/Asna_ig |
Sering
kita jumpai di sudut-sudut kota ada baliho besar bertuliskan “Dilarang memberi uang kepada pengemis dan
pengamen!!!”
Ya,
memberi sama saja dengan memanjakan. Nantinya mereka akan menggantungkan
hidupnya dengan meminta-minta. Miris memang, perbuatan tercela itu dijadikan
pekerjaan oleh sebagian masyarakat. Banyak orang masih muda, bertubuh segar
bugar, bahkan membawa anak-anak mereka untuk meminta-minta di pinggir jalan,
perempatan lampu merah, dan di perkampungan.
Aku menyetujui
larangan pemerintah daerah itu. Karena aku sendiri juga tidak mau, mengemis
menjadi sebuah budaya di tengah sulitnya ekonomi di negeri ini. Pernah aku dihampiri
dengan gadis mungil seusia anak SD yang bertubuh kotor di terminal Bungurasih, Surabaya. Dia
mengulurkan tangan untuk meminta beberapa receh uang kepadaku. Aku hanya tersenyum
dan mengangkat tangan memberi isyarat tak ingin memberi. Dia memelototiku sambil
berulang kali mengumpat. Mengataiku pelit, jahat, kejam, dan kata tidak sopan
lainnya. Bahkan dia sempat mengancam jika aku tidak memberinya.
Sebenarnya,
ada perasaan tidak tega yang menghampiri. Tapi melihat dari caranya yang begitu
frontal, aku mengurungkan niat memberi. Kuyakinkan diriku sendiri, bukan dengan
memberi caraku membantu mereka. Kuamati gadis kecil itu menjauh. Dia berjalan
menuju wanita yang dandanannya juga kumal. Wanita itu masih muda. Kurasa, dia
ibu dari gadis itu. Oh, ternyata anak itu tidak sendiri, batinku.
Beberapa
kali ucapan miring tentang pengemis juga mampir di telingaku. Di sekitar kampusku
banyak sekali pengemis berjejer di depan pintu ATM berlomba menyodorkan gelas
mineral bekas agar diisi recehan setiap orang yang lewat. Atau di depan pintu
rumah makan atau pertokoan, mereka sudah duduk manis menunggu orang yang iba
untuk memberi beberapa rupiah untuknya.
Beberapa
teman kudengar pernah berargumen panjang tentang para peminta-minta. Dia bilang,
mereka itu manusia yang tidak mempunyai malu. Masih diberikan fisik yang sehat
dan utuh, tetapi memasang muka sendu untuk dikasihani. Ocehannya begitu panjang
sekali. Dalam hati aku memang membenarkannya.
Aku juga
sempat berpikir, kenapa mereka tidak malu?
Lalu semua
pikiran buruk tentang mereka dalam pikiranku lambat laun kian pudar, dan
berubah menjadi perasaan malu pada diri sendiri. Ada penggalan kalimat di novel
Ayat-Ayat Cinta 2 karya Kang Abik yang berhasil membuatku tertegun cukup lama. Sepele
sekali, tapi coba kita renungi bersama-sama kalimat yang diucapkan tokoh Fahri kepada
salah satu jamaah saat menghina dan membentak seorang pengemis di halaman masjid.
“Jadi kamu membela pengemis ini? Kamu setuju
umat Islam mengemis, hah? Apa kamu tidak pernah belajar hadist? Tidak pernah
mendengar Rasulullah SAW melarang umatnya meminta-minta? Melarang umatnya jadi
pengemis?” ucap jamaah itu.
“Anda jangan salah paham. Saya sepakat
dengan Anda bahwa umat Islam tidak boleh mengemis. Itu yang diajarkan Baginda
Nabi. Saya hanya tidak setuju dengan ucapan kasar Anda. Kita tidak cukup hanya
melarang saudara-saudara kita mengemis. Kita semua umat muslim, bertanggung
jawab atas nasib mereka. Kita harus instropeksi diri, sudah genapkah zakat
kita? Ada hak mereka dalam harta kita. Apakah kita yang nasibnya lebih baik
telah membuat program riil untuk perbaikan nasib mereka? Di mana kita letakkan
hadist nabi, man la yahtam bi amril muslimin
fa laisa minhum. Siapa yang tidak peduli pada urusan kaum muslimin maka
tidak termasuk golongan mereka?”
Selama
ini banyak orang yang pandai melarang, memaki, bahkan menghakimi, tapi tidak
juga memberi solusi. Kesejahteraan rakyat hanya dijadikan diskusi di ruang
kelas, atau materi seminar untuk menghabiskan anggaran.
Tapi tidak
pernah bertanya kepada diri sendiri, “apa
yang telah diri ini perbuat untuk mereka?”
Seminggu
lalu aku pernah berbincang-bincang dengan salah satu teman saat dosen belum
juga datang. Dia adalah seorang lelaki yang sekarang berprofesi sebagai designer. Kerap kali dia absen kuliah
karena harus menemui client-nya di
luar kota atau membeli bahan.
Beberapa
kali aku memuji design-nya yang
pernah diupload di Instagram. Memang sangat bagus, client-nya pun juga beberapa pengusaha besar di Jawa Timur. Mereka bilang,
design-nya hampir mirip dengan buatan
Ivan Gunawan.
“Aku
ini orangnya ndak bisa jahit, Nik.
Bisaku ya cuma design,” jelasnya sambil menunjukkan beberapa foto baju di
galeri smarthpone-nya.
“Kamu
punya karyawan buat jahit?” tanyaku.
“Ada
beberapa. Kemarin aku juga baru mempekerjakan sepupuku yang belum bekerja. Dia
itu pintar buat brokat, akhirnya aku rekrut. Alhamdulilah, semenjak ada dia,
banyak pesanan brokat datang. Padahal sebelumnya ndak ada.”
“Serius?”
tanyaku lagi.
“Iya,
ya memang sudah rezekinya dia ya. Aku itu ingat sama katanya almarhum abahku. Beliau
bilang, bisa saja Allah itu memberikan rezeki kepada orang lain melalui kita. Makanya
setiap banyak pesanan, aku banyak rekrut orang,” jelasnya.
Aku
merasa kerdil sekali karena diri ini belum berbuat apa-apa untuk kehidupan
orang lain.
3 komentar
Keren
BalasHapusKeren ...
BalasHapusKeren ...
BalasHapus