facebook twitter instagram Tumblr

Anik's Blog

"Tapi, aku cinta..," ucapku ragu-ragu. Lirih tapi aku yakin masih tertangkap oleh pendengaran Lidya. Rumahnya lengang malam ini hanya dihuni oleh Lidya dan aku yang menumpang menginap.

"Han, cinta itu apa sih sebenernya? Apa yang kamu rasain itu bener-bener cinta atau hanya ketertarikan, obsesi ingin memiliki, atau bahkan rasa ketergantungan karena sudah lama menjalin hubungan dengannya?"

Ucapan Lidya seperti baja yang menghantam keras pikiranku. Beberapa saat kemudian manusia macam aku yang mengaku sudah baik dalam mencintai merasa bodoh untuk menjawab pertanyaannya. Lidya tahu aku tak punya jawaban atas pertanyaanya. Dilihatinya aku yang sedang termenung sibuk dengan pikiranku sendiri.

"Atau jangan-jangan, kita tahu arti cinta setelah menikah. Menemukan arti cinta yang sebenarnya. Kamu yakin apa yang dia lakukan ke kamu itu karena cinta?"

Aku diam, Lidya amat paham jika sudah seperti ini berarti aku ingin berbicara dengan diri sendiri. Suasana rumahnya semakin sunyi, suara kendaraan dan klakson terdengar berkejaran di luar. Ada cangkir teh semeja di antara dua perempuan yang keduanya sama-sama mempersilakan satu sama lain untuk berbicara dengan sunyi. 

***
Aku menatap lama sebuah pamflet di media sosial yang bertuliskan pembukaan pendaftaran pengabdian di pedalaman. Jauh dalam hati kecilku aku tertarik, tapi seandainya aku mendaftar berarti menabuh genderang perang kedua kalinya. Baru seminggu yang lalu pertengkaran sengitku dan Dimas berkobar seperti nyala api yang melalap kesabaranku. 

"Untuk apa membuang waktu demi orang lain yang tidak kamu kenal, dan bahkan kamu juga tidak digaji," katanya ketika aku menceritakan ingin mendaftar pengabdian di Lombok. Aku ingin merasakan kehangatan suku Sasak selama dua minggu dan melihat lebih dekat ketinggian Gunung Rinjani yang begitu pongahnya. ⁣Mengambil cuti kerja yang sudah lama tak kumanfaatkan. Menepi dari kebisingan kota. 

Hubunganku dengan Dimas sudah hitungan tahun meski belum genap menghabiskan sepuluh jari. Selama itu juga perasaanku mengakar kuat sampai aku menahan untuk mengalah, menuruti segala kemauannya. Tidak mengikuti promosi jabatan di kantor, tidak bergabung di komunitas sosial agar tidak menyita waktu katanya, dan yang kemarin membatalkan rencanaku mendaftar pengabdian. 

Katanya, nanti dia ingin aku menjadi ibu rumah tangga. Sehingga aku tidak perlu memiliki karir yang cemerlang, daripada nanti aku merasa sayang untuk meninggalkan pekerjaan setelah menikah, begitu alasannya. 

"Yasudah, kalau begitu, aku hanya ingin mengikuti kegiatan sosial."

Kupikir dia akan menyukai keinginanku, rupanya alasan kemanusiaan juga tak cukup meluluhkan hatinya. Aku merasa terkungkung hidup dalam penjaranya. 

Lidya benar apakah yang dia lakukan itu dibenarkan atas nama cinta? Suara-suara itu timbul dan hilang dari pikiranku. Sampai akhirnya aku memilih untuk menepi dari kebisingan suara Dimas yang lebih dominan mengatur hidupku. 

"Kamu harus tegas ambil keputusan, maumu apa lalu putuskan." ucap Lidya malam itu. 

"Han, menikah itu nggak hanya butuh cinta, tapi juga butuh orang yang setujuan. Kamu merasa Dimas setujuan sama kamu nggak?"

Ini masih belum menikah, bagaimana nanti? 

Berhari-hari aku berkelahi dengan batinku sendiri. Kucoba sisihkan perasaan-perasaan untuk Dimas. Menilik perjalanan ke belakang bersamanya. Dan aku merasa kehilangan diriku sendiri.

***
"Han, itu artinya kamu lolos?" Pesan whatsapp Lidya mendarat di ponselku setelah tiga menit lalu aku mengirim foto email yang kuterima dari yayasan sosial pendidikan nasional.

