facebook twitter instagram Tumblr

Anik's Blog

"Sebenarnya kedatanganmu ke sini untuk apa?" tanya Anna sambil membetulkan letak kaca mata minusnya. Lalu dia mengunyah sate usus yang sudah tersaji di setiap meja. Aku melihatnya sekilas dari samping, terlihat lensa kaca matanya sudah menebal menandakan minusnya makin besar. 

Aku belum menjawab, masih ada sedotan yang menyumpal mulutku. "Mau ngobrol sama kamu aja, emang nggak boleh?" Aku meletakkan gelas es jeruk yang buliran embunnya menetes ke meja. Lalu menopang dagu dengan posisi duduk menyerong ke arahnya. 

"Masa sih? Kamu nggak lagi ada masalah, kan?" 

Aku tertawa. Dalam hati mengamini pertanyaannya. Tapi untuk kali ini, aku belum membuka bicara untuk menceritakan segala gundahku. Entah, berada di dekat Anna aku tak ingin cerita apa-apa. Padahal ini adalah waktu yang aku tunggu-tunggu untuk menceritakan segala isi kepalaku yang telah penuh. Tentang kisah cintaku yang rumit, ditambah orangtua yang mendesakku untuk segera menikah, keluarga yang mengataiku wanita lupa menikah, atau tetangga yang tanpa berdosannya meledekku ketika berpapasan di depan rumah. Kepada Anna, aku ingin memulangkan segala cerita ini. Entah kenapa, aku merasa ingin dan harus mengunjunginya sampai aku mengambil cuti kerja. 

"Nggak kok." Aku berbohong. Entah kenapa, aku belum juga ingin cerita. Padahal ini hari kelima di kotanya, yang berarti hari terakhir aku bersinggah. Tiket kereta pulangku bertanggalkan esok hari. Mungkin nanti malam aku akan cerita agar menjadi kesan terakhir yang manis dan penuh haru. 

Pesanan soto daging kami belum datang, ada banyak pembeli yang harus juga dilayani. Tempat makan ini bisa dikatakan sudah luas, tapi masih saja terasa sempit karena membludaknya para pembeli.

Beberapa hari aku sudah menghabiskan waktu bersama Anna dan suaminya. Mereka orang yang riuh dalam obrolan. Membicarakan banyak hal random mulai tentang pekarangan rumah sampai hal jauh sampai pluto. Sesepele tentang bangunan tua yang kami lewati atau perilaku orang-orang berkendara juga tumpah menjadi obrolan yang melebar kemana-mana. Melihat hal itu aku berpikir, tidak ada yang menjadi rahasia di pikiran mereka. Satu sama lain dipersilakan tahu apapun yang terbesit di benak mereka.

Anna adalah teman yang aku kenal setahun lalu di sebuah seminar kepenulisan di Surabaya. Perempuan asli Jogja yang saat itu sedang berkunjung ke rumah mertuanya lalu tertarik ikut sebuah seminar. Di sana kami berkenalan lalu bertukar kontak. Kita tidak terlalu sering berkomunikasi, tapi sekali saja kami terhubung melalui whatsapp pesan kami bisa panjang layaknya sebuah cerpen. Dari situlah keakraban kami terjalin. 

Setelah dua hari aku sampai Jogja dan main ke tempatnya, aku baru tahu banyak hal tentangnya. Dia terpilih menjadi manusia yang lahir di keluarga yg dilimpahi kekayaan. Dia tumbuh menjadi orang yang cerdas dan berhati bak ibu peri. Aku selalu suka dengan cara berpikir dan kelugasannya menjelaskan banyak hal kepadaku. Perempuan yang sudah melahap banyak buku. Sudah ada ratusan eksemplar buku berbagai topik di rumahnya. Aku melihat rak berjejer rapi di ruang khusus pada sudut rumahnya. Selama ini Anna memang tidak memperlihatkan kehidupannya kepadaku. Dia jarang bercerita tentang masalah pribadi, meski kita sudah terbilang akrab meski hanya riuh di dunia maya. Dia hanya sering berbagi tentang kegiatan menulisnya.

