Sepucuk Surat Merah Hati (20)
Suaraku
melengking keras saat jarum itu menusuk kulit. Tempat ini lebih layak disebut
tempat konveksi, dibandingkan rumah sakit. Di sini kulit manusia beda tipis
dengan potongan kain yang bisa ditusuk jarum berulang kali.
Para
wanita berseragam putih menjelma seperti malaikat berulang kali datang tanpa
iba membawa pil-pil pahit. Membawa nampan makanan yang nantinya akan jadi bahan
mainan para pasien.
Aku
hanya memandangi mereka dengan tatapan kosong. Tidak menyangka, tempat ini
menjadi bagian dari cerita hidup. Meski sebenarnya merutuki diri sendiri,
kenapa aku rela menjebloskan diri ke tempat ini, tetapi aku merasa lebih nyaman
di sini.
Aku
sudah lelah berpura-pura terlihat lapang dada. Itu malah membuat kepingan
hatiku semakin retak tak berdaya.
Aku
lelah melihat mama menangis di depan pintu kamarku menyuruh makan. Bahkan, mama
sempat kelimpungan mencarikan pengganti Dimas untukku.
Sampai
akhirnya aku menyerah, dan memutuskan memainkan skenario yang kurasa bisa
membuat lega. Dengan begini aku bisa menjauh dari segala hal tentang Dimas.
Aku
pura-pura menjadi gila. Semua baju yang tergantung di almari kugunting, tempat
tidur kuacak-acak, bahkan rambutku sendiri aku pangkas tak jelas. Aku
teriak-teriak seperti orang tak waras. Mama menjerit melihat keadaanku, tetapi sama
sekali tak kuhentikan aksi gila itu. Aku melompat-lompat di tempat tidur sambil
teriak kegirangan.
Sepertinya
aku telah menjadi gila layaknya mereka. Aku ikut tertawa saat mereka bermain
boneka seperti anak kecil, dan mendorong ranjang sampai membuat ruangan gaduh.
Aku
ikut kesal saat teman seruanganku mainannya diambil teman yang lain, atau
rambut panjangnya ditarik-tarik pasien lain.
Melihat
mereka menjadi obat dari rasa sakit yang pernah menyayat. Ada lubang di hati
ini yang masih menganga dan berulang kali memanggilku meminta diobati.
Biarlah,
di sini aku sudah bahagia. Sekalipun nanti aku disebut gila oleh orang lain.
Asal aku bahagia, dan bisa melupakan cerita pahit seperti pil yang sering
kutelan setiap hari, semuanya akan baik-baik saja.
Setiap
hari, ada wanita dewasa yang rajin menyambangiku. Memandangi dari balik pintu
kaca. Melihatku dengan deraian air mata. Dari gerakan bibirnya aku bisa tahu
apa yang dikatakannya, “Hanna pulang, Nak. Mama rindu.”
Aku tersenyum
getir melihatnya. Berpura-pura tak iba, padahal hatiku teriris melihat mama
menangisi. Aku berpura-pura tertawa gila melihat mama, padahal hatiku
bergemuruh sakit merasakan rasa pahit kehidupan ini.
To be continued!
2 komentar
Baguuus aniiik lanjuutkaaan
BalasHapus:o
BalasHapus