Sepucuk Surat Merah Hati (14)

by - 23.54

Aku membuka dua pintu almari lebar-lebar. Kulihat isinya yang berisi beberapa gantungan dan lipatan baju yang sudah sering kupakai. Bukan bingung mencari baju untuk ke pernikahan Ayu, tetapi aku masih bingung mencari referensi kado untuk mereka. 

Kulihat seisi kamar, tidak ada hal yang membuatku mendapat ilham. Kardus yang tersimpan di atas almari juga kuturunkan. Kukeluarkan semua isi-isinya. Mungkin saja ada barang yang belum dimiliki Ayu dan akan kubelikan hari ini juga untuk dibungkus. Setelah semua isinya tercecer di luar, sama sekali aku tak menemukan barang yang pas untuk bisa kubawa.

Ini bukan kado ulang tahun yang mudah mencari ide item barangnya. Biasanya saat ulang tahun, Ayu kuberi bingkai foto kita, syal rajutan, rok motif polkadot lucu, atau kalung etnik. Ayu bukan lagi seorang gadis labil yang akan kuberi barang pernak-pernik merah muda.


Aku memijat pelan keningku. Bingung memilih barang apa yang akan kubawa besok. Aku ingin memberi sesuatu yang berbeda untuk sahabatku kali ini. Bukan sprei atau bedcover lady rose yang pernah kubawa di pernikahan temanku.

Ah, sahabat. Sepertinya hatiku sudah luluh dengan takdir yang diberikan Tuhan pada hidupku. Aku sudah bisa menyebut Ayu menjadi sahabatku lagi.

Kubuang napas dengan kasar lalu kuhempaskan tubuhku ke tempat tidur. Kupandangi plafon kamar yang putih. Kulihat ada tempelan glow in the dark bintang dan bulan warna-warni yang sudah tidak bisa menyala lagi. Aku jadi teringat saat Ayu menginap di rumahku lembur tugas bersama. Sebulan lalu saat tempelan itu masih bisa menyala.

Kita berdua tidur berdampingan dan merentangkan tangan menatap langit kamarku. Dia bilang, “Tidur di kamarmu seperti tidur beratapkan langit luas. Bisa melihat bulan dan bintang berkedip-kedip.” Aku terkekeh mendengar gurauannya saat itu.

Sesakit apa pun hati ini, masih ada rindu yang tersimpan untuknya, terlebih untuk Dimas. Mengingat wajah Dimas aku segera bangun dan menggeleng-gelengkan kepala mengusir bayangannya. Aku merasa menjadi gadis bodoh. Sekarang merindu dan mengharapkan Dimas adalah hal yang haram kulakukan. Aku tidak boleh lagi menghadirkan bayangannya. Tidak boleh.

“Hanna.” Mama membuka pintu kamarku lalu masuk.

“Iya, Ma.” Kulihat mama melihat sekeliling kamarku yang berantakan.

“Kamarmu....” Sebelum mama menyelesaikan kalimatnya, aku sudah langsung menjawabnya, “Hanna sedang bingung mencari ide kado untuk Ayu dan Dimas.”

“Oh, itu...” Ada sebersit senyum yang terlukis di bibir mama.

“Mama punya ide?” Aku memandang mama penuh harap.

“Mama sudah buatkan baju untuk mereka berdua.”

Aku tersenyum tipis. Bagaimana aku bisa lupa kalau mama seorang penjahit yang selalu kuandalkan untuk membuatkan baju dengan berbagai macam model.

Suatu pagi pernah aku bilang ke mama ingin memakai rok warna tosca saat acara ulang tahun jurusanku di kampus. Tanpa sepengetahuanku, mama pergi ke toko kain untuk membeli kain tosca bermotif kupu-kupu. Sore harinya, aku menemukan lipatan kain di meja rias. Dan ternyata rok keinginanku sudah jadi dalam sekedipan mata. Padahal aku hanya iseng mengatakan itu kepada mama, dan tidak terduga beliau membuatkannya tidak lebih dalam sehari. Jadi tidak heran jika tidak lebih dari seminggu mama bisa membuatkan sepasang baju.

“Mama serius?” Aku segera berdiri di hadapan mama. Terlihat aku begitu antusias dengan baju buatannya.

“Serius. Bajunya ada di dekat meja jahit. Sengaja belum mama bungkus agar Hanna bisa lihat dulu.”

Tanpa diminta, aku segera berlari menuju meja jahit dekat televisi. Dan benar, ada tumpukan kain batik merah hati. Kubuka lipatannya ada kemeja dan dress selutut bermotif sama. Dalam bayanganku, Dimas dan aku terlihat manis jika beriringan memakai baju ini. Ah tidak, lagi-lagi Dimas bukan lagi untukku. Aku membuang napas kasar untuk mengusir kelebatan bayangannya.

To be continued!

You May Also Like

1 komentar