Ditambah lagi, dia bertakdir dengan laki-laki yang penuh dengan kasih sayang dan limpahan wawasan. Mereka berdua menjadi keluarga kecil yang bertumbuh dengan melakukan banyak hal kebaikan di yayasan sosial. Setelah mendengar banyak ceritanya beberapa hari ini aku berpikir ingin menjadi dia. Tinggal di rumah megah di sebuah perumahan bergengsi di Sleman dengan suami yang meneduhkan. Hidupnya penuh dengan limpahan kemudahan dan kenikmatan. 

Kemarin-kemarin, aku yang lebih sering menghubunginya terlebih dulu untuk bercerita berbagai macam bising di kepalaku yang membutuhkan tempat untuk diluapkan. Dengannya aku merasa teduh. 

Pesanan soto kami datang. Uapnya mengangkasa dan aroma rempahnya menguar menambah selera. Sambil menyuapkan sendok demi sendok nasi soto, kami mengobrolkan banyak hal. Sesekali aku melempar pandangan ke jalanan. Beruntung kami mendapat tempat duduk yang dekat dengan pintu masuk. Pandangan kami bisa leluasa melihat jalanan yang sedang padat-padatnya di perempatan lampu merah yang hanya berjarak 3 meter di depan tempat makan ini. Netraku menangkap seorang anak kecil sekitar usia tiga tahunan duduk di atas motor di tengah kedua orang yang mungkin itu adalah orangtuanya. Matanya hitam membulat. Sepertinya dia baru selesai dimandikan, terlihat dari wajahnya yang penuh dengan bedak putih yang sengaja tidak diratakan. Cemong memenuhi wajah menambah kesan gemas pada pipi gembilnya. 

Kedua ujung bibirku sedikit melengkungkan senyum yang tertahan. Suka melihat kelucuannya. Lalu aku mengedarkan pandangan ke kedua pasangan di sampingku, aku terkejut ketika mendapati suami Anna juga memandangi anak lucu itu. Kudapati Anna sibuk dengan nasi soto sambil sesekali mengecek ponsel. Suaminya tidak mengatakan apapun, terlihat jelas bahwa dia juga melempar senyum ke anak itu meski si anak tidak melihatnya. Ketidaktahuan istrinya dia manfaatkan untuk memandangi anak itu sepuasnya. 

Ternyata aku salah jika mengira semua hal di kepala mereka mudah tertumpah. Ternyata masih ada filter di nurani suami Anna untuk menyeleksi apa saja yang pantas dikatakan. Tanpa harus bertanya aku paham, kenapa laki-laki itu tidak menceritakan kelucuan anak itu kepada istrinya. Tidak selamanya yang menurut kita lucu itu menggemaskan, bisa jadi malah menimbulkan salah paham. Si suami mungkin saja khawatir kelucuan sore itu menjadi penabur perih pada kesedihan Anna yang masih menanti kehadiran buah hati. 

Aku menjadi teringat beberapa kali di pesan whatsapp Anna mengatakan, "Doakan aku segera dipercaya menjadi ibu ya, Dea!" Aku mengamininya.

Kupikir, perempuan yang selalu menjadi tempatku cerita itu adalah orang yang kuat. Dia bijak untuk menghadapi segala masalahnya. Ternyata aku terlalu cepat berasumsi. Melalui pesan singkat, aku tidak bisa melihat sorot mata dan air mukanya. Tidak bisa benar-benar paham bagaimana perasaannya ketika aku tidak mendengar langsung getar suaranya ketika bercerita. Kupikir kalimat mohon didoakan adalah kata-kata Anna yang sedang ingin menambahkan obrolan. Karena aku tidak melihat raut sendunya atau keluhan-keluhannya padaku. Kupikir, dia selama ini masih baik-baik saja. 

Beberapa hari bersama mereka, tidak pernah ada obrolan tentang anak di antara kita bertiga. Aku sangat menjaga hal itu, mungkin juga suaminya. Hanya pernah sekali Anna mengatakan ketika kita berada di mobil dalam perjalanan, "Puluhan komik di kamarku nanti buat anakku." Lalu suara dalam mobil hening. Aku dan suaminya mungkin sama-sama bingung memberi komentar dengan kalimat apa. 

Malam harinya aku dan Anna memiliki waktu berdua di ruang tamunya. Suaminya sedang sibuk mengerjakan proyek.

"Suamiku selama ini tidak pernah menuntut apa-apa. Aku boleh bekerja, boleh di rumah, boleh ikut kegiatan apapun. Bahkan, dia juga tidak memburu-buru untuk memiliki keturunan." Mengalir segala ceritanya. Dia mencuri napas sejenak, lalu melanjutkan kisahnya. 

