Masih Tentang Poni

by - 07.00

Tahun lalu aku ada urusan di Surabaya. Karena nulis ini aku jadi membuka arsip DM ku dengan dia. Tanggal 11 Oktober aku ke sana. Pagi banget acaranya, jadi malam sebelumnya aku harus sampai sana. Dapat kabar pas siang jam 2. Aku segera pesan tiket kereta lalu menghubungi teman yang biasa kumintai tolong untuk numpang menginap setiap ke Surabaya. Kali ini dia ada acara menginap di tempat lain, tidak ada di asrama. Kuhubungi beberapa teman yang lain, mereka ternyata sedang pulkam karena waktu itu bertepatan dengan weekend. 

Mungkin ini adalah kesengajaan Allah agar aku menginap di kos Poni. Lama sekali aku mikir teman mana lagi yang bisa kumintai tolong. Aku ingat IG story Poni beberapa hari lalu di Surabaya, kutanya apa dia masih di sana, ternyata masih. Dan akhirnya, setelah 5 tahun kita tidak bertemu, kita dipertemukan lagi dengan kondisi dan keakraban yang berbeda.

Baik, kuajak kalian jalan-jalan sebentar ke masa sekolahku ketika berseragam putih abu-abu. Aku masuk di sebuah organisasi, begitu juga Poni. Kita beda jurusan, pun juga divisi. Kita hanya tahu satu sama lain, ketemu hanya say hello. Tidak pernah ada obrolan panjang, bahkan mengobrol saja rasanya hampir tidak pernah. Apalagi bisa dikatakan aku tidak terlalu aktif di sana. Kadang gabung, kadang enggak. Beda dengan Poni yang begitu aktifnya, bahkan dia pernah mencalonkan diri sebagai ketua umum. 

Ada satu kalimat yang dia ucapkan yang masih tersimpan rapi di memoriku, "Aku bukan orang yang suka dipimpin, tapi aku lebih suka menjadi pemimpin." 

Uwuuu. Nampol. Tapi aku paham kalimat itu tidak bisa diartikan mentah-mentah.

Poni ini perempuan yang bermata teduh juga menyimpan ketegasan. Aku mengaguminya diam-diam. Suka caranya berbicara, menghadapi orang-orang di sekitarnya, perempuan berani yang eemm di mataku punya banyak kelebihan. Tapi kusimpan kekagumanku, sedikit pun tidak ada yang pernah aku ceritakan. Cuma sering bilang dalam hati, aku pengen jadi Poni, perempuan dengan keberanian dan segudang kemampuannya. 

Lalu akhirnya kami sama-sama lulus. Aku sudah tidak pernah tahu kabarnya lagi. Entah tepatnya semester berapa aku menginstal Instagram. Aku juga lupa kenapa aku dan Poni bisa mutualan di sana. Padahal dari teman-teman organisasi cuma dia yang aku follow. Entah aku yang sengaja mencari namanya atau bagaimana, aku lupa. Semenjak saat itu aku jadi diam-diam sering stalking kegiatannya di instagram. Oh, dia kuliah di Surabaya ternyata. Dan aku juga baru tahu ternyata dia bukan asli Kediri. Kita tidak pernah tegur sapa, dan aku juga tidak pernah berpikiran untuk memulainya terlebih dahulu. Tahu kegiatannya saja sudah cukup. Dia pernah membuat story IG sedang ada kegiatan di kampusku, ku-DM dia kutanyakan keberadaannya. Ternyata sudah perjalanan menuju Surabaya. Dia mengikuti kompetisi karya tulis waktu itu. Lalu komunikasi selesai, tidak ada sapa lagi. 

Tahun 2018 akhir aku berkemas-kemas dari akun instagramku yang lama. Di akun yang baru hanya beberapa orang yang kukenal yang aku follow, salah satunya Poni. Aku masih seperti dulu yang mengikuti aktivitasnya diam-diam. Baru beberapa bulan kemudian Poni folback aku, mungkin baru menyadari aku telah memfollownya dengan akun baru. Tapi keadaan masih sama, kita tidak bertegur sapa. 

Pada awal Maret 2019 aku mengomentari storynya tentang sebuah hal. Lalu dari situ berlanjut obrolan panjang, aku cerita tentang aku yang memperhatikannya diam-diam sejak sekolah, dia yang ingin mengajakku collab nulis di blog, dan lainnya. Lalu obrolan berlanjut mulai membicarakan kegalauan kita pribadi. Semakin lama kita semakin dekat. Sampai aku pernah menunggu postingan atau story IG nya tidak kunjung ada update terbaru. Aku mencarinya, seperti kehilangan kekasih. Wkwkwk ternyata beberapa minggu kemudian dia muncul membawa kabar gembira, dia wisuda. Hilangnya dia kemarin karena persiapan administrasi untuk kelulusan dan wisuda.

