facebook twitter instagram Tumblr

Anik's Blog

Sehabis Isya' tadi jalan-jalan sebentar ke instagram. Melihat ada seorang teman yang membagikan postingan tentang acara di TV One yang sedang mewawancarai seorang suami yang menuntut pihak rumah sakit karena istrinya dimandikan oleh petugas pria. Parahnya, mereka juga memfoto jenazah yang telanjang tersebut, dengan alasan untuk dokumentasi. Dalam aturan Islam, menjaga aurat seorang mayat adalah sebuah keharusan. Bagaimana pun mayat harus tetap dimuliakan. 

Melihat si suami yang menangis setengah menjerit meminta pihak rumah sakit diadili, aku terenyuh. Ia sadar hal itu menjadi tanggung jawabnya. Menuntut hak istri untuk dijaga auratnya meski sudah tidak lagi bernyawa. 

Aku teringat dengan cerita Ustadz Hanan yang selalu berdoa agar ibunya dijaga auratnya oleh Allah ketika meninggal. Sebelumnya Ustadz Hanan bercerita alasan beliau kenapa sampai kepikiran untuk mendoakan demikian. Tapi aku lupa. :D 

Lalu ternyata ketika tsunami tahun 2004 menyapu bersih daratan Aceh, ibu beliau menjadi salah satu korbannya. Alhamdulillah, ibunya ditemukan dalam keadaan masih tertutup oleh baju dan jilbab. Padahal terjangan ombak yang bisa memporak-porandakan daratan, tentu sangat mudah untuk menghempaskan pakaian yang dipakai korban. Saat itu juga aku berpikir, iya juga ya, kenapa aku nggak kepikiran untuk berdoa semacam ini.

Setelah mendengar cerita ini, aku belum pernah mendoakan diriku sendiri atau ibuku dengan doa yang sama. Karena belum kebiasaan dan lagi-lagi cerita Ustadz Hanan menguap begitu saja terlupakan. 

Allah mengingatkanku lagi dengan cerita beliau ketika 2018 lalu aku berkesempatan untuk menjadi relawan di Palu. Jadi waktu itu aku mendapat pos di rumah bapak kepala adat. Kalau sore hampir tidak pernah mandi karena tidak sempat dan buka prioritas ketika di sana. Haha

Dua minggu di sana setiap hari aku mandi selalu di atas pukul 9 malam. Waktu itu listrik sering mati tiba-tiba, syukurnya di rumah kepala adat ini ada genset tapi tidak sering digunakan. Dan gempa juga masih sering mengguncang tiba-tiba. Suatu malam pas ketepatan aku yang mandi, lampu mati begitu lama. Bapak pemilik rumah meneriakiku untuk sabar sebentar karena genset sedang berusaha untuk dinyalakan. 

Di dalam kamar mandi dalam keadaan gelap dan aku tak bisa berbuat apa-apa, pikiranku kacau mengingat kemungkinan terburuk. Fyi, aku ini orangnya overthinking. Kalau takut bisa sangat parah, pikiran tidak terkendali membayangkan banyak hal. Aku jadi ingat cerita ibu-ibu tetangga bapak kepala adat, saat gempa sore itu terjadi beliau sedang mandi lalu langsung lari mengambil handuk dengan panik. Untungnya, sore menjelang Maghrib keadaan belum terlalu gelap. 

Tapi syukurnya, aku tidak mengalami seperti yang beliau ceritakan. Lampu nyala dan aku bisa melanjutkan aktivitas lagi. 

Setelah keluar dari kamar mandi, aku bersyukur berulang kali masih dijaga oleh Allah. Aku jadi teringat dengan cerita Ustadz Hanan. Beberapa hari disana aku merapalkan doa itu terus, memohon diberi keselamatan dan dijaga auratku dalam keadaan apapun. Lalu setelah pulang ke Jawa, aku lupa lagi untuk berdoa hal itu. Karena sudah merasa di tempat yang aman, jadi tidak terpikir lagi untuk berdoa seperti itu. Padahal seharusnya aku tetap merapalkannya karena untuk menjaga apa pun yang akan terjadi nantinya. Seperti halnya, dengan berita yang tersebar bulan puasa lalu di kotaku--Kediri. Ada seorang perempuan yang dijambret ketika mengendarai motor. Perempuan itu sampai terjatuh dari motor dan meninggal di tempat. Fotonya tersebar luas di media sosial dengan baju tersingkap dan bagian perutnya terlihat. 

Doa ini yang mungkin hampir sering terlupakan, padahal sangat penting untuk dimohonkan. 