"Beruntungnya aku, mertua dan keluarga juga tidak pernah mengatakan komentar miring tentang aku yang belum hamil. Tapi aku sering dihantui rasa bersalah karena terlalu sibuk bekerja. Sampai aku kepikiran untuk fokus saja menjadi ibu rumah tangga dan segera melakukan promil. Mungkin ini semua salahku karena sibuk berambisi berkegiatan di luar." Sejak saat itu, aku baru paham apa yang sebenarnya dia rasakan. Orang-orang di sekitarnya begitu baik, namun dirinya sendiri yang belum bisa menerima keadaannya. 

"Tapi di sisi lain, aku juga ingin melakukan banyak hal di yayasan tempatku bekerja. Aku senang berkegiatan di sana, bertemu banyak orang." 

Detik itu juga aku merasa bersalah, pernah merasa ingin menjadi orang lain yang hidupnya terlihat lebih beruntung. Padahal aku yang lupa, semua manusia lahir dengan sepaket nikmat dan ujiannya masing-masing. Seperti salah satu firman-Nya, Dan yang ada pada sisi Allah adalah yang lebih baik. 

Sekoper cerita yang telah kukemas tidak jadi kukeluarkan isinya. Untuk kali ini, aku melebarkan ruang dan telinga untuk Anna. Meluaskan hatiku untuk menampung segala ceritanya. Semua orang sedang menanti pada versi takdirnya masing-masing. Aku menanti jodoh, Anna menanti keturunan. Pantas saja jika kemarin-kemarin kaki dan hatiku rasanya ingin segera mengunjunginya, ternyata melihat mata Anna membasah malam ini adalah jawabannya. 


Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar
"Apa rencanamu setelah ini, Nik?" Seorang teman bertanya. Izza namanya, salah satu temanku di organisasi relawan. 

"Za, sebenarnya aku pengen bikin-bikin sesuatu. Project apa gitu. Tapi aku merasa sendiri, belum menemukan teman yang pas untuk jadi partner." 

Ketika mengobrol ini, aku sudah lulus kuliah dan tahun lalu menyempatkan diri main ke Jember, kota perantauanku. 

"Memangnya kenapa kalau sendiri?" Izza bertanya dengan nada dan raut wajah seriusnya. Kulihati wajahnya yang tidak dipoles riasan apapun. Ada sesuatu yang berbeda, oh frame kacamatanya baru.

"Aku perlu dikuatin orang, Za. Aku nggak bisa jalanin apa-apa sendiri. Memulai hal baru sendiri. Butuh ditemani dan apapun itu kalau mikirnya bareng-bareng pasti lebih ringan."

"Tapi, diri kamu sendiri sudah kuat belum?"

"Aku merasa nggak kuat maka dari itu aku nyari partner untuk menguatkan."

Suasana kedai mie jamur saat itu masih sepi, belum ada teman lain yang berdatangan. Izza datang lebih awal bersamaku. Mereka sengaja mengadakan pertemuan di tempat langganan kami biasa rapat karena kedatangannku.

"Anik, kamu nggak bisa sepenuhnya meminta kekuatan dari orang lain. Setiap orang kan punya sisi lemahnya masing-masing. Sebaiknya kita jangan bergantung kepada partner, harusnya diri kita sendiri yang perlu dikuatkan agar bisa saling mengisi."

"Ya maksud aku bersinergi gitu, Za." 

"Tapi yang perlu ditekankan di sini adalah keinginan kamu untuk dikuatkan dan ditemani. Jangan menunggu orang lain yang menguatkan. Mulai dari menguatkan dirimu sendiri."

Obrolan di atas membuat kepalaku bising akhir-akhir ini. Lagi-lagi aku ada di titik ingin ditemani dan dikuatkan. Pikiran itu hilang timbul, wajar ya karena aku masih dalam masa-masa penatian. Bukan lagi hanya untuk membuat project kebaikan, tapi juga menyatukan visi misi menjadi keluarga; menikah. 

