Sepucuk Surat Merah Hati (13)
“Saya merasa bersalah karena tidak memberi tahu Hanna dari awal, saya sudah berusaha mencari waktu dan kesempatan yang tepat untuk menjelaskan kepada Hanna, tapi saya tidak pernah sanggup.”
“Semua sudah terjadi, Dimas. Semoga kalian bahagia dengan jalan kalian masing-masing.”
“Terima kasih untuk kebaikan tante dan Hanna selama ini.” Dimas berlalu dari hadapan mama tanpa sempat kulihat wajahnya. Aku dan mama menatap kepergiannya sampai punggungnya tak terlihat lagi.
“Ma.” Sebelum menunggu jawaban mama, aku sudah menghapus air mataku dengan segera.
Selama tiga hari aku hanya berbicara seperlunya kepada beliau, entah kenapa hari ini aku mendengar mama berkata lembut kepada Dimas ada bagian hatiku yang tersentuh.
Ah, mama. Aku tahu, pasti beliau juga merasakan sakit sepertiku. Orang tua mana yang tidak akan tersayat hatinya jika anaknya sedang terpuruk seperti ini. Tetapi mama tetap saja masih bisa bersikap tenang dan lembut kepada Dimas. Jika aku yang berbicara dengan Dimas tadi, mungkin aku sudah berteriak-teriak memaki dan mengumpatnya. Terbuat dari apa hatimu, Ma?
Setelah
mama meletakkan sekantong belanjaannya di dekat meja, mama duduk di kursi ruang
tamu. Aku berhambur memeluknya.
Ini kali
pertamanya aku memeluk beliau setelah tiga harian mengurung diri di kamar. “Kenapa
orang tua Dimas lebih memilih Ayu, Ma? Apa karena Hanna bukan gadis yang baik?”
Kulihat mata mama berkaca-kaca menatapku. Mama menghapus air mata dan
menyibakkan poni rambutku yang menutupi mata.
“Hanna
anak mama yang manis dan baik,” suara mama bergetar. Air mata mama mulai
berjatuhan.
“Bukankah
orang tua Dimas sudah mengenal Hanna sudah lama? Tapi kenapa mereka lebih
memilih Ayu? Apa karena Hanna tidak bisa memasak dan sepintar seperti Ayu?”
“Mungkin
mereka sudah lama ingin menjodohkan anak-anaknya. Suatu saat Hanna akan
mendapatkan yang terbaik.” Aku terisak di pelukan mama.
“Hanna
kecewa, Ma.” Suaraku terdengar serak.
“Hanna
masih harus bersyukur. Hanna masih mempunyai kesempatan untuk mengobati
kekecewaan itu, dan masih bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik lagi.
Sedangkan Ayu dan Dimas, mereka terbelenggu dengan pilihan orang tuanya di saat
hati masih sama-sama terluka.” Aku menatap mama tak percaya dengan apa yang
dikatakannya.
Di saat
hati sudah hancur berkeping-keping seperti ini, masih saja mama bisa mencari
celah untuk membuat hati ini tenang. Ma, ingin rasanya aku meminjam hatimu
sampai sakitku tak terasa lagi, agar aku bisa kuat menerima kenyataan yang
sangat perih ini.
Aku
ingin bertanya sesuatu kepada mama, tetapi bibirku kelu untuk mengucapkannya. Setelah
beberapa kali berusaha menenangkan diri, akhirnya aku bisa untuk
mengucapkannya. “Apakah Hanna harus datang ke pernikahan mereka?”
“Apa Hanna
bersedia datang?”
“Sebenarnya
tidak....” Aku menelan ludah sebelum melanjutkan ucapanku. Mengumpulkan energi
untuk bisa mengucapkannya.
“Tapi
aku tidak enak hati dengan orang tua mereka jika tidak datang. Sempat aku
berpikir, rasanya sayang sekali jika persahabatanku dengan Ayu dan keluarganya yang
sudah terjalin bertahun-tahun putus begitu saja karena masalah ini.”
“Lalu
maunya Hanna bagaimana?”
“Aku
ingin tetap datang di hari kebahagiaan mereka, Ma. Tapi aku takut kedatanganku
merusak suasana di sana.”
“Han,
apa pun yang terjadi di sekitarmu adalah respon dari apa yang kau berikan. Jika
kau bisa menunjukkan bahwa kamu bisa tersenyum di depan mereka, pasti mereka
juga akan seperti itu.”
“A...apa
Hanna kuat, Ma?” Aku memandangi mama seolah tak percaya.
“Anak
mama selalu kuat.” Mama memelukku erat. kurasakan ada aliran kekuatan darinya
ke tubuhku. Aku merasa lebih baik dari kemarin. Jika tahu seperti ini, kenapa
aku tidak memelukmu dari kemarin, Ma? Agar aku lebih kuat lagi.
To Be Continued!
To Be Continued!
2 komentar
Hiks hiks...sedih
BalasHapuslanjyuuut
BalasHapus