Ruang Sendiri
Source: Pribadi |
Rasanya baru kemarin tahun baru, sekarang bulannya
sudah semakin menua aja, ya. Semoga semakin cepat waktu berlalu, semakin
mendewasa diri kita. Semakin banyak hari terlewati, semakin banyak target kita
yang tercapai. Dan semakin kita bahagia dengan segala pilihan hidup yang kita
jalani.
Hari ini aku ingat suatu hal. Bahwa bulan kemarin ada
banyak pertanyaanku tentang hidup, dan Agustus datang dengan menyuguhkan
berbagai jawaban.
Bulan Juli tepatnya tanggal berapa aku lupa, paketan
buku yang kupesan datang. Ada 2 judul buku yaitu Menata Kala milik Novie Oktaviane
Mufti dan Khairunisa Syaladin dan Bertumbuh tulisan Novie dan 4 teman lainnya
semacam antologi begitu. Tentang Teh Novie, aku sudah bercerita tentang beliau
di tulisanku yang lalu. Aku suka dengan tulisan-tulisan beliau, akhirnya
memutuskan untuk membeli bukunya. Buku Bertumbuh aku baca di akhir Juli, ada
tulisan Teh Novie yang berjudul Perjalanan halaman 3. Tulisan ini serasa
disuguhkan Allah sebagai jawaban atas kegalauanku. Berikut kutipan tulisannya:
Jika kamu perhatikan, perjalanan yang
dilakukan oleh manusia selalu berarti dua hal, yaitu berjalan lebih jauh atau
berjalan lebih dalam. Jauh atau dalam. Ya, perjalanan yang arah geraknya
horizontal jaraknya lebih jauh, dan perjalanan yang arah geraknya vertical menjadi
lebih dalam. Seperti apakah perjalanan keduanya?
Orang
pertama akan berjalan lebih jauh. Berbekal sebuah peta, dia sudah tahu ke mana
dia akan pergi. Tentunya pergi melangkah, menjauh dari tempatnya sekarang. Dalam
hatinya, dia berharap bahwa perjalanan yang menjauhkan itu akan membuatnya
mengenal banyak orang baru, mengunjungi tempat-tempat baru, dan mengakselerasi
dirinya melalui pengalaman-pengalaman baru yang ditemuinya di sepanjang
perjalanan. Perjalanan ini akan membuatnya lebih kaya akan pengalaman.
Orang
kedua akan berjalan lebih dalam. Dia tidak berbekal apa-apa, kecuali diri dan
hatinya sendiri. Jika dilihat dari luar, dia tampak seperti orang yang tidak melakukan
perjalanan. Dia tetap diam di tempatnya, tentunya dengan mengupayakan segala
hal yang bisa dia lakukan, tanpa harus menyusuri lengkungan-lengkungan jarak. Tidak
seperti orang pertama, orang kedua ini mungkin tidak memiliki kesempatan untuk
mengenal banyak orang baru, tidak pergi ke tempat-tempat baru, dan tidak
menemukan pengalaman baru di sepanjang perjalanannya. Namun, dia menemukan
cara-cara dan pola-pola yang baru dalam berpikir, merasa, dan bertindak. Mengapa?
Karena berjalan lebih dalam membuatnya semakin mengenal dirinya sendiri, dan
mengenal Tuhannya.
Manakah
yang lebih baik? Jawabannya, tak ada yang lebih baik di antara keduanya,
asalkan perjalanan yang ditempuhnya menjadikan dia orang yang tak sama lagi
(lebih baik).
Aku sedang merutuki keadaan, dulu aku pernah
bercita-cita ingin bekerja yang bisa pulang-pergi ke kota atau pulau orang
sebelum menikah. Aku suka berkunjung ke tempat baru, belajar budaya baru, dan
berinteraksi dengan orang-orang baru. Membuatku memahami sudut pandang yang
berbeda denganku, sangat menyenangkan. Atau paling tidak, aku bisa bekerja
dengan bertemu banyak orang. Ternyata Allah memutuskan untuk aku berada di
keadaan sekarang. Yang sudah pernah aku ceritakan di tulisan lamaku bahwa aku
merasa kesepian karena di pekerjaanku tak banyak orang yang kutemui dan tempat
baru yang kukunjungi.
Untuk membuang pikiran jenuh, aku banyak membeli buku,
menyelami vlog, postingan instagram influencer,
dan internet untuk mengusir kesepian. Aku belajar banyak dari kesendirian dan
kesepianku. Meski dilihat orang-orang aku tak kemana-mana, ya bukan berarti
sama sekali aku tidak kemana-mana sih, maksudku aku tidak bepergian untuk
melakukan sebuah misi. Beberapa kali main ke kota tetangga ya hanya sekadar
main. Dalam kesendirian, pikiranku riuh memikirkan dan merenungkan banyak hal,
entah itu dari buku yang aku baca, film yang aku tonton, konten yang aku konsumsi,
kejadian langsung sehari-hari, obrolan dengan teman, atau bahkan pikiran yang
tanpa diundang mampir begitu saja. Aku merasa ada banyak hal yang mengubah cara
berpikir dan kebiasaanku menjadi lebih baik. Aku didewasakan oleh kesendirian. Seakan-akan
Allah seperti memberiku ruang untuk sendiri agar aku bisa menyelami diriku yang
sebenarnya. Dalam kesendirian juga aku menjadi sering mengobrol dengan Allah
dan diriku sendiri, setelah aku sadar bahwa sekian lama aku selalu riuh dengan
obrolan dengan manusia. Lalu mendadak hidupku sunyi senyap tanpa ada suara
obrolan apa-apa. Membuat aku diingatkan, bahwa ada Allah yang bisa kuajak
berbicara kapan pun itu dan membicarakan masalah apa saja.
Aku ingat bagaimana dulu semasa kuliah waktu dari pagi
sampai malam habis untuk rapat, bertemu orang-orang, mengobrol serius atau
hanya sekadar bercanda. Bahkan saat menanti lampu merah yang hanya semenit saja
tak pernah terlewatkan oleh obrolan dengan teman yang saat itu bersamaku. Terlalu
asyik dengan manusia, sampai akhirnya aku lupa untuk mengobrol dengan Allah dan
diriku sendiri.
Membaca tulisan Teh Novie aku jadi sadar, sebenarnya
ketika kita suka pergi kemana-mana, bertemu dengan siapa saja, atau menemukan
banyak hal baru, bukan tentang kuantitasnya yang kita temukan atau seberapa
jauh jarak yang kita tempuh. Namun, seberapa besar esensi sebuah perjalanan
dalam hidup kita dan seberapa dalam pengaruhnya pada diri kita.
Apapun yang kita lakukan, temui, tempuh, dan tuju,
semoga semuanya bermuara untuk Allah semata, ya.
3 komentar
iya nih sering banget mikir
BalasHapusaduh udah tua nih aku
astaga kok masih beginibegini aja :(
tapi ternyata aku orang yang menikmati self-talk
BalasHapusngobrol sama diri sendiri dan waktu berkualitas dengan diri sendiri
ngerasa jadi mellow nggak jelas sih pada waktuwaktu tertentu
mungkin salah hormon
tapi terus berusaha menyibukkan diri agar nggak punya waktu ngerasa sedih
salam kenal anik!
Salam kenal Ninda. Sebenarnya selftalk bagus kok untuk refleksi diri sendiri aja, bukan untuk menikmati kesedihan. Hehe
Hapus