Sepucuk Surat Merah Hati (14)
Aku
membuka dua pintu almari lebar-lebar. Kulihat isinya yang berisi beberapa
gantungan dan lipatan baju yang sudah sering kupakai. Bukan bingung mencari
baju untuk ke pernikahan Ayu, tetapi aku masih bingung mencari referensi kado
untuk mereka.
Kulihat seisi kamar, tidak ada hal yang membuatku mendapat ilham.
Kardus yang tersimpan di atas almari juga kuturunkan. Kukeluarkan semua
isi-isinya. Mungkin saja ada barang yang belum dimiliki Ayu dan akan kubelikan
hari ini juga untuk dibungkus. Setelah semua isinya tercecer di luar, sama
sekali aku tak menemukan barang yang pas untuk bisa kubawa.
Ini
bukan kado ulang tahun yang mudah mencari ide item barangnya. Biasanya saat
ulang tahun, Ayu kuberi bingkai foto kita, syal rajutan, rok motif polkadot
lucu, atau kalung etnik. Ayu bukan lagi seorang gadis labil yang akan kuberi
barang pernak-pernik merah muda.
Aku
memijat pelan keningku. Bingung memilih barang apa yang akan kubawa besok. Aku
ingin memberi sesuatu yang berbeda untuk sahabatku kali ini. Bukan sprei atau bedcover lady rose yang pernah kubawa di
pernikahan temanku.
Ah,
sahabat. Sepertinya hatiku sudah luluh dengan takdir yang diberikan Tuhan pada
hidupku. Aku sudah bisa menyebut Ayu menjadi sahabatku lagi.
Kubuang
napas dengan kasar lalu kuhempaskan tubuhku ke tempat tidur. Kupandangi plafon
kamar yang putih. Kulihat ada tempelan glow
in the dark bintang dan bulan warna-warni yang sudah tidak bisa menyala
lagi. Aku jadi teringat saat Ayu menginap di rumahku lembur tugas bersama. Sebulan
lalu saat tempelan itu masih bisa menyala.
Kita
berdua tidur berdampingan dan merentangkan tangan menatap langit kamarku. Dia
bilang, “Tidur di kamarmu seperti tidur beratapkan langit luas. Bisa melihat
bulan dan bintang berkedip-kedip.” Aku terkekeh mendengar gurauannya saat itu.
Sesakit
apa pun hati ini, masih ada rindu yang tersimpan untuknya, terlebih untuk
Dimas. Mengingat wajah Dimas aku segera bangun dan menggeleng-gelengkan kepala
mengusir bayangannya. Aku merasa menjadi gadis bodoh. Sekarang merindu dan
mengharapkan Dimas adalah hal yang haram kulakukan. Aku tidak boleh lagi
menghadirkan bayangannya. Tidak boleh.
“Hanna.”
Mama membuka pintu kamarku lalu masuk.
“Iya,
Ma.” Kulihat mama melihat sekeliling kamarku yang berantakan.
“Kamarmu....” Sebelum mama menyelesaikan kalimatnya, aku sudah langsung menjawabnya, “Hanna
sedang bingung mencari ide kado untuk Ayu dan Dimas.”
“Oh,
itu...” Ada sebersit senyum yang terlukis di bibir mama.
“Mama
punya ide?” Aku memandang mama penuh harap.
“Mama
sudah buatkan baju untuk mereka berdua.”
Aku
tersenyum tipis. Bagaimana aku bisa lupa kalau mama seorang penjahit yang
selalu kuandalkan untuk membuatkan baju dengan berbagai macam model.
Suatu
pagi pernah aku bilang ke mama ingin memakai rok warna tosca saat acara ulang
tahun jurusanku di kampus. Tanpa sepengetahuanku, mama pergi ke toko kain untuk membeli kain
tosca bermotif kupu-kupu. Sore harinya, aku menemukan lipatan kain di meja
rias. Dan ternyata rok keinginanku sudah jadi dalam sekedipan mata. Padahal aku
hanya iseng mengatakan itu kepada mama, dan tidak terduga beliau membuatkannya
tidak lebih dalam sehari. Jadi tidak heran jika tidak lebih dari seminggu mama
bisa membuatkan sepasang baju.
“Mama
serius?” Aku segera berdiri di hadapan mama. Terlihat aku begitu antusias dengan
baju buatannya.
“Serius.
Bajunya ada di dekat meja jahit. Sengaja belum mama bungkus agar Hanna bisa
lihat dulu.”
Tanpa
diminta, aku segera berlari menuju meja jahit dekat televisi. Dan benar, ada tumpukan kain batik merah hati. Kubuka
lipatannya ada kemeja dan dress selutut bermotif sama. Dalam bayanganku, Dimas
dan aku terlihat manis jika beriringan memakai baju ini. Ah tidak, lagi-lagi
Dimas bukan lagi untukku. Aku membuang napas kasar untuk mengusir kelebatan
bayangannya.
To be continued!
1 komentar
lanjyuut
BalasHapus