Sepucuk Surat Merah Hati (2)

by - 19.38

“Hanna!” Mata lelaki berkaus oblong itu membulat melihat kedatanganku.

“Ayu ada, Kak?” tanyaku sedikit ragu melihat tingkahnya yang aneh kali ini.

“E ... e, kalian sudah buat janji?”

Keningku berkerut dibuatnya. Memang adiknya itu siapa? Seorang pejabat sibuk  yang hanya bisa ditemui dengan janji?

“Bukankah aku sudah biasa datang ke sini tanpa janji?” Aku balik bertanya dengan menatapnya serius.

Dia bersikap kikuk di depanku. “Oh, sebentar aku panggilkan Ayu.” Lelaki berwajah tirus itu masuk ke dalam rumah tanpa menyuruhku masuk.


Aku merasa tersesat di sebuah planet. Semua orang mendadak berubah—tak kukenal mereka yang dulu. Beberapa minggu ini aku merasa Ayu sengaja menjauh. Dia lebih sering menghindar dan buru-buru pulang setelah kuliah.

Dia tidak lagi duduk di sebelahku saat di kelas, mengajak makan siang di bakso favorit kita selepas pulang, atau meminta menemaninya membeli komik di pameran buku dua hari lalu di perpustakaan kota.

Dan hari ini, aku merasa Kak Galang pun ekspresinya menyiratkan bahwa aku tidak bisa semudah dulu bertemu Ayu.

Aku menunggu di teras rumahnya. Tempat ini masih sama seperti tiga minggu terakhir aku ke sini. Masih ada pohon mangga yang berbunga dan buahnya masih terlihat kecil.

Ada bunga anggrek putih dan ungu yang menempel di pohon itu. Aku tahu, ibunya Ayu sangat suka dengan tanaman. Ini terbukti dengan adanya beberapa pot bunga matahari kecil, mawar, dan kaktus berbentuk lucu.

Rumah ini semakin sejuk dengan adanya suara gemericik air dari air mancur buatan. Ada melati air yang memenuhi kolam di bawahnya. Sesekali suara air berkecipak karena ikan di dalamnya berkejar-kejaran.

“Hanna.” Aku mendengar suara lembutnya.

Aku menoleh ke arahnya dan kulihat lengkungan senyum terlukis di bibir mungilnya. Namun, kudapati sembab pada matanya.

Are you okay, Ayu?” Aku memandanginya dengan penuh tanya.

Apakah selama ini Ayu menghindar karena ada masalah? Kenapa aku menjadi sahabat yang sangat bodoh sekali. Hampir dua minggu Ayu menjauh, tetapi baru sekarang aku menanyakan keadaannya.

Semua perhatian dan pikiranku sudah terkuras hanya untuk memikirkanmu yang jauh di sana. Tanpa aku tahu, apakah kau juga sibuk merindu dan memikirkanku?

“Aku lebih baik dari apa yang kau lihat.” Dia berhambur memelukku. Tangisnya semakin pecah dalam pelukan. Aku merasakan dia mendekapku begitu erat.

“Maafkan aku yang tidak peka memahamimu, Ayu.”

“Kenapa kau berkata seperti itu, Hanna?”

Dia melepaskan pelukannya dan menatapku. Aku melihat sudut matanya basah. Wajahnya memerah menahan tangis.

“Aku baru sempat datang untuk menanyakan keadaanmu. Meski kau tidak bercerita, aku tahu pasti ada masalah yang mengundang hujan di matamu.”

“Aku baik-baik saja.” Ada senyum yang dipaksakan di bibirnya.

“Okelah kalau kau tidak ingin bercerita. Tetapi apa aku juga tidak dibolehkan masuk ke rumahmu?” Aku mengangkat alis dan kedua bahu menggodanya.

“Aku sampai lupa menyilakanmu masuk.” Digandengnya tangan kiriku.

Saat akan masuk ke kamar Ayu, kulihat ada wanita beralis tebal memakai daster bunga-bunga usang membawa sepiring bolu.

“Hanna, coba cicipi bolu buatan Ayu.” Wanita itu menyodorkan piring putih ke arahku.

“Buatan Ayu? Sejak kapan Ayu bisa masak, Kak?” Aku melirik ke arah Ayu.

Tawaku dan Kak Gina beradu menggodanya. Semburat merah di wajah Ayu perlahan mulai memudar. Dengan malu-malu dia menutupi mulutnya dengan tangan kanan menahan tawa.

“Jangan salah! Dia sekarang sudah jago masak. Biasalah, dia kan sekarang sudah menjadi gadis pingitan. Kerjaannya sekarang sibuk di dapur.” Aku mendelik mendengar ucapan kalimat kakak ipar Ayu.


Saat melihatnya, kudapati Ayu salah tingkah di depan kami. Ada sesuatu yang mengganjal di perasaanku. 

To be continued!

You May Also Like

4 komentar