*) Sorry ya, lama nggak nulis di blog jadi kaku gini



Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar

Seandainya aku bisa meminum kopi, apakah aku akan menjadi anak indie yang akan menyelipkan kopi pada beberapa tulisanku? Pertanyaan yang tidak terlalu penting itu sempat mampir di kepalaku. Aku suka senja yang menenangkan, tapi nyatanya juga tidak aku curi keindahannya untuk diabadikan pada puisi-puisiku. 

Beberapa teman suka mengunggah fotonya bersama secangkir kopi dengan menandai sebuah kedai kopi. Apakah aku juga perlu mengunggah es coklat yang aku sukai, karena ketidakberdayaanku menenggak kafein?

Organ tubuhku diciptakan bukan untuk bersahabat dengan kafein. Awalnya kukira hanya kopi yang tidak bisa kunikmati. Setiap beberapa tenggakan sudah merasuk ke tubuhku, keringat mulai terlihat, detak jantung berkejaran, dan tubuh mulai lunglai tak berdaya. Kadang, pada satu sisi perut terasa sakit atau mules. Parahnya hampir selama 24 jam aku tidak akan bisa tidur. Ternyata setelah aku meminum cappucino atau mocca, tubuhku juga bereaksi demikian. 

Efek sampingnya yang tidak aku suka, membuat aku membulatkan tekad untuk menyingkirkan minuman berkafein itu dari daftar minuman yang bisa kupesan. Hanya satu kopi yang bisa aku nikmati, kopi bapak yang aku seruput diam-diam setiap sore. Itu pun tidak banyak, mungkin jika ditakar hanya satu atau dua mili saja. Bapak tidak pernah tahu kebiasaan yang sudah aku lakukan semenjak masih di jaman putih abu-abu dulu. Sekalipun tahu, bapak juga tidak akan marah. Beliau selalu rela membagi makanan atau minuman apapun untuk anaknya. Aku suka aroma kopinya yang menguar.

Ketika aku sempat kuliah dan kerja di luar kota, salah satu hal yang paling kurindukan adalah menyeruput kopi beliau. Tapi pada akhirnya, ketika aku sudah pindah kerja di kota kelahiranku aku malah tidak lagi melakukan kebiasaan ini. Bukan karena sudah tidak suka, tapi karena ada yang menggantikanku. Beberapa keponakan bergantian menghabiskan kopi beliau, sehingga di sore hari sering aku mendapati kopinya sudah habis. 

Baru kemarin aku makan di meja makan, lalu melihat kopi beliau masih seperempat cangkir. Mumpung masih ada, aku meminumnya sedikit. Ada yang berbeda, kali ini rasa pahitnya yang dominan. Tapi tetap terasa enak. Berbeda dengan kopinya dulu yang masih ada manis-manisnya. Mungkin di umurnya yang sudah menua, bapak tidak lagi ingin menimbun banyak gula di tubuhnya. Belakangan ini aku baru menyadari kopi sachetan itu tidak sehat, tapi bersyukurnya bapak masih baik-baik saja sampai sekarang. 

Kopi pahit sore kemarin mengingatkanku pada seseorang yang amat menyukainya. "Cobain deh minum kopi pahit, itu lebih bisa dinikmati. Kalau kopi manis sama aja kamu cuma nikmati gula," katanya suatu hari yang tersisa di ingatanku. 

"Nggak ah, aku nggak bisa minum kopi. Bisa nggak tidur semaleman nanti. Bikin badan lemes."

"Aku minum kopi tetep ngantuk. Kamu aja yang aneh."

Aku masih ingat betul kejadian itu. Siang hari ketika kita mampir di kedai kopi. Saat itu dia sedang berkunjung ke kotaku. Ada kedai kopi yang kami lewati dan satu-satunya yang paling dekat dengan keberadaan kami saat itu. Daripada berjalan lebih jauh lagi, kami memutuskan untuk mampir saja di tempat itu.

Beberapa bulan mengenalnya aku belum pernah secara langsung melihat dia meminum kopi. Hanya beberapa kali dia mengirim foto kopi panasnya kepadaku atau mengunggah cangkir kopi dan buku di sisinya. 

"Kamu mau pesen kopi?" Aku membaca beberapa menu minuman yang ditawarkan.

"Nggak ah, masa siang-siang ngopi." Akhirnya kami sama-sama memesan es coklat. 

Di awal bulan Maret lalu ketika corona belum masuk ke Indonesia, ada pameran buku di kotaku. Dia menyempatkan diri untuk datang ke kotaku untuk kedua kalinya. Aku menemaninya sampai pukul 7 malam sebelum kereta kepulangannya tiba. 

Sore sebelum jadwal kepulangannya, kita mampir di kedai kopi dengan bangunan lawas yang disulap seestetik mungkin.   

"Kamu pesen kopi?" Aku melihat daftar menu dan bertanya pada dia. 

"Boleh, deh." 

"Yaudah ngopi gih, nanti aku minta dikit."