Oke kita balik lagi di tulisan awal. Pukul 10 malam aku sampai di kos Poni. Disambut di depan gerbang oleh dia. Matanya masih sama, meneduhkan. Hanya pipinya yang beda, lebih berisi. Aku mandi sebentar lalu mengobrol dengannya. Obrolan kita kemana-mana, entah diawali dari apa sampai merambat ke hal mistis yang dia alami, pengalamannya melamar kerja sampai Jakarta lalu ternyata mendapat tawaran kerja di kampusnya. Ada satu obrolan yang menyentilku saat itu. Aku lupa kenapa saat itu obrolan kita merambat-rambat ke hal ini.

Aku cerita, "Aku sudah lama nggak foto tentang diri dan kegiatanku di medsos semenjak aku merasa down melihat postingan selebrasi teman-teman pas wisuda, sedangkan aku sempro aja belum. Dari situ aku takut kalau postinganku malah membuat orang tidak mensyukuri hidupnya. Kurasa pencapaian-pencapaian hidup, perjalanan, kegiatan, cukup kita yang tahu. Ada banyak hati yang harus kita jaga."

"Oh, kalau kamu gitu ya, Nik. Kalau aku secara pribadi mengunggah pencapaian karena aku ingin membuktikan ke diriku sendiri bahwa aku bisa melalui banyak proses di hidupku. Kamu tahu kan, manusia itu pastinya butuh pengakuan. Dan itu yang nggak aku dapatin dari ayahku. Beliau jarang melihat  aku dan semua yang aku lakukan, dari media sosial caraku membuat aku percaya bahwa aku mampu."

Bedanya, si Poni ini mengunggah pencapaian bukan dengan foto belaka di media sosial. Tapi dengan rentetan cerita yang membuat kita melihat prosesnya, meski nggak semua asam manisnya dia perlihatkan.

Dia melanjutkan ceritanya, "Dari kecil aku sering stress sendiri. Sampai dulu nggak bisa jalan. Berobat kemana-mana tetap nggak sembuh. Dokter menyerah dan bilang aku ini stress obatnya cuma satu menuruti semua kemauanku. Dan pas itu ayah ngajak aku main sampai aku ketawa lepas seneng banget, habis itu aku bisa jalan dengan sendirinya. Orang-orang kaget lihat aku tiba-tiba bisa jalan."

Kalian tahu rasanya terharu sampai ada yang mengganjal di tenggorokan, nggak bisa bilang apa-apa. Mataku memanas, dadaku sesak. Tapi kutahan. Dia cerita itu tanpa menyiratkan wajah sendu, berarti aku tidak boleh sampai meluruhkan air mata. 

Dia cerita beberapa potong hal tentang keluarganya. Aku diam begitu lama melebarkan telinga untuknya. Perasaanku seperti diaduk-aduk. Ini nyata sekali rasanya, bahwa media sosial yang sering membuat kita sampai lupa bersyukur itu ternyata sangat menyilaukan. Kita tidak akan pernah mengenal seseorang dengan baik sebelum kita mengobrol atau melakukan perjalanan dengannya. 

Dan lalu tentang aku, semenjak aku memberhentikan aktivitasku untuk mengunggah foto diri dan aktivitas di media sosial, aku sempat berpikir kenapa orang-orang begitu mudahnya mengumbar foto diri, kebersamaan, dan aktivitasnya ke media sosial. Aku menganggap mereka salah, berlebihan, nggak ada gunanya. 

Tapi setelah mendengar cerita si Poni aku jadi paham, aku nggak bisa meletakkan standarku pada hidup orang lain. Dibalik sebuah foto pencapaiannya, mungkin itu upaya untuk menghargai diri mereka sendiri. Mungkin ada banyak hal juga yang mereka simpan dibalik foto-foto yang tersebar di media sosial.

Wahai hati, siapakah aku ini sampai dengan lancangnya menghakimi, padahal aku tak mempunyai pengetahuan apa-apa tentang hati banyak orang. 

Meskipun begitu aku masih tetap sama, tidak akan mudah menyuguhkan kehidupanku di media sosial. Tapi bedanya, aku tidak lagi menghakimi apa yang dilakukan orang-orang. 

Obrolan kita berlanjut sampai pukul 1 pagi. Padahal pukul tengah 5 aku harus sudah siap-siap di suatu acara. Ngantuk sih memang, tapi mengobrol sama Poni bikin aku kecanduan.

Lalu urusanku selesai pukul 8 pagi. Setelah sampai di stasiun Wonokromo, aku sarapan soto ayam di dekat stasiun sambil menunggu jadwal kereta.

Kuketik pesan di DM untuk Poni, "Acaraku selesai, ini aku mau pulang. Makasih sudah dibolehin nginep di kosmu. Makasih juga udah cerita banyak hal."

Poni membalas, "Sama-sama, Nik. Kapan-kapan jangan sungkan main lagi ke sini."

Tanpa kamu minta aku bakal kembali lagi nemuin kamu jika masih ada waktu, entah di Surabaya atau di kota kelahiranmu. Aku pulang, membawa banyak hal yang aku pikirkan di perjalanan. 

You May Also Like

0 komentar