Membangun Rumah

by - 18.57

Terlepas dari banyak kerugian yang kita rasakan karena ada pandemi Covid-19, ada hal baik juga yang aku rasakan. Blog ini jadi terisi karena aku sering nulis di sini. Kegiatan keluar rumah dibatasi. Bosen, pengen ngobrol, main, ke kajian, nggak keturutan jadinya uring-uringan sendiri. Ada banyak hal yang memenuhi kepala, ada berbagai cerita yang mengendap, ada rindu yang belum tertuntaskan. Wkwkw

Ada teman yang bilang, "Anik sekarang jadi rajin nulis." 

Aku malu, pengen sembunyi di pojokan. Wkwk Ini sebenarnya bukan rajin, tapi karena diharuskan di rumah aku jadi mencari kesibukan. Kebetulan banyak sekali hal terlewat tapi belum sempat ditulis. Makanya beberapa tulisan di sini aku cerita tentang hal-hal yang terjadi sudah lama lalu. Aku tu kangeeeeeen banget ngobrol, dengerin dan cerita ke orang. Karena belum kesampaian, akhirnya di blog ini aku cerita. Meluapkan segala yang penuh di kepala. Lalu aku share tulisanku di whatsapp, tidak makin lega, entah kenapa setiap aku buat postingan apapun di status wa selalu takut. Beberapa menit kemudian aku hapus. Entah aura di wa itu beda, mungkin karena di sana kebanyakan orang yang kenal aku. Akhirnya mulai kemarin aku memilih nggak share apapun di wa, beralih di twitter. Tulisanku di instagram dan tumblr juga kubiarkan di sana. Padahal aku pengen tulisanku dibaca orang yg aku kenal agar bermanfaatnya sampai ke mereka, ah apaan sih orang tulisan curhatan. Wkwk

Semenjak corona masuk ke Indonesia, kuakui aku takut, pasti semua orang lah ya. Tapi akhir-akhir ini ketakutanku semakin menjadi-jadi. Kalau dilihat-lihat  kebijakan pemerintah Indonesia mengarah ke herd immunity. Mau tidak mau, suka tidak suka kita akan berdampingan dengan pandemi ini. Seolah aktivitas biasa, padahal ada kekhawatiran yang bercokol. Setiap ke luar rumah melihat segalanya seperti monster. Dari kita semua kemungkinan akan kena. Ketakutanku ini beralasan, karena paru-paruku sudah dalam tidak keadaan baik. Nggak kena corona aja udah ngos-ngosan naik tangga, apalagi kalau kena corona sesusah apa bernapasku, gitu pikirku. Menurut penjelasan yang aku dapat dari sumber lain dan Direktur Rumah Sakit dr. Iskak Tulungagung (klik aja linknya, untuk nonton youtube-nya). Orang-orang yang mempunyai riwayat sakit paru-paru, diabetes, dan penyakit parah lain, potensi kematiannya 79%. Aku tahu itu hanyalah hitung-hitungan manusia. Usia dan riwayat penyakit bukanlah syarat kematian. Sekalipun misalnya aku tinggal di negara yang fasilitas kesehatannya bagus, jika takdir hidupku sudah selesai, maka tetap "berpulanglah" aku. Sekalipun pandemi ini tidak ada, juga tak menjamin aku akan hidup selamanya. Mengisolasi diri di kamar berbulan-bulan, juga tak menjamin aku tetap bisa hidup kapan pun semauku. Harusnya kita menyiapkan sebaik-baiknya, bukan hanya takut kebingungan sendiri.

Aku jadi ingat sewaktu mau berangkat jadi relawan di Palu, ibuk melarang beralasan khawatir dengan keselamatanku. Apalagi melihat betapa ricuhnya suasana di sana. Aku bilang ke beliau, "Buk, kalau pun aku nggak jadi berangkat, kalau aku ditakdirkan celaka karena sesuatu yang lain, maka aku akan tetap celaka. Orang-orang sana yang lebih butuhin aku. Berangkat dengan niat baik, pasti akan dijaga Allah." Atas rayuan bapak, ibuk merelakan aku berangkat. Kecemasan beliau tidak sampai di situ saja, sehari sampai sana ada kabar pesawat Lion jatuh. Beliau kepikiran, aku menenangkan bahwa aku di sana baik-baik saja. Ada-ada saja sih, naik Garuda sekalipun kalau ditakdirkan jatuh ya tetap jatuh. Hmmm.

Dua hari lalu pas rebahan di depan TV sama ibuk, kita dengerin ceramah ustadz di stasiun TV lokal. Beliau bilang, "Orang-orang selama ini memindset kematian adalah hal yang menakutkan, padahal kematian itu ibarat orang yang menerima gaji setelah bekerja harusnya menjadi hal yang kita tunggu. Kita akan bertemu Allah. Makanya, sebelum dijemput pulang ke sana kita harus menyiapkan bekal keimanan untuk menemani kita."

