Sepucuk Surat Merah Hati (11)
Aku
membuang kertas surat itu dengan kasar. Ada bagian potongan hati yang terasa
nyeri saat mengetahui lembar kebohongan itu terbuka. Terasa ada petir yang
menggelegar menyambar diriku. Sangat terasa sakit.
“Han.”
Mama memegangi pundakku.
Aku
membuang tangan mama dengan kasar. Bagiku mama sama saja, beliau juga menutupi
kebohongan. Aku tak sempat melihat wajahnya. Pandanganku sudah memburam, aku
sibuk menghapus buliran air mata yang membasahi tebing pipi. Aku berdiri dengan
lemah, lalu berjalan pelan menuju kamar.
“Han.”
Terdengar suara mama yang lemah diiringi isak tangis tertahan.
“Hanna
ingin sendiri.” Suaraku terdengar parau. Kubanting daun pintu dengan keras. Tak
kupedulikan mama di luar sana.
Aku
menghempaskan diri ke tempat tidur. Menangis sepuasku. Entah sudah berapa
banyak air mata yang tumpah. Aku murka dengan mereka berdua, mungkin juga
mereka semua—Mama dan orang tua mereka.
Kenapa
selama ini tidak ada yang memberi tahuku?
Aku baru
menyadari kenapa setiap bertemu denganku, Ayu selalu menangis, Alsa pernah
menanyakan perihal kehadiranku di pernikahan Ayu, dan kalimat Dimas yang masih
terngiang-ngiang dalam ingatan.
Semua
ingatan-ingatan yang pernah mengusik diri sehingga penasaranku mencuat selama
ini telah terjawab.
Mukaku
memanas. Peluh bercucuran membasahi wajah dan leher. Aku menjerit tertahan di
bantal untuk melepaskan emosi yang semakin lama semakin menjadi-jadi.
Aku
tidak pernah menyangka hubungan yang selama ini terjalin dengan baik, berakhir
dengan menelan kekecewaan.
Kuhapus
air mataku, keluar lagi, kuhapus, keluar lagi, lalu kubiarkan air mata itu
mengalir begitu saja membuang segala kenangan buruk yang begitu melekat dalam
benakku. Kenangan itu masih terlihat jelas, bahkan sangat nyata. Sampai
akhirnya aku lelah, lalu tertidur.
***
Aku
melihat sepasang tiket kereta yang terbingkai manis di dinding hijau muda
kamarku. Tiket usang empat tahun lalu itu mengingatkan pada lembar kenangan
saat aku dan Dimas berkunjung ke Yogyakarta pada liburan semester awalku. Saat
itu adalah bulan ketiga Dimas diterima bekerja setelah kelulusannya.
Sore di
Yogyakarta saat itu, matahari hampir terbenam di ufuk barat, merefleksikan
kilau keemasan dalam genangan merah oranye yang seperti tenggelam ke permukaan
laut.
Kita
berdua berjalan menyusuri pesisir pantai, bertelanjang kaki sambil menjinjing
sandal jepit. Angin sore membelai manja, membuat rambut kami berantakan.
Helai
rambutku melekat di tengkuk yang basah oleh keringat. Saat itu masih terlihat
beberapa orang berkejaran dengan ombak, bermain pasir, atau hanya sekadar
mengabadikan momen manisnya bersama keluarga.
Kita
berhenti sejenak, merentangkan kedua tangan lebar-lebar, menghirup napas
dalam-dalam kemudian mengembuskannya. Seperti itulah cara kami menikmati
suasana matahari yang kembali ke peraduannya.
Kami
berjalan menyusuri sudut kota Yogyakarta. Menikmati setiap lekuk kota dan
budaya masyarakatnya. Menyicipi makanan pinggir jalan yang suasananya sangat
klasik.
Lalu di
samping bingkai tiket tadi, ada gabus berwarna hijau muda yang terpenuhi oleh kertas warna-warni—kumpulan surat Dimas selama empat tahun
ini. Surat yang diselipkan di bawah pintu rumah, di kotak martabak, kado ulang
tahun, bahkan rangkaian bunga yang sering dikirimkannya. Di surat itulah dia
sering mengucapkan janji-janji manis yang sekarang hanya tinggal kenangan.
Di meja
coklat kulihat rangkaian mawar tiga minggu lalu sudah mengering dan airnya juga
sudah sedikit menguning lupa kuganti. Seperti kebiasaanku sebelumnya, aku
tidak mau membuang bunga kirimannya sekali pun sudah membusuk. Kusimpan
berhari-hari sampai kelopaknya berjatuhan. Hanya airnya saja yang rajin kuganti
tiap hari.
“Han,
makan dulu.” Mama duduk di pinggir
tempat tidur.
Aku
hanya menggeleng lemah lalu memiringkan badan menghadap jendela samping.
Buliran hangat itu menetes lagi tanpa bisa kubendung. Air mata ini tak tahu diri, tuannya dibuat lelah menghapus setiap bulirannya. Dengan sesuka hati air mata itu keluar begitu saja.
“Han,
makan ya.” Mama memegangi pundakku. Aku menggeleng dalam pembaringan.
Beberapa
saat tanpa suara, mama melangkah keluar kamar. Aku masih dalam posisi semula.
Perasaan sakit yang sudah sangat dalam ini membuatku lupa dengan apa pun.
Bahkan, di pagi ini aku tidak berangkat kuliah karena keadaan yang tak keruan. Setiap membuka mata, aku selalu mengingat mereka. Itulah kenapa, aku lebih suka
tidur. Dengan tidur, aku bisa melupakan semua luka-luka baru yang baru tercipta. Sekali
pun banyak kenangan yang hadir menjadi mimpi buruk, setidaknya sakitnya tidak
terasa lebih sakit dari kenyataan.
Terdengar
lagi suara langkah mama. Kali ini diiringi suara dentingan kaca.
“Han,
makan ya mama suapin.” Aku membalikkan badan ke arah beliau. Kulihat sepiring
nasi goreng kecoklatan dan telur ceplok di atasnya. Sama sekali tak bisa kucium
aroma makanan kesukaanku itu, hidungku sudah tersumbat mulai dari malam, karena
terlalu sering menangis.
Hanya
melihatnya sesaat, lalu aku membelakangi mama menghadap jendela yang tirai kuning
keemasannya masih kubiarkan tertutup.
“Nasinya
mama letakkan di meja, kalau Hanna lapar makan ya.” Aku masih diam tak
menatapnya.
To be continued!
8 komentar
*Unch ... Hana jan sedih ada aku disini 😊
BalasHapusHanna butuh bahu untuk bersandar, Mbak pit.
Hapuskerennn ...
BalasHapusOm figo lebih keren
HapusBunuh diri saja, Han. :D Ahaha. Upss ....
BalasHapusTiati nanti digentayangin wkwk
HapusKalo mmng gx ada bahu, ada lntai tuk brsujud...
BalasHapusHehe..keren...dtnggu klnjutannya
lanjuuut
BalasHapus