Berbulan-bulan aku bungkam tentang ini dari Dimas dan Lidya. Sibuk menyiapkan essai dan persyaratan seleksi lain tanpa mereka tahu. Setelah benar-benar lolos kali ini baru aku memberitahunya tanpa mengajak bertemu seperti yang pernah terjadi. Daripada hatiku goyah dan tunduk patuh karena tersihir dengan ucapan Dimas yang mengandung mantra hipnotis. 

"Iya lolos." Kubalas lalu bercentang biru dengan cepat. Kulihat di ujung sana Lidya sedang mengetik pesan.

"Boleh sama Dimas?"

"Kalau nggak boleh juga nggak apa-apa, dia bukan suamiku yang harus aku turuti kemauannnya."

"Kamu serius? Ini pengabdiannya setahun lho, Han."

Bersamaan dengan itu pesan Dimas masuk.

"Kalau kamu mau pergi, pergilah. Tapi bukan lagi aku yang menjadi tempat pulangmu."

Ada yang perih, tapi ini adalah konsekuensi atas hal yang aku kupilih. Keputusan mahal yang harus kubayar dengan mengorbankan hal besar. 

Selesai~

Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar

Mata Hana berbinar menceritakan lelaki yang baru saja mengajaknya makan siang. Aku menelan bahagia yang dicipta melalui ceritanya. Dulu aku juga pernah diperlakukan sedemikian manisnya. Seolah hanya aku perempuan yg paling dicinta. Tanpa harus bertanya pada teman kerjaku itu, aku sudah tahu tempat favorit lelaki itu untuk makan siang. Segelas minuman favorit apa yang tak absen dipesan untuk menuntaskan dahaganya. Menu pesanan apa yang tersuguh untuknya. ⁣

Tanpa memintanya bercerita, aku juga sudah hafal di sudut mall kota, lelaki itu suka menghabiskan waktu ketika weekend seperti anak-anak yang lepas dari jam sekolah. Namun, aku memilih untuk tidak menyela ceritanya. Kupasang telinga dan memasang air muka seolah aku tak pernah tahu apa-apa. Aku tak ingin perempuan berdagu lancip itu cemburu jika tahu aku lebih banyak tahu tentang lelakinya. Yang Hana tahu aku adalah teman kuliah lelaki itu. Aku bisa menebak jalan cerita mereka nanti seperti apa. Tapi kusimpan sendiri, karena aku tidak mau dianggap seperti cenayang.⁣

***⁣
Aku bisa merasakan hawa panas yang menyelubungi tubuhnya dan sendu yang menghiasi wajah Hana. Terbata-bata di sela sesenggukan, mulut tipis itu berulang kali menceritakan lelakinya. Membuka kenangan lama yg berhasil mengaduk-aduk perasaan. Meski tanpa harus selesai mendengarkan, aku sudah khatam perihal tentang lelaki itu. Lelaki yg paling pandai melakukan praktik pencurian hati, tapi juga lebih pandai memporak-porandakan perasaan. ⁣
Aku bisa tahu tanpa harus menyelidiki, lelaki itu meninggalkan Hana bkn karena kesibukan, tp ada hati lain yg lebih menarik untuk disinggahinya kesekian kali. Aku membisu mendengarkan ceritanya. ⁣

Berulang kali dia merutuki diri sendiri. Menyesali kenapa dulu begitu mudahnya menerima ajakan perkenalan dengan lelaki melalui media sosial. Diam-diam di belakangku mereka berpacaran. Separuh tahun lembaran tentang mereka baru dibuka kepadaku oleh Hana. Aku terperanjat, tapi kuperlihatkan bahwa aku baik-baik saja & turut bahagia. Meski sebenarnya detak jantungku tak beraturan ketika saat itu tahu lelaki yang diceritakannya adalah mantanku tnp dia ketahui sampai saat ini.

Selesai~

Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
"Ada tempat yang adem di kota panas ini." Satu pesan whatsapp darinya mendarat di ponselku. 

"Dimana?" Aku segera membalasnya. 

"Coba tebak dimana!" 

"Hmmm, entah."

"Pelabuhan."

"Oh ya? Aku belum pernah ke sana."

"Minggu depan kamu kuantar ke sana," janjinya. 

Untuk kesekian kali, dia menepati janjinya. Dan sore itu, di pelabuhan yang dia janjikan, aku dihadiahi senja. Meski pada awalnya senja bukanlah hal yang dia tawarkan untuk bisa kulihat. 

