Sepucuk Surat Merah Hati (12)
*Maaf telat banget ya ngepostnya. Karena tidak bisa memakai alat komunikasi beberapa hari lalu jadi nggak bisa nulis dan ngeblog dulu. Ada yang bilang nggak kangen aku, tapi kangen cerbungku. Huhuhu. Alhamdulilah, setidaknya ada yang dikangenin wkwk :D udahah ah, aku kalo udah ngomong jadi panjang nanti urusannya. Langsung aja baca lanjutannya gaeess, jangan bosen baca ya meskipun ini masih jelek pake banget, semrawut acakadut, kritik saran boleh kok di kolom komentar. Nggak dimarahin, justru malah aku terima kasih banget udah diperhatiin *kedip-kedip* #Yakan intermezzo jadi panjang gini. Udah ah :D
Suara
ketukan pintu terdengar beberapa kali, karena ruang kamarku yang berada paling
depan, bisa kudengar suara itu sangat jelas. Mata masih enggan untuk terbuka.
Kukira, suara itu terdengar dari alam mimpi, tetapi semakin lama semakin
terdengar keras.
Kubuka
mata pelan dan kuedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Meski korden jendela
sampingku belum terbuka, tetapi bisa terlihat di luar sana sudah sangat terang.
Cahaya mentari sudah masuk ke celah-celah ventilasi kamar.
Mungkin
pagi ini mama masih belanja, dari tadi suara ketukan pintu itu masih terdengar
dan tidak ada yang menyahut dari dalam. Kusibakkan selimut lalu berjalan gontai
sambil mengusap-usap kedua mata. Dengan malas kubuka pintu depan, terlihat ada
sosok lelaki yang memunggungi. Tanpa dia membalikkan badan, aku sudah tahu
siapa dia. Dari caranya berdiri, potongan rambut, bahkan kaos jersey kesukaan yang dipakainya saat
ini.
Dengan
buru-buru aku menutup pintu dengan kasar sebelum dia melihatku. Napasku memburu
karena terkejut dengan kedatangannya pagi ini. Kukunci pintu rapat-rapat.
“Han,
aku tahu kau ada di dalam. Buka pintunya!” Dia memukul pintu rumahku dengan
kasar.
Telingaku
panas mendengar teriakannya. Ingin rasanya aku membuka pintu, lalu memaki-maki,
memukuli, bahkan menamparnya sepuasku. Tapi selalu saja, amarah yang ada pada
diriku hanya mengendap lalu terakumulasi menjadi gumpalan emosi dan pecah
menjadi tetesan air mata.
Saat
aku bertengkar hebat dengan sepupu sewaktu SMP dulu, mama pernah bilang, kemarahan
hanya akan menyisakan penyesalan, lebih baik diam dan tenangkan dirimu.
Semenjak saat itu, aku takut untuk meluapkan amarahku kepada siapa pun.
Setiap
amarah yang terluap selalu berhasil membuatku mengucapkan kata-kata pedas yang
bisa menyakiti banyak hati. Aku takut luapan kemarahanku akan menjadi aliran
air yang bisa membuat orang terpeselet dan terluka.
Sehingga
aku lebih memilih diam. Mematikan ponsel dan tidak menengok media sosialku
selama tiga hari ini. Meski awalnya aku tidak bisa tanpa melihat dunia luar, tetapi
kurasa ini jauh lebih baik, daripada nanti aku terguncang dengan serbuan
pesan-pesan dari Ayu atau pun Dimas.
Bagiku,
tidak ada yang perlu dijelaskan di antara kita. Mereka dijodohkan, menikah, dan
urusan selesai. Sudah saatnya kita berjalan di jalan masing-masing dan tak ada
yang perlu didebatkan.
“Han,
beri aku kesempatan untuk menjelaskan.” Terdengar suara Dimas bergetar di balik
pintu. Aku menghela napas menenangkan diri.
“Tidak
ada yang perlu dijelaskan, Dim. Kau pulang sekarang!” Suaraku terisak.
“Ada
yang harus aku bicarakan.”
“Di antara
kita sudah selesai.” Aku menyumpal mulut dengan kedua tangan agar tangisku
tidak sampai terdengar dari luar. Aku terduduk lesu di dekat pintu menahan rasa
nyeri yang semakin terasa karena kedatangannya.
Lama
sekali tak kudengar apa pun dari luar. Mungkin Dimas sudah pulang karena
terlalu lelah membujukku untuk keluar dan nyatanya tak berhasil. Saat aku
berdiri dan akan melangkahkan kaki kembali ke kamar, terdengar ada obrolan
kecil di luar.
Tak terdengar
jelas suara siapa yang ada di depan. Kuintip dari balik jendela depan, kulihat
mama membawa sekantong plastik sayuran berdiri di hadapan Dimas. Kulihat mereka
sedang membicarakan sesuatu. Suara mereka hanya terdengar seperti dengungan
lebah; tak jelas.
Akhirnya
aku memutuskan untuk membuka pintu dan memperlihatkan diri. Baru separo daun
pintu terbuka, kudengar suara Dimas lirih namun jelas, “Maaf saya sudah
berusaha, tapi ternyata tetap tidak bisa memperjuangkan Hanna.”
Dengan
lembut mama menepuk-nepuk pundak Dimas. “Sekeras apa pun kita menolak, jika
memang ini adalah jalan kalian, maka ini akan tetap terjadi. Tidak ada yang
perlu minta maaf, memang Tuhan tidak menggariskan kalian untuk bersama lagi.”
To Be Continued!
3 komentar
Hiks hiks
BalasHapusCkckck! Laki-laki seperti Dimas tidak pantas ditangisi!
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus