Sepucuk Surat Merah Hati (8)
Malam
ini langit begitu terang dihiasi berpuluh-puluh formasi bintang. Ditemani sang
rembulan yang malu-malu sedikit tertutup awan. Tetapi tetap cantik dan anggun.
Kepang
rambut menggelayut lemah di sela-sela telinga. Terasa angin membelai manja
tengkukku. Hembusannya menyusup ke sela-sela jiwa menyejukkan.
Kali
ini alam begitu bersahabat. Cerah dan menenangkan seperti apa yang kurasakan.
Terdengar
deru motor di luar. Lalu sayup-sayup obrolan kecil yang tak bisa tertangkap
telinga dengan jelas. Aku tahu itu suara mama.
Kuletakkan
buku kuliah seberat batu-bata di atas bantal. Aku melangkah keluar ingin tahu
siapa yang datang malam ini.
“Hanna
sudah tidur!” Terdengar suara mama begitu ketus.
Kulihat
ada Dimas mengenakan kemeja kotak-kotak di ambang pintu. Pandangan kita
bertemu. Aku tertegun mendengar mama begitu ketusnya. Sejak kapan mama bisa
bersikap sedingin itu? Apalagi dengan Dimas. Setahuku selama ini mama sangat
lembut memperlakukannya.
“Ma.”
Aku sudah berdiri di belakangnya. Mama tak menjawab, lalu berjalan ke dalam. Kulihat
ekspresi Dimas ketakutan.
“Ayo masuk!” Kubuka pintu rumah lebar-lebar.
“Aku ke
sini hanya untuk membawakan sekotak martabak untuk Hanna dan mama.” Terdengar
suaranya melemah.
“Tumben,
biasanya mampir dulu.”
“Aku
belum pulang ke rumah dari tadi pagi. Lihat! Kemeja ini yang kukenakan tadi
pagi menjemputmu,” jelasnya sambil melihati kemeja abu-abu yang dipakainya.
“Kau
juga masih bau keringat.” Pura-pura aku menutup hidung. Dia tersenyum ragu, dan
terlihat canggung di depanku. Kuterima
uluran sekotak martabaknya.
“Yakin
nggak mampir dulu?” tanyaku tanpa memandangnya. Aku membuka kotak kertas merah
bertuliskan nama penjual martabak langganan kami.
“Besok
saja,” jawabnya. Aku tetap tak memandangnya. Sibuk mencicipi sepotong martabak
yang membuatku menelan ludah berulang kali malam ini.
“Hanna.”
“Ya?”
Aku mendongak menatapnya sambil menjilati jari telunjuk dan jempol yang terkena
minyak.
“Ada
sesuatu yang ingin kubicarakan.” Dia berkata pelan dan menatapku dengan serius.
“Serius
amat sih, duduk dulu gih!”
Tanpa
menunggu persetujuannya, aku duduk di kursi anyaman eceng gondok teras rumah.
Kursi kami terpisah dengan meja kayu kecoklatan yang diplitur begitu mengkilap.
Dia
mengikut. Kuletakkan kotak merah tadi di sebelah vas kaca bening yang berisikan
air dan bunga sedap malam yang baru dibeli mama kemarin.
Aroma
bunganya mengoar ke hidung. Sangat wangi dan menggoda. Kuambil vas itu lalu
kuciumi sekuntum dua kuntum. Wanginya menjadi candu di indera penciuman.
Kulihat
Dimas hanya tersenyum tipis melihat sikapku. “Mau bicara apa?” Sepotong
martabak ada di jemari. Kukunyah pelan-pelan.
“Kau
sudah makan? Kok nggak ambil martabaknya.”
“Kan
martabaknya buat Hanna dan mama.”
“Tumben
baik, biasanya juga ikut nyomot.” Dimas hanya tertawa kecil dan garing.
Aku
merasa ada yang berubah darinya. Tidak ingin menebak terlalu jauh, kutunggu dia
memulai cerita. Sampai lama sekali tidak ada dari kami yang mulai berbicara.
“Ohya,
minggu depan Ayu menikah. Kau bisa datang menemaniku, kan?”
Dimas
terperangah. Aku bisa membaca keterkejutannya. Lama sekali dia tak menjawab. Lalu dihempaskan punggungnya ke kursi. Memegangi kening dan menopangkan siku di lengan kursi.
To be continued!
8 komentar
Yang kemarin lanjutannya mana? Dih. -_-
BalasHapusYa ini lanjutannya. -_- kan beda settingan waktu dan tempat udahan.
HapusSemakin curiga sama Dimas.
BalasHapusLah Mbak Liana udah baca ternyata. Padahal belum aku share :D
HapusJangan bosen nunggu kelanjutannya ya, Mbak :)
Asyik...ditunggu lanjutannya
BalasHapusAsyikk ditungguin Mbak Wid :D
HapusPengen martabaknya...hehe
BalasHapuslanjuuut
BalasHapus