Orang-orang berebut memotret senja, aku duduk di sebelahnya sambil mengamati orang-orang dengan berbagai ekspresinya.

"Kamu nggak mau foto senja?"

"Cara orang menikmati senja itu berbagai macam, ada yang difoto, dijadikan puisi, atau hanya dilihat seperti aku ini."

"Foto aja gih, mumpung di sini. Bagus. Apalagi ada siluet banyak kapal sandar di bawah."

Aku menurut. Beberapa kali mencuri lekuk indahnya sebelum senja kembali ke peraduannya. 

***
"Foto senja di pelabuhan kemarin hilang." Aku mengirimkan pesan kepadanya. Panik. Lucu ya, merasa kehilangan pada apa yang awalnya tidak ingin kusimpan. Harusnya aku merasa biasa saja. 

"Bagaimana bisa?"

"Entah." 

"Kapan-kapan kuantar lagi ke sana." 

"Boleh."

Mungkin ini pertanda alam agar aku kembali lagi ke sana bersama dia. Menikmati langit kebiru-biruan dengan semburat kemerahan. Matahari hampir terbenam dengan kilau keemasan, terlihat seperti akan tenggelam ke permukaan laut. 

Tapi nyatanya, bukan hanya foto senja yang hilang. Seminggu kemudian dia telah lenyap seperti tertelan bumi. Tanpa kabar. Tidak ada lagi sapa atau tanya. Entah, dia kemana. Hilang tanpa ada jejak atau melambaikan tangan. Tak sempat bertanya kepadaku, apakah sudah siap tanpanya. 

Prasangkaku dulu salah. Foto senja yang hilang atau tak sengaja kubuang itu, sepertinya menjadi pertanda bahwa hal tentang dia tak perlu disimpan, cukup diingat menjadi bagian dalam hidupku. Dia memilih senja untuk menjadi akhir pertemuan kita. Matahari meninggalkan rupa-rupa manusia yang lelah bergelut dengan nasib seharian. Seperti halnya dia, meninggalkan aku yang masih berkelahi dengan diri sendiri tentang perasaan ini. 

Setiap kedatangan memberikan kita aba-aba untuk siap kehilangan. Meski kadang, petunjuk hidup yang ambigu membuat aku tak bisa membedakan mana tanda berhenti atau terus berjalan. Aku tak bisa sekadar menerka-nerka, mana bagian penutup dari kisah ini. Sampai akhirnya, dia pergi dan aku belum sempat berkemas-kemas. 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About Me

Foto saya
Anik's Blog
Hi, ini tempat pulangnya Anik. Berisi hal-hal random yang rasanya perlu ditulis.
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Tumblr

Member Of

1minggu1cerita

Categories

  • Blogwalking
  • Calon Ibu
  • FIKSI
  • Flashback
  • Kerelawanan
  • Obrolan Cermin
  • Review Ala-Ala
  • Sudut Pandang Pernikahan

Postingan Populer

  • Rezeki Tak Perlu Dicari
  • Hujan-Hujan di Bulan Juni
  • Inilah 5 Cara Bahagia Jadi Jofis (Jomblo Fi Sabilillah)
  • Menikah itu Bukan Sekadar untuk Memilikinya, tetapi Demi Menambah Kecintaan kepada-Nya
  • (Review) Pertanyaan Tentang Kedatangan

Blog Archive

  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Juli 2023 (2)
  • Agustus 2021 (1)
  • Juli 2021 (2)
  • September 2020 (2)
  • Agustus 2020 (4)
  • Juli 2020 (3)
  • Juni 2020 (7)
  • Mei 2020 (17)
  • April 2020 (4)
  • September 2019 (1)
  • Agustus 2019 (3)
  • Juli 2019 (9)
  • Juni 2019 (4)
  • Mei 2019 (3)
  • April 2019 (1)
  • Maret 2019 (7)
  • Februari 2019 (3)
  • Januari 2019 (3)
  • Oktober 2018 (6)
  • Maret 2018 (22)
  • Februari 2018 (14)
  • Agustus 2017 (7)
  • Juli 2017 (11)
  • Juni 2017 (11)
  • Mei 2017 (1)
  • April 2017 (5)
  • Maret 2017 (3)
  • Februari 2017 (4)
  • Januari 2017 (14)
  • Desember 2016 (12)
  • November 2016 (2)

Created with by ThemeXpose