Menahan Bertanya

by - 13.41

Ada temanku yang tertarik untuk download tumblr karena melihat screenshoot postinganku di status. Katanya tampilannya yang cantik. Kurayu-rayu agar download, besoknya berhasil. Dia benar-benar download lalu mengirimiku screenshoot profilnya. Awal aku spoiler dia tentang tumblr, aku bilang di sana kita bisa curhat apa saja karena beda dengan media sosial yang rawan dikomentari orang. Orang-orang tumblr mah bodo amat kamu mau nulis apapun, nggak akan ada yang mengomentari. Dan orang-orang di sana menurutku juga kondusif, tidak menulis sesuatu yang menimbulkan konflik. Pokok di sana tuh beda deh, makanya aku suka di sana.

Kutanya dia, "Kamu mau aku follow nggak? Khawatirnya di sana kamu mau nulis privasi dan nggak mau dilihat orang yang kamu kenal. Makanya aku tanya dulu."

"Follow aja gapapa, kalo kita baca tulisan privasi satu sama lain di sana, anggap aja kayak nggak kenal, nggak baca."

Aku mengiyakan. Selama ini aku dan beberapa teman yang kenal juga seperti itu. Nggak hanya di tumblr, tapi juga di instagram. Satu sama lain tidak bertanya lebih jauh tentang apa yang ditulis. Tidak mengklarifikasi yang sebenarnya juga nggak penting untuk dilakukan. Orang-orang seringnya bertanya hanya karena ingin tahu, bukan karena peduli. Aku ingin tulisanku dianggap orang-orang hanyalah sebuah konten, bukan tentang seorang Anik itu seperti apa. 

Mungkin ini juga salah satu alasan kenapa aku takut ngeshare tulisanku pada orang-orang yang aku kenal, karena takut orang-orang menilai terlalu jauh seorang Anik. Mereka tidak menangkap pesan yang aku sampaikan, tapi lebih ke diriku sendiri yang aku ceritakan. Karena tumblr yang begitu nyaman buatku, aku memilih di sana untuk menulis hal-hal yang lebih privasi. Meski nggak banyak sih, dan privasi yang aku maksud bukan aku membocorkan rahasia atau aib gitu, tapi hal-hal yang bersifat lebih receh dan aku yang apa adanya, serapuh-rapuhnya wkwk. Tapi tetap kupersilakan orang-orang kalau mau baca, hanya saja cukup dibaca, bukan untuk dipertanyakan. Kalau sudah baca, yaudah diam-diam saja. Wkwkw

Sering banget teman-temanku mengunggah status galau, dilema, atau sedihnya. Kubiarkan. Tidak kupertanyakan. Tidak kukomentari. Adakalanya mereka menulis itu agar lebih lega atau mereka bingung meluapkan dengan cara apa. Aku percaya mereka sudah dewasa, ketika menginginkan aku mendengar ceritanya mereka akan datang sendiri untuk bercerita. Ketika tidak cerita, itu berarti mereka belum siap atau tidak ingin cerita kepadaku. Sedekat apapun kita berteman, tapi kita tetap punya privasi satu sama lain. Aku juga tidak mau mereka malu kalau dikomentari, makanya aku menghindari itu. 

Ada orang yang beranggapan sesuatu yang dijadikan status atau ditulis di blog adalah konsumsi publik. Kalau tidak ingin dikomentari, maka tidak perlu membuat status. Tapi sudut pandang orang beda-beda. Bagiku sah sah saja, itu media sosial mereka, rumah kita masing-masing. Eh, tapi kalo nulis status buka aib orang, marah-marah berkata kotor, sambat, galau melulu tiap hari, itu aku nggak setuju sih. Kita pun sebagai netizen harusnya memposisikan, tidak semua yang dipersilakan kita lihat di media sosial harus kita komentari. Kalau pun ingin mengomentari,  seharusnya membahas hal-hal yang tidak privasi.  

Ada pernah suatu kejadian lima tahunan yang lalu, aku kenal dengan seseorang. Awal kita kenal dia langsung membuat tulisan singkat yang tokoh utamanya aku tanpa dia bilang-bilang. Tulisan sangat singkat, mungkin dua paragraf. Aku tidak sedang kepedean, tapi benar-benar kronologis yang dia ceritakan sama persis dengan apa yang terjadi di antara kita dan menyebut beberapa hal yang menguatkan itu adalah aku yang dimaksud. Menceritakan awal dia tidak sengaja menemukan tulisanku di beranda, membacanya, melihat profilku lalu berlanjut ke hal lain yang terjadi. Di tulisan itu dia tidak menyamarkan namaku, tapi mengganti dengan "dia". 

Saat itu kaget, jelas iya. Tapi selama kenal, dia tidak pernah menunjukkan gelagat apa-apa. Seperti teman biasa, bicara seperlunya. Aku pura-pura seolah tidak pernah membaca tulisannya di facebook dan instagramnya tentang aku. Tidak pernah kulukis jempol di setiap postingannya. Aku diam, tidak pernah mempertanyakan, sampai sekarang. Sampai detik ini bertahun-tahun kita masih komunikasi meski tidak sering, hanya seperlunya ketika ada sesuatu yang penting untuk dibahas atau ditanyakan. 

Aku sangat menghargai privasinya. Dan juga bukan tugasku untuk bertanya-tanya hanya untuk memuaskan keingintahuanku. Aku juga tidak tahu dan tidak ingin tahu apakah hal yang dia tulis masih sama seperti saat itu. 

Ini bukan hanya aku, tapi mungkin juga banyak orang di luar sana. Adakalanya kita menulis bukan fokus pada apa masalahnya, tapi lebih pada meluapkan apa yang kita rasa dan pikirkan. Setelah itu sudah, tidak perlu ditanya-tanya lagi. Kalau mau meninggalkan jejak di komentar atau mengelike tulisan di media sosial sangat diperbolehkan, tapi sekali lagi, tidak perlu dipertanyakan. Wkwkw

Terima kasih untuk orang-orang yang sudah berkenan baca tulisanku, tapi menahan diri untuk tidak bertanya ini itu. Terima kasih untuk kalian yang dengan bijak memberiku saran di kolom komentar untuk menguatkan, meyakinkan bahwa hidup tidak semenakutkan yang aku kira . :)


You May Also Like

2 komentar

  1. Terkadang apa yg dilihat dapat dijadikan tulisan, maka disaat itu aku menulis hehhe

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya juga, nggak selalu yang kita tulis itu pengalaman pribadi.

      Hapus