Sepucuk Surat Merah Hati (5)

by - 22.48

Aku mendengar lagu let me love you begitu nyaring. Mata masih tertutup dan kesadaranku belum penuh. Semakin lama lagu itu membuat mata yang awalnya memberat kupaksakan terbuka pelan-pelan.

Aku baru sadar, suara itu datang dari ponsel di sebelah. Sudah terlalu lama tidak ada yang menelepon, sampai aku lupa dengan nada dering ponsel sendiri.Kuraih benda persegi panjang hitam itu. Kulihat di layar ponsel tertera namanya. Sontak aku langsung duduk menenangkan degupan jantung yang tak beraturan.

Good morning, Princess.”

“Kau darimana? Kenapa lama sekali tak menghubungiku? Apa sudah lupa denganku?”

“Hei, kau kenapa? Bertahun-tahun aku baru mendengarmu secerewet ini seperti sales MLM.”

“Apa kau bilang? Aku berminggu-minggu kau tinggalkan bersama kerinduan, lalu kau mengataiku cerewet?”


“Oke, keep calm. Cepat mandi dan aku akan mengantarmu kuliah.”

“Kau sudah pulang?”

“Menurutmu?”

“Okelah.”

Aku segera menutup teleponnya dan bergegas menuju kamar mandi dengan hati riang. Mengguyur badan dengan air yang menyejukkan, lebih tepatnya hati yang menyejukkan.

“Ma, Hanna berangkat.” Aku berlari terburu-buru menghampiri mama yang ada di dapur. Mama sedang memasak sesuatu aromanya seperti nasi goreng terasi kesukaanku.

Aku menelan ludah berkali-kali melihat nasi kecoklatan di penggorengan, tetapi aku sudah ditunggu Dimas di depan.

“Hanna tidak sarapan?”

“Sarapan di kampus aja, Ma,” jawabku sambil menyeruput wedang jeruk nipis di meja makan. Setelah mencium tangan mama, aku berjalan cepat-cepat keluar rumah.

“Hanna.” Langkah lebarku terhenti.

“Iya, Ma.” Aku menoleh ke arah mama yang sedang mengenakan celemek merah.

“Ada undangan dari Ayu untukmu kemarin malam. Mama letakkan di meja ruang tamu.” Aku tersenyum lebar mendengarnya. Berarti sebentar lagi Ayu akan melepas masa lajangnya. Ini adalah kabar terbaik yang pernah kudengar.

Dengan terburu-buru aku menuju ruang tamu. Kulihat undangan berwarna putih dan amplop merah hati di sampingnya. Di undangan itu tertera inisial nama Ayu dan suaminya berwarna keperakan.

Kubuka dengan kasar plastiknya. Aku tidak sabar. Kubaca langsung bagian tanggal resepsi.

“Kemarin kau sudah tidur, Ayu melarang mama membangunkanmu.” Suara Mama terdengar sengaja dikeraskan dari dapur.

“Oh, dia menikah seminggu lagi, Ma.”

“Ada surat juga darinya untukmu.”

“Nanti saja Hanna baca, Ma. Paling juga isinya curahan kebahagiaan dia.” Aku melangkahkan kaki lagi ke depan rumah.

Aku turun dari motornya, lalu pandangan kami bertaut sangat lama. Tidak ada dari kami yang berbicara, dan aku merasa jengah dengan degup jantung yang mulai tak beraturan.

Sudah lama hatiku tak berdesir di depannya. Dengan menatapnya seperti ini, kerinduan yang sudah menebal di dinding-dinding hatiku mulai runtuh.

Di perjalanan rumah menuju kampus yang lumayan jauh tadi, dia bercerita banyak hal tentang kegiatannya dua mingguan ini. Tentang laporan pekerjaan yang memusingkan dan pertemuan-pertemuan yang agendanya mendadak.

Aku bernapas lega. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan di antara kami. Aku selalu menaruh kepercayaan kepadanya. Berjalan bersama-sama selama empat tahun ini sudah merupakan bukti bahwa dia adalah lelaki yang cukup bisa kupercaya untuk menjaga hati ini.

“Aku harus berangkat kerja sekarang.”


Aku tersenyum simpul melepas kepergiannya. Kutatap kepergiaannya sampai punggungnya tak kulihat lagi. Aku melangkah menuju kelas. Entah, sudah berapa senyum yang terlukis dari bibirku pagi ini. Mungkin orang yang melihatku juga akan ikut tersenyum riang tertular kebahagiaan yang menyeruak.

To be continued!

You May Also Like

5 komentar

  1. Wow keren, alurnya bikin penasaran. Ada apa sih dengan ayu?
    Sepertinya masih lama deh cerbungnya...
    Ditunggu anik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak. Agak panjang kayaknya. Jangan bosan baca ya :)

      Hapus
  2. Hehehehe. Tebak2 buah manggis. Tapi asli bikin penasaran!

    BalasHapus