Sepucuk Surat Merah Hati (15)
Kuoleskan
lipstik peach tipis ke bibir bawah.
Belum kulanjutkan, aku memandangi diri yang sedang mematut di depan cermin.
Seharusnya hari ini aku dirias bukan untuk datang sebagai tamu undangan, tetapi
menjadi mempelai perempuan. Aku menelan ludah merasakan kegetiran perasaanku.
Rasa sakit itu terasa lagi.
Kupegangi
pinggiran meja rias kayu kuat-kuat menahan sakit yang tiba-tiba menyergap
diriku. Kukira mulai kemarin aku sudah baik-baik saja, ternyata belum
sepenuhnya luka ini benar-benar sembuh.
Baja
yang menghantam hati ini terlalu kuat dan dalam. Lubang lukanya sampai menganga
tak terlihat dasarnya. Kulihat mataku
berkaca-kaca. Dengan cepat kuambil tisu di depanku. Kuhapus dengan kasar
genangan air di kelopak mata. Rasanya ingin aku merutuki diri sendiri, kenapa
aku menjadi gadis yang cengeng seperti ini.
Ayolah,
Hanna! Bukankah kemarin malam mama sudah bilang, “Sekalipun nanti kamu menikah
dengan Dimas, jika kamu tidak berjodoh dengannya, maka takdir akan tetap
memisahkan kalian setelahnya.”
Seharusnya
aku lebih peka dengan rencana Tuhan. Mungkin ini pertanda bahwa Dimas bukanlah
yang terbaik untukku. Ada nama seseorang yang masih disimpanNya yang nanti akan
tertulis di undangan merah hati bersama namaku.
“Janji
Tuhan itu pasti, Han. Trust me.”
Kalimat Liana kemarin malam masih membekas dalam ingatan.
Ya,
Alsa dan Liana mengunjungiku. Menanyakan keadaanku yang beberapa hari ini
sengaja tidak masuk kuliah karena mengurung diri di kamar. Untungnya, mereka
datang saat keadaanku sudah membaik. Tidak kalut seperti awal mengetahui
undangan itu.
Alsa
bilang, “Kamu gadis yang kuat, Han. Sama sekali tidak kulihat raut sendu di
wajahmu.” Saat itu juga hatiku diguyur hujan kesedihan. Tetapi mataku tetap
kuat untuk menahan luapannya.
Andai mereka tahu, bagaimana keadaanku beberapa
hari lalu dan bagaimana mama selalu menguatkanku setiap hari. Memberikan kata-kata
penyemangat duduk di samping tempat tidurku tanpa pernah kujawab. Mama tidak
pernah putus asa saat nasi dan sayur yang dimasaknya dingin tak tersentuh di
meja kamarku.
Tapi biarlah,
semua ini cukup Tuhan, aku, dan mama yang tahu. Orang lain tak perlu tahu dan
merasakan apa yang kurasakan. Mereka hanya sebagai penonton dari apa yang hanya
bisa terlihat oleh pandangannya.
Alsa
dan Liana menawariku untuk ke pernikahan Ayu bersama-sama, tetapi aku menolak
dengan alasan ingin datang bersama mama. Awalnya mama menolak untuk kuajak ke
sana, beliau bilang, seharusnya aku datang bersama teman yang lain. Kurasa, aku
bisa kuat datang ke sana jika didampingi mama. Seperti anak kecil memang,
tetapi aku tak peduli. Lagian, mama juga mengenal baik Ayu dan keluarganya,
jadi mereka tak akan curiga jika aku datang bersama mama.
Kulihat
bedakku luntur karena buliran air mata. Kubersihkan wajahku dengan tisu lalu
kusapu wajah dengan bedak kuning langsat ke pipi, kening, lalu dagu. Kulanjutkan
lagi mengoleskan lipstik. Hanya dandan seperlunya lalu aku keluar kamar menemui
mama.
“Ayo,
Han!” ajak mama sambil membetulkan letak arlojinya. Aku berjalan ragu ke
arahnya.
“Ma,
sebaiknya aku tidak datang.” Aku menahan tangan mama.
“Kenapa?”
Mama menatapku serius.
“Hanna
ragu, Ma,” jawabku dengan nada takut.
“Hanna
yakin tidak berangkat?” Aku menunduk melihat lantai putih sambil memainkan
jemari kakiku yang tertutup flat shoes berpita merah senada dengan baju yang kupakai.
Aku
berpikir lama tanpa memberi jawaban kepada mama.
“Han.” Aku
memandangi mama dengan napas yang kuembuskan berkali-kali. Memutar bola mataku
mencoba memahami apa yang diinginkan perasaanku.
To be continued!
3 komentar
Wow...lanjutin dong
BalasHapusWow...lanjutin dong
BalasHapuslanjyuyt
BalasHapus