Kadang aku berpikiran, ketika menikah akan lebih leluasa mengobrol dan berdiskusi apapun dengan seseorang. Merencanakan banyak project dengannya. Ketika aku down ada yang menguatkan. Tapi makin ke sini aku menyadari, ada yang salah dengan cara berpikirku. Selain karena obrolanku dengan Izza, juga karena apa kata Kale di film NKCTHI yang bagi orang-orang fakboy. "Bahagia itu tanggung jawab kita masing-masing." Begitu kata Kale. Seperti halnya berdamai  dengan diri sendiri, menjadi kuat, semua adalah tanggung jawab diri kita sendiri.

"Siapa tahu jodohmu belum datang karena masih diperbaiki kualitasnya sama Allah agar dia tepat seperti apa yang kamu butuhkan. Atau bisa jadi, kebalikannya. Kamu yang sedang diperbaiki atau dua-duanya," ucap seorang teman saat aku sedang merasa kebingungan, dimana harusnya aku mendapatkan jodoh. Ini kedengarannya konyol ya. Hm. Tapi kalau dipikir, seandainya Allah sudah mempertemukan aku dengan orang tersebut, apakah aku sendiri sudah bisa menjadi partner yang baik untuknya? Kalo lagi ngaca, jadi makin sadar, Anik belum banyak bisa apa-apa. Belajar terus, belajar untuk memantaskan diri, ya, Nik! 

Melihat Hawariyyun dan Dena Haura, Mbak @alia.aryo dengan suaminya, Kurniawan Gunadi dan istri aku merasa rumah tangga mereka adalah keluarga yang bertumbuh. Support satu sama lain untuk belajar dan memberi manfaat untuk sesama. Keduanya saling mengisi, bukan hanya salah satu pihak yang dikuatkan. Ada rasa takut yang menyusup, bisa nggak ya aku punya rumah tangga seperti mereka, yang terus belajar bertumbuh dan memberi arti untuk sekitar.

Aku sempat bertanya-tanya, dimana harusnya aku mencari jodoh yang setujuan, bisa dijadikan partner untuk berpikir dan diskusi. Di dunia nyata, aku belum menemukan laki-laki seperti ini. Bisa jadi, mungkin lingkaran pergaulanku belum luas sehingga yang kukenal orang itu-itu saja. Sudah pernah mencoba ikhtiar taaruf, tapi ya belum berjodoh. Sampai akhirnya kupikir, Allah masih memberiku waktu belajar lagi.

Aku mencoba meluaskan pergaulanku dan belajar banyak hal. Mungkin nanti entah di titik atau persimpangan mana akan dipertemukan dengan orang yang setujuan. Entah kapan nanti, dengan cara yang mengagumkan menurut Allah pastinya. 

Mas, banyak yang memburu-burumu untuk segera datang. Tapi Allah yang lebih tahu kapan waktu terbaik untuk kita bertemu. :')

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Hallo, terima kasih sudah mampir di blog ini. Aku tahu pengunjung di blog ini tidak terlalu banyak dan random stranger. 

Seperti judulnya, aku sedang mencari sahabat pena. Siapapun yang mau bersahabat pena denganku bisa mengirimkan email ke cahyanix@gmail.com. Kalian boleh menggunakan second email yang tidak menunjukkan nama kalian. Boleh bercerita apa saja sesuka kalian, rahasia apa pun tanpa perlu menunjukkan identitas jika enggan. Bercerita sepanjang apa pun pasti akan kubaca, tapi ya jangan sepanjang novel lah ya. Trust me, aku akan menjaga cerita-cerita kalian sekalipun misalnya kalian berani menunjukkan identitas. Tidak ada batas waktu, kapan pun kalian menemukan tulisan ini, boleh mengirimkan email. Jika pun sudah mengirim email, kalian boleh memutuskan untuk tidak membalas emailku kapan pun jika sudah merasa tidak ingin lagi. 

Jika ada yang bertanya, kenapa aku sampai mencari sahabat pena, jawabannya karena aku ingin mempunyai teman ngobrol. Btw, aku bukan orang yang wise atau lulusan psikologi. Hanya seseorang yang suka mendengar cerita orang lain. Aku hanya bisa menjadi teman kalian berbagi agar kalian mempunyai teman untuk menceritakan apa yang menyesakkan. Jangan berekspektasi aku bisa memberikan solusi yang mujarab atau kelegaan.  