Setelah itu aku ngobrol sama ibuk, "Iyaya, Buk. Harusnya kita senang kalau waktunya 'pulang ke kampung halaman'."

Ibuk jawab, "Ya karena seringnya kita tergiur dengan godaan dunia, belum persiapan apa-apa untuk tinggal di sana."

Dari pandemi ini aku juga jadi makin sadar, apa arti hidup ini. Ada yang begitu rakusnya menimbun barang padahal ada banyak orang menangis bingung mau makan apa, menggunakan perlengkapan medis untuk diri sendiri padahal pihak medis lebih butuh. Aku jengah cuma duduk di rumah melihat keegoisan orang-orang, aku nggak bisa cuma jadi penonton atas hal besar yang terjadi ini. Aku nggak mau terus-terusan jadi objek, aku mau jadi subjek. Dan kulakukan hal kecil sebisaku. Setidaknya ketika aku "berpulang", aku tidak sedang diam saja, ada hal yang kulakukan meski tidak ada apa-apa dibandingkan banyak orang yang lebih berperan. 

Sampai akhirnya aku berpikir, kalau seandainya benar karena corona ini aku "berpulang", hal apa yang bisa kutinggalkan untuk orang-orang di sekelilingku. Aku tidak punya banyak harta untuk meringankan beban mereka, tidak punya banyak ilmu untuk kutularkan. Aku hanya punya kemampuan mendengar dan menulis yang tidak seberapa ini. Di rumah, biasanya hanya 30% waktuku mendengarkan ibuk berbicara apapun karena aku sering kegiatan di luar rumah, sekarang kuberi waktuku lebih banyak untuk keluarga. Aku jadi merasa sedih, kalau keberadaanku selama ini di samping mereka hanya sekadar ada, tidak berarti. Aku Ingin smileeee menebar kebahagiaan untuk orang-orang serapuh apapun keadaanku. Mungkin aku bisa jadi penghibur lara orang-orang dengan tawa recehku. Aku ingin mendengar lebih banyak orang, ingin mereka merasa ditemani dan berarti. Menyembuhkan sedikit kesepian mereka yang butuh kuisi. Meski aku sendiri butuh didengarkan, kadang ada perasaan "ini aku juga manusia nih. Butuh didengerin juga aku nih." Tapi kupikir, gapapa aku masih bisa kuat sendirian, aku masih bisa minta ditemenin dan didengerin Allah di sela waktu sholatku. Di luar sana ada banyak orang yang kehilangan semangat hidup, merasa payah sendirian. Aku mau mereka tahu, masih ada aku yang ada buat mereka. Aku berterima kasih kepada Allah, menuntun beberapa orang untuk datang di hidupku membawa segudang ceritanya lalu bisa kudengarkan sebisaku. Meski aku belum melakukan yang terbaik untuk mereka, aku berusaha menjadi yang baik. Hmmmmmm, meski aku masih sering banyak khilafnya. :((

Untuk orang-orang yang datang untuk didengar, butuh teman kesepian atau teman ngobrol, dan membawa niat apapun datang di hidupku kecuali niat jahat sih, aku tetap membuka tangan. Aku tidak pernah tahu di hidup siapa aku menjadi berarti, hati mana yang bisa kubahagiakan. Aku hanya ingin melakukan sekecil apapun yang aku bisa. 

Dan yang aku punya adalah rumah ini, blog ini. Tempat yang dulu kubuat cuma untuk nulis cerita karena selama ini aku jarang nemu orang yang bener-bener bisa mendengar. Tempat untuk menyimpan banyak hal untuk nanti dibaca anak-anak dan suami. Tapi fungsi dari tempat ini jadi berubah. Cerita yang kutulis iseng, tapi beberapa orang merasa perasaannya terwakili dan merasa disadarkan pada hal kecil yang aku tulis di sini. Oh, kalau begitu kujadikan saja rumah ini rumah masa depan yang kubangun mulai sekarang. Rumah yang bisa dikunjungi siapa pun nanti, ketika aku sudah tidak bisa "ditemui" lagi. Semoga hal kecil yang aku tulis di sini bisa menjadi penyembuh orang-orang di saat rapuh, menjadi teman ketika tidak ada yang mengajak berkawan, dan menebar bahagia serta kebaikan yang menyala-nyala. 

Aku jadi inget sama teman yang pernah aku ceritakan di tulisan ini Ramadhan Mencuri Ingatanku Kalau kangen dia, aku main ke instagram dan blognya. Bukan hanya untuk melihat fotonya, tapi juga membaca tulisannya. Bernostalgia lagi dengannya seolah-olah dia masih ada di bumi ini. Aku nggak bosan baca tulisannya berulang-ulang. Rumah ini sedang kubangun dengan ornamen banyak cerita yang bisa dibaca siapapun nantinya. 

Nanti, kalau ada yang rindu, kemarilah, rinduku juga berserakan, entah pada kalimat mana kubiarkan berjatuhan. 

You May Also Like

0 komentar