Sepucuk Surat Merah Hati (3)

by - 19.42

Kurasa, sekarang aku bukan sahabat Ayu yang pertama kali dihubungi saat dia sedang menerima kabar baik, dan juga bukan lagi sahabat yang dipaksa untuk datang ke rumahnya hanya untuk menungguinya menangis.

“Sepiring bolu untuk Hanna. Jangan lupa dihabiskan!” Kak Gina memindahkan piring itu ke tanganku, lalu melangkah meninggalkan kami berdua. Aku hanya memperlihatkan ekspresi datar.

“Ada hal yang tak kau ceritakan kepadaku?” Aku meletakkan piring di meja kayu beralaskan taplak rajutan.

Kulihat ada yang berubah di kamarnya. Warna dindingnya sudah berganti. Tempat ini sudah bersih dari poster-poster bintang Korea kesukaannya. Gambar oppa berkulit putih sudah tak kujumpai di seluruh dinding kamarnya.


“Tentang apa?” Ayu duduk di pinggiran tempat tidurnya.       
               
“Tentang status barumu sebagai gadis pingitan.” Suaraku terdengar berat. Mulutku sibuk mengunyah kue bolu yang aroma pandannya mengoar ke hidung.

“Bukankah Hanna sudah tahu kalau aku dijodohkan dengan anak teman ayah?”

“Tapi kau tak bilang kalau sudah menerima lamarannya.” Mulutku penuh dengan suapan bolu yang belum kuhabiskan.

Aku duduk di sebelah Ayu sambil membawakan sepotong bolu untuknya. Dia menggeleng menolak.

“Tidak mungkin aku bisa menolak permintaan ayah dan ibu,” ucapnya tertunduk lesu.
Aku sibuk mengunyah bolu kedua. Ayu melihati tingkahku tanpa mengucap sepatah kata pun.

“Kapan kau menikah?” Aku merubah posisiku menghadapnya.

Ayu hanya menggeleng. Dia menunduk begitu lama. Kuamati diam-diam dirinya. Lalu terdengar suara isakan tangis dari mulutnya yang sengaja ditutupi dengan kedua tangannya.

“Ayu.” Aku menarik badannya agar menghadap ke arahku. Dia menurut.

Kita berdua berhadap-hadapan tanpa saling memandang. Dia masih sibuk menahan isak tangis dan napasnya yang tersengal.

“Sejak kapan kau tak lagi percaya denganku?”

“Hanna.” Dia mengangkat kepalanya. Kulihat matanya basah dan wajahnya memerah lagi. Aku bisa melihat sendu yang menghiasi wajahnya.

“Ceritakan kepadaku agar beban di hatimu menjadi ringan.”

Kulihat dia tertatih menahan air matanya. Kugenggam tangannya erat, lalu kurasakan dia meremas tanganku begitu kuat.

Aku memang tak tahu apa yang membuat hatinya digelayuti mendung saat ini. Tetapi aku sangat tahu, ada nyeri yang dirasakan di ruang hatinya.

Ayu menyelipkan sehelai rambut di balik telinganya, lalu tersenyum kecil. “Hanna, aku hanya takut jika nanti tidak bisa menjalani kehidupan baruku dengan baik. Masalah rumah tangga itu rumit.”

“Sungguh hanya karena ketakutan itu yang membuat matamu sembab seperti ini?”

Yeah, Hanna. Kau pasti akan merasakannya jika sudah ada di posisiku.”

“Apa kau bahagia menerima lelaki itu, Ayu?”

Kulihat Ayu mengangguk dengan ragu. Matanya kembali berkaca. “Aku akan bahagia jika ayah dan ibu bahagia.”

“Kau dewasa terlalu cepat, Ayu,” kataku dengan tertawa kecil. Ayu memberengut menatapku.

“Oke...oke. Aku tidak akan lagi menggoda gadis pingitan yang sekarang sudah move on dari para oppa.” Dia memukul lenganku dengan keras.

“Ibu menyuruhku membuang semua poster itu sebelum menikah.” Tawa kita menggema di ruangan bercat biru yang baunya masih menyengak di hidung. Dia seakan lupa dengan air mata yang berulang kali membasahi tebing pipinya.

Kulihat, sudah ada mentari yang mengeringkan basah hujan hatinya. Dan ada pelangi yang sudah menggantikan gelayut mendung kesedihannya.

“Hanya karena itu kau menjauhiku berhari-hari, bahkan tak memberiku kabar barang sekali pun?”

“Kau tidak tahu apa yang kurasakan, Hanna.”

“Okelah, apapun itu kau harus janji tidak ada rahasia di antara kita.” Aku mengangkat kelingkingku menunggu uluran kelingkingnya. Kulihat dia ragu melakukannya.

Mata kita beradu pandang. Aku bukan orang yang bisa dibohongi olehnya. Sudah dari awal SMA kita saling mengenal.

Pasti ada sesuatu hal yang membuat hatinya berkecamuk tak keruan. Tetapi aku tahu, tidak selamanya seorang sahabat harus tahu. Tetap ada batas privasi di antara kita. Dan mungkin memang belum saatnya aku tahu.


“Janji?” tanyaku sekali lagi sambil memiringkan kepalaku menatapnya. Dia mengaitkan kelingkingnya ke kelingkingku dan berkata, “I promise.”

To be continued!

You May Also Like

5 komentar