Aku pernah menggunakan aplikasi slowly untuk mendapatkan sahabat pena dari dalam dan luar negeri. Tapi ternyata tidak semudah itu. Stranger random yang aku kenal di sana beberapa ada yang hanya mengirim surat-surat pendek, ada juga karena kesibukan tidak lagi membalas surat, sehingga aku memutuskan untuk menghapus akunku. 

Pernah sempat akan berkirim surat melalui pos dengan seorang teman yang aku kenal di tumblr, tapi karena suatu hal sampai berganti tahun dia tidak sempat mengirim ke aku. Mungkin nanti lain kali jika kita sudah akrab boleh lah ya pake surat pos. 

Aku ingin mencari orang yang benar-benar serius untuk bercerita, bukan orang yang hanya iseng untuk berkenalan. Jika ada surat masuk yang hanya iseng saja, maka aku tidak akan membalasnya. Sekali lagi, aku bukan siapa-siapa. Hanya orang yang suka mendengar. 

Semakin ke sini aku makin sedikit memiliki waktu untuk bisa mengobrol berkualitas dengan teman. Oleh karena itu, ini upayaku untuk bisa mengobrol dengan siapa pun agar lebih kenal sudut pandang baru. Btw, surat yang sudah dikirim akan kubalas jika ada waktu senggang. Jadi, tidak bisa secepat aku membalas chatting. 

Terima kasih :)
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Sebelum new normal, aku sempat mendengarkan podcast Iqbal Hariadi tentang skill apa yang harus kita miliki ketika new normal sudah diberlakukan. Ada 4 skill yaitu personal branding, belajar online, bekerja jarak jauh, dan satu lagi aku lupa. Hal yang ingin aku bahas adalah kemampuan belajar online. Bagi orang-orang mungkin terkesan aneh. Belajar online itu tinggal duduk manis di depan layar laptop atau ponsel dan memperhatikan materi. Semudah itu, semua orang pasti bisa melakukannya. Tapi ternyata untuk diriku dan mungkin beberapa orang di luar sana merasa tidak semudah itu ferguso. Contoh kecilnya adalah satu dari sekian banyak podcast hanya pada Iqbal pilihanku bertahan. Uhuy haha karena Iqbal pembawaannya nyantai dan memberi insight baru. Aku download spotify hanya untuk mendengarkan podcast Iqbal seorang. Meski banyak podcast lain yang kata orang menarik, entah aku belum tertarik. Kadang pun dengerin podcast Iqbal juga nggak sampai akhir kalau sudah bosen. Aku paling tidak bisa fokus lama-lama jika online. That's why aku juga tidak suka menerima telepon atau chatting lama-lama. Bosen. Mending kita ketemu pesen minum ngobrol seharian tanpa pegang hp. Aseeeli aku bakal betah. Ett, kita, kita sama siapa nih. Wkwkwk

Jadi gini, sebelum adanya pandemi ini aku sudah tidak asing dengan namanya kulwap (Kuliah whatsapp), webinar, atau kelas online macam lain. Aku beberapa kali ikut kelas online semacam ini jauh-jauh tahun sebelum kita kenal corona, misalnya kelas menulis, parenting, motivasi, masalah anak stunting, memilih sekolah terbaik untuk anak, atau bahkan kelas gizi anak. Masih single tapi udah kemaruk belajarnya macam-macam. Teman di dalam grup adalah emak-emak. Ketika memperkenalkan diri, kadang hanya aku yang masih single, kalau beruntung ada beberapa singlelillah lain di dalamnya. Pernah beberapa kali ikut yang berbayar, tapi seringnya yang gratisan. Hahaaa. 

Aku pernah ikut kelas Bengkel Diri milik Ummu Balqis. Kelas yang jadi dambaan banyak gadis dan para emak. Karena pemberi materinya adalah orang yang diidolakan banyak perempuan. Membaca banyak testimoni tentang kelas ini di instagram kebanyakan bagus-bagus. Yaiyalahh Maemunah, kalau testimoni buruk mana mungkin diposting. Wkwk Aku terpengaruh dan menjadi tertarik untuk ikut dengan harapan dapat ilmu untuk memperbaiki diri. *uhuk

