Sepucuk Surat Merah Hati (10)
Han, aku nggak salah baca, kan?
Aku
membaca satu pesan dari teman di whatsapp. Kulihat dia mengirimkan sebuah
foto yang belum terlihat d jelas. Aku menunggu loading-nya beberapa saat.
Ngirim
foto apaan, Re?
Lihat
aja sendiri.
Aku
mengerutkan kening. Teman yang sudah
lama tak kudengar kabarnya tiba-tiba membuatku penasaran di pagi ini. Dia adalah teman baikku dan Ayu semasa SMA.
Aku
menunggu sampai fotonya terunduh selesai. Kupegangi ponsel yang dari tadi hanya
loading berputar-putar membuat detak jantung tak beraturan.
Kulihat
foto itu bisa terunduh, kuamati baik-baik. Saat itulah mukaku mulai memanas,
mataku berkaca, lalu butiran lembut itu jatuh tanpa bisa kubendung.
Dengan
tergopoh aku berlari ke ruang tamu mencari kertas undangan dan sebuah amplop
dari Ayu yang pernah tergeletak di meja. Tidak ada.
Aku
merogoh kolong meja, hanya kudapati setumpuk koran dan majalah langganan mama.
Aku yakin, mama tahu semuanya. Sekarang pasti undangan itu disembunyikan.
Dengan
lancang aku masuk ke kamar beliau. Kubuka laci di meja rias kamarnya. Tak kutemukan
apa pun di dalamnya. Aku mencoba membuka almari, ternyata terkunci.
Aku
duduk lemas di depan kamar mama. Menutupi wajah dengan kedua tangan. Ada isak
tangis yang tertahan. Hatiku tercabik sembilu. Baru aku tahu ternyata ada
lembar kebohongan yang selama ini tertutup rapi.
Entah,
apakah mereka yang terlalu pandai membohongi, atau aku yang terlalu bodoh untuk
dibohongi. Selama ini aku sangat terlihat lugu di depan mereka.
“Han.”
Ada
secercah cahaya yang masuk saat pintu mulai dibuka. Aku tahu itu suara mama. Kuabaikan
begitu saja.
“Hanna
kenapa?” Langkah mama terdengar mulai mendekat. Mama memegangi kedua tanganku
yang masih kututupkan pada wajah.
“Undangan
dan surat dari Ayu mana, Ma?” Mama tertegun mendengar pertanyaanku.
“Ma,
aku bukan anak kecil lagi yang harus selalu dibohongi,” suaraku terdengar parau.
Mama
hanya diam dan berjalan menuju kamarnya. Tak menunggu lama beliau mengulurkan
undangan dan amplop yang masih begitu rapi.
“Bukan
maksud mama membohongimu, Han.” Mama memelukku dengan erat lalu melepaskannya. Beliau
sibuk mengusap air mataku.
Tanganku
bergetar saat membuka plastik undangan itu. Dan kulihat dengan mata kepala
sendiri. Ada nama Ayu dan Dimas di dalam gambar sepasang cincin. Bukan Dimas orang
lain, tetapi Dimas Angga yang selama ini telah bertahta dalam hatiku.
Kulepaskan
karbondioksida, menghirup oksigen, tetapi itu justru membuat sesak, menyiksa. Aku
hanya memegangi amplop merah hati surat Ayu, ingin membacanya, tetapi aku tidak
kuat untuk melanjutkan.
Setelah
berhasil menguasai diri sendiri, kubuka pelan-pelan amplopnya.
Teruntuk Hanna,
Saat menulis ini aku sedang tertatih
menahan air mata. Mungkin begitu juga denganmu saat membacanya.
Kau boleh menganggapku begitu jahat. Dan
aku tak akan mengelak akan hal itu. Kau salah jika menganggap diriku adalah
sahabat terbaik.
Aku tidak pernah meminta kepada Tuhan untuk
menjadikanku sebagai tokoh di skenario ini, tapi seperti yang kau ketahui,
kadang Tuhan selalu memaksakan kita untuk menjalani jalan ceritaNya.
Sungguh, aku dan Dimas sama sekali tidak
ada maksud untuk menggoreskan luka di hatimu. Perjodohan ini adalah rencana
orang tua kami dan baru kami ketahui beberapa bulan lalu.
Han, kita bertiga sama-sama tersiksanya.
Aku tahu, bagaimana raut wajah Dimas saat di acara lamaran beberapa bulan lalu.
Tidak ada raut kebahagiaan, hanya sendu yang menggelayutinya.
Kau tahu, bagaimana malamku selalu dihiasi
oleh tangis memikirkanmu. Andai saja, aku bisa memilih, aku akan menolak
perjodohan ini. Tapi kau tahu kan, orang tuaku sangat keras seperti kerasnya
takdir yang kita hadapi saat ini.
Aku hanya berharap kejujuran ini bisa
menjadi pil pahit yang menyembuhkan luka-lukamu. Meski aku tahu, palung lukamu
sudah terlalu dalam.
Aku minta maaf jika telah menodai
persahabatan ini. Semoga kata maaf ini mampu menjadi pembalut luka yang
aku sayatkan di hatimu, pemadam api biru emosimu, dan penetral kepahitan takdir
kita.
Perempuan yang tetap akan menjadi
sahabatmu,
Ayu
To be continued!
8 komentar
Hiks. Hanna. Sini tak kasih martabak. :D
BalasHapusHanna dikasih, aku nggak dikasih -_-
HapusKamu mendingan ke laut aja. :D haha.
HapusKalo aku ke laut, siapa yg ngelanjutin cerbungnya -_-
HapusWoww...lnjutannya bnyak banget kyakny nih...dbuat buku aja mbak...hehee
BalasHapusBagus tuhhh
Yesss! Tebakanku benar! 😁
BalasHapusOK OK...ditunggu lanjutannya
BalasHapusOK OK...ditunggu lanjutannya
BalasHapus