"Mau kopi apa?" Balik dia yang bertanya kepadaku.

"Terserah kamu. Apa aja boleh."

Setelah dia membaca beberapa saat buku menu, dia menjawab, "Aku pesan kopi vietnam. Nanti cobain."

Di sisi lain aku pesan susu murni hangat, nanti sebagai penawarnya jika aku meminum kopinya terlalu banyak. 

Menunggu pesanan datang, kami mengobrolkan banyak hal random. Mulai dari perbedaan bahasa sukunya yaitu Madura dan sukuku Jawa. Atau tentang perbincangan yang hangat-hangatnya saat itu tentang corona kenapa tidak bisa masuk Indonesia.

Pesanan kopi datang. Oh, aku baru tahu kalau ternyata kopi vietnam itu ada alat penyeduh di atas gelas kopinya. Paling bawah ada susu putih kental yang belum tercampur dengan kopi.

Sumber: Google


"Aku coba dulu sebelum dicampur dengan susunya." Aku mengambil cairan kopinya dengan sendok kecil.  Rasanya pahit menurutku. Lalu aku aduk agar susunya tercampur. Kurasakan lagi, sedikit ada rasa susunya.

"Kamu harus nyobain jenis kopi lainnya. Biar tahu bedanya,"katanya.

"Bukannya sama-sama pahitnya?"

"Ya tapi ada bedanya."

Untuk pertama kalinya aku meminum kopi selain kopi bapak. Sedikit demi sedikit kami sama-sama menghabiskan minuman masing-masing. 

"Mau lagi nggak? Sebelum habis nih." Dia menawari.

Aku menggeleng. Seseruput saja sudah cukup bagiku untuk tahu rasanya. 

Aku memandanginya lekat-lekat. Memperhatikannya ketika dia berbicara, caranya menglihati gelas kopinya lalu menyeruput sedikit, atau ketika dia sedang berpikir sesuatu. Mungkin sebenarnya ini bukan tentang apa yang kita minum, tapi bersama siapa minuman kita semeja. Rasa pahit kopinya tadi, tetap terasa manis di lidahku. Karena apapun yang dia sukai, aku juga akan menyukai. 

Sayangnya, mungkin saat itu adalah pertama dan terakhir kali aku meminum kopinya. Bulan April kami sempat janji akan bertemu lagi, tapi nyatanya batal karena pandemi ini. Lalu pada bulan apapun nantinya, mungkin tidak akan lagi ada pertemuan di antara kami. Karena suatu hal aku memintanya untuk pergi tanpa memberinya kesempatan untuk meninggalkan penjelasan. 

Nanti, di suatu pagi aku akan membuatkan kopi untuk seseorang yang juga akan aku minum sedikit bagiannya. Tapi nanti tidak hanya membuatkan, tapi juga akan aku temani kopinya dengan segelas teh hangat semeja dan obrolan setiap pagi. 

Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar
Newer Posts
Older Posts

About Me

Foto saya
Anik's Blog
Hi, ini tempat pulangnya Anik. Berisi hal-hal random yang rasanya perlu ditulis.
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Tumblr

Member Of

1minggu1cerita

Categories

  • Blogwalking
  • Calon Ibu
  • FIKSI
  • Flashback
  • Kerelawanan
  • Obrolan Cermin
  • Review Ala-Ala
  • Sudut Pandang Pernikahan

Postingan Populer

  • Rezeki Tak Perlu Dicari
  • Hujan-Hujan di Bulan Juni
  • Inilah 5 Cara Bahagia Jadi Jofis (Jomblo Fi Sabilillah)
  • Menikah itu Bukan Sekadar untuk Memilikinya, tetapi Demi Menambah Kecintaan kepada-Nya
  • (Review) Pertanyaan Tentang Kedatangan

Blog Archive

  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Juli 2023 (2)
  • Agustus 2021 (1)
  • Juli 2021 (2)
  • September 2020 (2)
  • Agustus 2020 (4)
  • Juli 2020 (3)
  • Juni 2020 (7)
  • Mei 2020 (17)
  • April 2020 (4)
  • September 2019 (1)
  • Agustus 2019 (3)
  • Juli 2019 (9)
  • Juni 2019 (4)
  • Mei 2019 (3)
  • April 2019 (1)
  • Maret 2019 (7)
  • Februari 2019 (3)
  • Januari 2019 (3)
  • Oktober 2018 (6)
  • Maret 2018 (22)
  • Februari 2018 (14)
  • Agustus 2017 (7)
  • Juli 2017 (11)
  • Juni 2017 (11)
  • Mei 2017 (1)
  • April 2017 (5)
  • Maret 2017 (3)
  • Februari 2017 (4)
  • Januari 2017 (14)
  • Desember 2016 (12)
  • November 2016 (2)

Created with by ThemeXpose