Sepucuk Surat Merah Hati (19)
Ini malam
ketiga aku menaruh sekotak martabak dan sebuket bunga di meja makan. Setiap
hari kubiarkan mereka tergeletak di sana. Lalu keesokan harinya, barang yang
selalu kutemukan tergeletak di depan pintu rumah itu sudah tidak ada. Entah, mama
membuang kemana barang haram itu.
Tanpa
kuberi tahu, mama pasti sudah mengerti dari mana barang itu berasal. Karena aku
juga membiarkan sepucuk surat merah hati di atas bunga teronggok tak terbaca. Mama
pasti membacanya.
“Ma, kotak
martabak dan bunganya Mama taruh mana?” tanyaku keesokan harinya saat melihat
mama pulang membawa sekantong plastik sayuran.
“Martabaknya
mama kasih ke tetangga sebelah, kemarin ke tukang rosok yang lewat depan rumah,
dan hari ini ke tukang sayur. Kalau bunganya mama rendam air di botol plastik
dekat kolam ikan belakang.”
“Oh.”
Aku hanya menggumam
“Hanna
kenapa? Mama perhatikan sejak dari pernikahan Ayu lebih sering diam.” Mama sibuk
mengeluarkan barang belanjaannya.
Aku
menggeleng lemah menjawab pertanyaan beliau. Aku duduk di meja makan sambil
memegangi segelas air putih yang baru kuteguk sekali.
“Ada
apa, Han? Ada sesuatu yang terjadi dengan perasaanmu?”
“Sebaiknya
dulu aku tidak datang di pernikahan mereka, Ma. Rasa sakit itu terasa lagi.”
Aku meremas gelas dalam genggamanku.
“Semuanya
memang butuh proses untuk membaik. Ikhlaskan semua yang telah terjadi.”
Aku
membuang napas dengan kasar. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Ikhlas dan
sabar adalah kunci untuk menyembuhkan luka. Kalimat itu yang selalu rajin
mampir di telingaku. Tetapi, itu semua tak semudah seperti yang orang bilang.
“Proses?
Sampai kapan, Ma?”
“Semua
tergantung Hanna.” Aku memandang mama dengan tatapan tajam.
“Ma,
aku lelah dengan rasa sakit dan air mata ini. Apalagi setiap hari Dimas masih
datang.” Suaraku sedikit meninggi sambil memukul meja pelan. Aku memegangi
kening yang berdenyut-denyut.
“Mama
tahu....” Dengan segera aku memotong ucapan beliau. “Mama tahu apa? Mama tidak
pernah tahu betapa sakit dan terpuruknya aku. Sakit, Ma! Sakit!” Aku menekan-nekan
dada yang terasa sesak.
Kulihat
tangan mama akan memegang pundakku, tetapi segera kutepis kasar.
“Sudahlah, Ma!
Aku lelah. Sabar itu tidak semudah seperti yang Mama bilang, dan ikhlas itu
tidak segampang apa yang Mama kira.”
“Han,
tenangkan dirimu sedikit saja agar kamu bisa berpikir jernih.”
“Mama
tidak pernah merasakan apa yang aku rasakan. Mama jangan sok tahu.” Aku berdiri
dari tempat dudukku. Mama mendongak.
“Han, apa
yang membuatmu berubah seperti ini?” Mama berdiri di hadapanku. Menatap dengan
serius. Tak bisa kulihat beliau dengan jelas karena tertutup genangan air di
kelopak mata.
“Melihat
mereka di pelaminan itu membuatku terbayang-bayang sampai sekarang, Ma.
Bayangkan, jika Mama mengetahui orang yang Mama cintai itu bersama orang lain.
Bukan hanya mendengar, tetapi melihat dengan mata kepala sendiri, bahkan
mengucapkan selamat. Berpura-pura bahagia itu tidak menyenangkan, Ma. Sakit!”
Aku terus mengucapkan luapan emosi kepada mama.
