Sepucuk Surat Merah Hati (5)
Aku mendengar lagu let me love you
begitu nyaring. Mata masih tertutup dan kesadaranku belum penuh. Semakin lama
lagu itu membuat mata yang awalnya memberat kupaksakan terbuka pelan-pelan.
Aku baru sadar, suara itu datang dari ponsel di sebelah. Sudah terlalu lama
tidak ada yang menelepon, sampai aku lupa dengan nada dering ponsel sendiri.Kuraih
benda persegi panjang hitam itu. Kulihat di layar ponsel tertera namanya. Sontak
aku langsung duduk menenangkan degupan jantung yang tak beraturan.
“Good morning, Princess.”
“Kau darimana? Kenapa lama sekali tak menghubungiku? Apa sudah lupa
denganku?”
“Hei, kau kenapa? Bertahun-tahun aku baru mendengarmu secerewet ini seperti
sales MLM.”
“Apa kau bilang? Aku berminggu-minggu kau tinggalkan bersama kerinduan,
lalu kau mengataiku cerewet?”
“Oke, keep calm. Cepat mandi dan
aku akan mengantarmu kuliah.”
“Kau sudah pulang?”
“Menurutmu?”
“Okelah.”
Aku segera menutup teleponnya dan bergegas menuju kamar mandi dengan hati
riang. Mengguyur badan dengan air yang menyejukkan, lebih tepatnya hati yang
menyejukkan.
“Ma,
Hanna berangkat.” Aku berlari terburu-buru menghampiri mama yang ada di dapur. Mama
sedang memasak sesuatu aromanya seperti nasi goreng terasi kesukaanku.
Aku
menelan ludah berkali-kali melihat nasi kecoklatan di penggorengan, tetapi aku
sudah ditunggu Dimas di depan.
“Hanna
tidak sarapan?”
“Sarapan
di kampus aja, Ma,” jawabku sambil menyeruput wedang jeruk nipis di meja makan.
Setelah mencium tangan mama, aku berjalan cepat-cepat keluar rumah.
“Hanna.”
Langkah lebarku terhenti.
“Iya,
Ma.” Aku menoleh ke arah mama yang sedang mengenakan celemek merah.
“Ada
undangan dari Ayu untukmu kemarin malam. Mama letakkan di meja ruang tamu.” Aku
tersenyum lebar mendengarnya. Berarti sebentar lagi Ayu akan melepas masa
lajangnya. Ini adalah kabar terbaik yang pernah kudengar.
Dengan
terburu-buru aku menuju ruang tamu. Kulihat undangan berwarna putih dan amplop
merah hati di sampingnya. Di undangan itu tertera inisial nama Ayu dan suaminya
berwarna keperakan.
Kubuka
dengan kasar plastiknya. Aku tidak sabar. Kubaca langsung bagian tanggal
resepsi.
“Kemarin
kau sudah tidur, Ayu melarang mama membangunkanmu.” Suara Mama terdengar
sengaja dikeraskan dari dapur.
“Oh,
dia menikah seminggu lagi, Ma.”
“Ada
surat juga darinya untukmu.”
“Nanti
saja Hanna baca, Ma. Paling juga isinya curahan kebahagiaan dia.” Aku melangkahkan
kaki lagi ke depan rumah.
Aku
turun dari motornya, lalu pandangan kami bertaut sangat lama. Tidak ada dari
kami yang berbicara, dan aku merasa jengah dengan degup jantung yang mulai tak
beraturan.
Sudah
lama hatiku tak berdesir di depannya. Dengan menatapnya seperti ini, kerinduan
yang sudah menebal di dinding-dinding hatiku mulai runtuh.
Di
perjalanan rumah menuju kampus yang lumayan jauh tadi, dia bercerita banyak hal
tentang kegiatannya dua mingguan ini. Tentang laporan pekerjaan yang
memusingkan dan pertemuan-pertemuan yang agendanya mendadak.
Aku
bernapas lega. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan di antara kami. Aku selalu
menaruh kepercayaan kepadanya. Berjalan bersama-sama selama empat tahun ini
sudah merupakan bukti bahwa dia adalah lelaki yang cukup bisa kupercaya untuk
menjaga hati ini.
“Aku
harus berangkat kerja sekarang.”
Aku
tersenyum simpul melepas kepergiannya. Kutatap kepergiaannya sampai punggungnya
tak kulihat lagi. Aku melangkah menuju kelas. Entah, sudah berapa senyum yang
terlukis dari bibirku pagi ini. Mungkin orang yang melihatku juga akan ikut
tersenyum riang tertular kebahagiaan yang menyeruak.
To be continued!
5 komentar
Wow keren, alurnya bikin penasaran. Ada apa sih dengan ayu?
BalasHapusSepertinya masih lama deh cerbungnya...
Ditunggu anik
Iya, Mbak. Agak panjang kayaknya. Jangan bosan baca ya :)
HapusHehehehe. Tebak2 buah manggis. Tapi asli bikin penasaran!
BalasHapusAlhamdulilah ada yang penasaran :D
Hapuslanjuuut
BalasHapus