Tapi ternyata, setelah mengikuti banyak grup gratisan dan beberapa kelas online yang berbayar aku jadi sadar kelas online tidak cocok untuk diriku yang suka goleran di kasur sambil mendengarkan materi. Ketiduran, bosen lama-lama nyimak materi akhirnya main instagram lalu chat numpuk males buka. Btw, dulu memang belum musimnya orang pakai Zoom, Kaigi, Google Meet, atau aplikasi meeting lain. Masih menggunakan via suara di whatsapp atau medsos lain. Aku lebih suka bertemu tatap muka, mendengarkan secara langsung, dan memperhatikan gerak-gerik pemateri. Rasanya seperti tenggelam pada obrolan meski aku hanya diam. Beberapa lalu ditawari teman ikut kelas onlinenya yang gratis. Aku tidak mau. Gratis pun percuma kalau hanya meramaikan ponsel buang-buang kuota dan aku tidak menyimak.

Pada bulan Februari lalu aku sempat mendaftar kelas pranikah lagi. Jangan diketawain ya ikut kelas beginian. Haha kali ini offline maka dari itu aku tertarik. Ehh ternyata, ketabrak corona sehingga kelas harus online. Kesel pas itu, kesel banget uring-uringan. Aku memaksa diri untuk ikut kelasnya, tapi tetap saja bosan. Sampai 10 kelas berakhir aku hanya sedikit mengikuti materi. Hari Ahad pekan ini semua tugas harus dikumpulkan dan aku masih mengerjakan dua atau tiga saja. Malas mengerjakan tugasnya karena memang sudah nggak excited. Tapi kalo nggak diseriusi kok sayang banget sudah bayar.  Rasanya hanya buang-buang uang. Ohya, ada satu hal lagi yang membuat aku tidak excited yaitu pematerinya. Aku tidak mendapat hal baru dari para pematerinya. Dari awal nyimak ternyata materinya adalah hal-hal yang bisa dipelajari dari buku atau bahkan internet. Hal yang sudah biasa dibahas. Padahal kupikir dengan ikut kelas berbayar seperti ini akan mendapatkan penyegaran materi yang berbeda dari lainnya. Nominalnya juga lumayan lho padahal. 

Apalagi panitia dari kelas ini adalah teman kerjaku sendiri. Ngerasa sungkan, nggak enak hati kalau sampai aku tidak mengerjakan tugas sama sekali. Lengkap sudah rasanya ke-setengah hati-an ini. Wkwk

Mulai malam ini aku mencoba menata niat meski masih belum terkumpul seperempat untuk mengerjakan tugas dan mendengarkan serta menyimak materi yang sudah ada di grup dari awal. Meski berat rasanya seperti bawa batu bata. Yasudahlah, aku kerjakan entah sampai pada titik mana nanti. 
Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar
Newer Posts
Older Posts

About Me

Foto saya
Anik's Blog
Hi, ini tempat pulangnya Anik. Berisi hal-hal random yang rasanya perlu ditulis.
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Tumblr

Member Of

1minggu1cerita

Categories

  • Blogwalking
  • Calon Ibu
  • FIKSI
  • Flashback
  • Kerelawanan
  • Obrolan Cermin
  • Review Ala-Ala
  • Sudut Pandang Pernikahan

Postingan Populer

  • Teman Hijrah yang Nyaman dan Elegan: Rosmala Comfort Syar'i
  • RIP Tumblr!
  • Balada Gadis Introvert
  • Hanya Jembatan
  • Andaikan Media Sosial Tanpa Status

Blog Archive

  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Juli 2023 (2)
  • Agustus 2021 (1)
  • Juli 2021 (2)
  • September 2020 (2)
  • Agustus 2020 (4)
  • Juli 2020 (3)
  • Juni 2020 (7)
  • Mei 2020 (17)
  • April 2020 (4)
  • September 2019 (1)
  • Agustus 2019 (3)
  • Juli 2019 (9)
  • Juni 2019 (4)
  • Mei 2019 (3)
  • April 2019 (1)
  • Maret 2019 (7)
  • Februari 2019 (3)
  • Januari 2019 (3)
  • Oktober 2018 (6)
  • Maret 2018 (22)
  • Februari 2018 (14)
  • Agustus 2017 (7)
  • Juli 2017 (11)
  • Juni 2017 (11)
  • Mei 2017 (1)
  • April 2017 (5)
  • Maret 2017 (3)
  • Februari 2017 (4)
  • Januari 2017 (14)
  • Desember 2016 (12)
  • November 2016 (2)

Created with by ThemeXpose