Sepucuk Surat Merah Hati (4)
“Bagaimana kabar hubunganmu dengan Dimas?”
Mendengar namanya serasa perasaanku sedang diaduk-aduk. Ada potongan hati yang
terasa nyeri. Mungkin karena rindu inginkan temu, tetapi bagaimana lagi, jarak
dan waktu masih enggan untuk berdamai denganku dan Dimas.
“Kami baik-baik saja.” Aku merebahkan diri di samping Ayu. Lalu dia mengikuti.
“Sekarang aku sudah jarang melihat kalian berdua.”
“Hah? Darimana kau tahu? Bukankah akhir-akhir ini kau jarang bersamaku?”
Secepat kilat aku menoleh ke arahnya. Ayu masih sibuk menatapi langit-langit
kamarnya yang berplafon putih.
Kulihat dia menyunggingkan senyum.”Tetapi aku tetap tahu kalau kau jarang
diantar dan pulang bersamanya.”
“Diam-diam kau memata-mataiku?” Aku menimpuk bantal ke arahnya. Dia
menghindar sambil tertawa lepas.
Sungguh, mendengar tawanya yang menggema seperti ini membuatku lebih baik
dari sebelumnya.
Ah, Ayu. Seharusnya kau tahu, sedari tadi aku ikut merasakan perih yang kau
rasakan meski aku tak tahu alasannya. Tetapi kau menganggap, aku tak pernah
tahu apa yang kau rasakan.
“Dia tidak di sini sekarang?” Ayu bangkit dari tidurnya dan melangkah
mengambil bolu di meja lalu menarik kursi ke dekat tempatku berbaring. Dia
duduk manis sambil mengunyah bolu pandan kesukaannya.
“Dia ada di luar kota.” Aku menatap langit-langit. Seakan kulihat ada
bayangnya di atas sana.
“Kalian baik-baik saja?” tanya Ayu untuk kedua kalianya.
“Kita baik-baik saja. Tapi sudah dua mingguan ini dia sama sekali tak
menghubungiku.”
“Kenapa?” Kulihat kening Ayu berkerut.
Aku bangkit dari tidur. Dan duduk bersila di hadapannya. “Entahlah. Mungkin
dia memang sangat sibuk.”
“Kau tak khawatir terjadi apa-apa dengannya?”
Aku mengangkat muka. Memikirkan pertanyaan Ayu. Berusaha keras untuk
terlihat baik-baik saja.
Aku menghela napas sekali. “Iya. Tapi aku tahu Tuhan selalu menjaganya.”
“Bukan itu maksudku, Hanna.” Kulihat ada raut wajah khawatir di wajah Ayu.
“Lantas?”
“Jika ada sesuatu yang terjadi tentang hatinya.”
“Dia di sana bersama wanita lain begitu maksudmu?” Sesaat pandangan kami
bertaut.
“Mungkin saja,” jawab Ayu dengan nada ragu.
Aku tahu, inilah caranya mengungkapkan kerinduan padaku. Dia rindu saat
kita saling berbagi cerita dan tawa di setiap waktu. Aku tersenyum, tersentuh
mendengar nada kekhawatirannya.
Dia memang seperti itu. Terlalu banyak bertanya dan mengkhawatirkan banyak
hal. Bukan hanya tentang hidupku, tetapi juga hidupnya.
Dia pernah khawatir saat kakak lelakinya menikah dua tahun lalu. Takut jika
Kak Galang tidak lagi perhatian dengannya.
Bahkan, dia pernah takut menjadi perawan tua karena pernah disumpah
serampahi seorang cowok yang ditolaknya beberapa bulan lalu.
“Kita sudah dewasa. Dan kita tahu bagaimana cara menjaga hati masing-masing.”
Aku menutupi rasa khawatir yang dua mingguan ini menyinggahi sudut hatiku.
Sesaat Ayu diam, sibuk dengan pikirannya. Dia tak segera berucap. Aku dapat
melihat ekspresinya. Di satu sisi ada sesuatu yang ingin dia katakan padaku,
dan satu sisi sepertinya dia sedang menahan mengatakan apa pun yang ada di
pikirannya.
To be continued!
3 komentar
Next
BalasHapusAlways cool, isn't?😍
BalasHapuslanjuuut
BalasHapus