Pencapaian Diri

by - 18.41

Tidak bisa dipungkiri, rasanya stalking dari dulu adalah hobi. Apalagi stalking orang lain yang pencapaiannya lebih banyak, pemikirannya lebih bertumbuh, atau keadaan hidupnya banyak yang berubah. Padahal sudah tahu stalking adalah salah satu hal yang membuat pikiran tidak sehat, tapi jempol rasanya makin lihai saja melakukannya. Tidak sebanding dengan hati yang berbisik bilang, ini hanya media sosial yang keindahannya bisa dimanipulasi, kehidupan paripurna ada pada kenyataan masing-masing. 

Sudah tahu usia makin menua, buku self improvement juga banyak dilahap, pikiran kian hari kian berpikir lebih dalam, tapi nafsu sering menggerogoti pertahanan. Keadaan psikis sudah jauh-jauh hari ditata sedemikian rupa agar bisa menikmati hidup, menerima keadaan dan diri sendiri. Tapi runtuh begitu saja karena stalking yang cuma beberapa menit. Sialnya, kenapa instagram gemerlapnya bikin silau? Nggak bikin hati makin terang, tapi makin keruh karena penyakit hati. Hmm, bukan salah instagram, lebih tepatnya hatiku aja yang nggak pandai dikondisikan. 

Tapi ada satu stalking yang rasanya selalu bisa charger amunisi diri untuk fresh lagi, yaitu stalking diri sendiri. Sering gitu kangen dengan diriku yang telah lama, lalu lihat tulisan yang telah lewat. Ada juga orang yang suka lihat foto lawas, kalau aku sih tulisan. Rasanya tulisan itu bilang, nih dulu tu kamu bisa nulis sepanjang dan sedetail ini. Terus berakhir aku berpikir panjang di pojokan kamar, kenapa sekarang rasanya nggak makin produktif, tapi makin bergelung dengan kemalasan. Apa karena pikiran yang makin kompleks menjerat diri sehingga sulit diajak beranjak. Melihat teman yang lain makin produktif menulis, nerbitin buku, jadi blogger, wirausaha, trus rasanya pengen neriakin diri sendiri, "Kamu sudah jadi apa?" Kenapa rasanya kok nggak terlalu banyak yang berubah dari aku.

Sepertinya bulan lalu aku ingat terakhir nongkrong sama teman sebelum corona menahanku di rumah. Pas lagi santainya menikmati matcha dan cireng ala cafe yang enak dan pengen kucoba lagi tapi belum bisa. Seseorang di depanku tiba-tiba nyeletuk, "Kamu ngerasa nggak sih kalau kamu tuh makin beda." Cireng di mulutku rasanya nggak mau ditelan saat itu juga. Aku pura-pura biasa saja, padahal aslinya jantung nggak beraturan kira-kira mau bilang, "Apaan nih maksudnya?"

"Dulu tu kamu bukan orang yang enak diajak ngobrol karena sibuk main hp, kalo dibilangin nggak mau denger, suka ngambek nggak jelas, yah pokok ada beberapa lagi lah yang bikin orang emosi. Tapi sekarang kamu jadi Anik yang makin hari makin dewasa."

Aduhai, melambung nian aku dibuatnya. Tapi nggak begitu lama, karena apapun yang dia katakan aku tetap merasa jadi orang yang kekanak-kanakan, belum ada baik-baiknya. Cuma kujawab, "Masa sih?" Terus cengegesan sambil pikiranku melompat jauh ke belakang. Pas kuingat-ingat, iya juga ya tapi aku kok nggak sadar. Mungkin karena aku jarang mengevaluasi diriku sendiri. Hm iya, aku memang belum menjadi baik, tapi makin membaik.

Lalu suatu ketika di tengah obrolan via whatsapp ada seorang teman maya yang kira-kira sudah empat tahunan berteman denganku. Dia juga nyeletuk begitu saja, "Kamu tuh makin dewasa, ya." Mataku membulat membacanya seakan bilang, "Apaan lagi nih?"

Pura-pura biasa lalu mengetikkan balasan, "Dewasa gimana maksudnya?" Dia membalas, "Ya dewasa, masa sih nggak ngrasa." Secepatnya aku membalas, "Tapi makin ke sini aku memang merasa ada yang berbeda sih." 

Aku tidak sedang ingin membicarakan aku yang makin dewasa atau apa. Cuma terharu ternyata ada orang-orang yang tetap stay sebagaimana pun aku. Senyebelin apapun aku, annoying banget, bahkan memuakkan sekalipun. Aku sebenarnya nggak tahu alasan mereka apa. Ketika aku tanya, "Kamu kenapa tetap mau bertahan temenan sama aku?" Ada yang jawab, karena aku pendengar yang baik, enak diajak ngobrol, paling ngertiin, selalu ngingetin tentang Allah. Masyaallah, duhai manusia, andai kalian tahu aibku tak akan pernah sudi kiranya kenal dengan manusia hina macam aku ini. 

Banyak proses di hidup ini terlewati yang membuat aku sering takut menjalani. Tapi setiap zamannya Allah selalu mempertemukan aku dengan orang-orang baik yang mau menemani prosesku. Dari mulai Anik yang dulu kanak-kanak banget sekarang udah naik tingkat dikit. Segala hal mereka jadi saksi tanpa menghakimi. Seakan memberiku kepercayaan bahwa aku bisa belajar menjadi baik.

Diem-diem inget hal ini jadi ngasih insight ke aku, pencapaian itu tidak harus tentang juara, berkunjung ke tempat yg recommended, duduk di jabatan mentereng. Tapi ketika aku sering melakukan perjalanan lebih dalam ke diriku sendiri juga merupakan pencapaian yang jarang kusadari dan bahkan nggak bisa diketahui orang-orang. Perjalanan mendalam ke  diri sendiri yang bisa membuat kita banyak berpikir dan berubah lebih baik.

Mungkin aku yang terlalu memberi standar pencapaian pada hal-hal yang semu sehingga melihat kesemuan orang lain rasanya langsung silau.  Toh perjalanan dan pencapaian diri kita nggak perlu diketahui orang lain. Nggak perlu disuguhkan di media sosial. Aku kurang sabar dengan proses diriku sendiri sampai akhirnya aku juga sering nggak bisa menerima proses orang lain. Nuntut orang lain seperti ini dan itu. Aku nggak tahu diri sekali. Tanpa peran orang-orang yang menerima prosesku nggak mungkin aku tetap punya orang-orang support system seperti mereka.

Wahai hati, pandai-pandailah menerima diri sendiri. :)

You May Also Like

0 komentar