“Mama
tahu, tetapi bukan seperti ini cara mengobati lukamu.” Mama mencoba meraih
tanganku, kubuang tanggannya dengan kasar. Mata mama berkaca-kaca, tetapi tidak
bisa menembus dinding nuraniku. Aku merasa murka dengan semua yang ada di
sekitar.
“Lalu
bagaimana, Ma? Mama mudah bilang seperti itu. Karena mama tidak pernah
merasakan disakiti seorang laki-laki. Mama beruntung mendapatkan Papa yang
begitu menyayangi dan setia sampai akhir hidupnya.” Mata mama membulat.
“Hanna
juga bisa bilang seperti itu, karena Hanna tidak pernah tahu betapa Mama
terpuruk saat Papa pergi bersama pilihan kedua orangtuanya. Betapa Mama
tertatih-tatih membesarkanmu sendiri.” Sesaat aku diam.
Tidak
ada isak yang terdengar, untaian kalimat yang terucap, bahkan detak jantung
serasa melambat. Ucapan mama seperti sengatan listrik yang mengaburkan
kesadaranku. Semua serasa gelap dan asing.
“Apa
aku tidak salah dengar, Ma?” Aku menatap mama dengan beribu pertanyaan. Mama
menggeleng lemah sambil mengusap air matanya yang telah tumpah.
“Mama
bohong! Papa bukan orang yang seperti itu. Mama bilang, Papa orang yang
penyayang dan setia.” Aku terdengar seperti membentak mama. Sangat keras.
“Han,
Papamu masih ada. Selama ini Papamu hidup dengan keluarga keduanya.”
Serasa
ada baja keras yang menghantam hatiku. Sangat sakit. Perasaanku tercabik
sembilu, berdarah-darah, dan putus asa. Aku duduk lagi dengan lemah.
“Jelaskan
apa yang terjadi, Ma!” Suaraku melemah. Bukan karena emosi yang telah menguap,
tetapi aku sudah tidak mempunyai tenaga untuk meluapkan perasaan.
Aliran
darahku serasa berhenti, degupan jantung melambat, dan napas sangat sesak. Aku
memejamkan mata menahan deraian air mata untuk kesekian kalinya. Kuhirup oksigen
dan membuang karbondioksida, sangat menyesakkan.
“Han.”
Suara mama terdengar parau. Beliau duduk di sampingku.
“Sebenarnya
Papa belum meninggal. Beliau bersama keluarga keduanya. Pernikahan Mama dan
Papa tidak disetujui oleh kedua orangtuanya, tetapi kami tetap menikah. Setelah
enam bulan menikah, orangtua Papa sakit-sakitan lalu meminta Papa menikah
dengan wanita pilihan mereka. Mama mengalah dan mengizinkan Papa menikah lagi.
Kami dipaksa bercerai. Setelah sebulan bercerai, Mama baru tahu kalau sedang
hamil. Sampai sekarang Mama tidak tahu keberadaan Papa dan beliau juga tidak
tahu ada Hanna setelah kepergiannya.”
“Kenapa
Mama berbohong?” Aku menatap Mama dengan nanar. Isakan tangisku terdengar
tersengal-sengal.
“Agar
kamu tidak melihat citra buruk seorang ayah. Mama tidak ingin Hanna membenci
beliau.”
“Han,
bersyukurlah, kau masih diperingatkan oleh Tuhan. Hanna masih lebih beruntung
dari Mama.”
“Hari
ini Mama membuka lembaran luka baru lagi untuk Hanna.” Aku berteriak
membentaknya lalu berjalan cepat masuk ke kamar. Membanting pintu kamar dengan
keras.
Aku memandangi
diri di depan cermin. Wajahku memerah murka dan muak dengan semuanya. Aku
membanting botol parfum dan semua barang yang ada di meja rias ke lantai.
Melempar souvenir mug pernikahan Ayu
ke cermin. Suara pecahan kaca terdengar bersahutan. Serpihan pecahannya mental
ke segala arah. Terdampar di sudut-sudut kamar. Mama berjinjit-jinjit
mendekatiku.
To be continued!
1 komentar
Aku suka bagian ini
BalasHapus