Dimana Letak Syukurku?

by - 20.12

Hasil gambar untuk gambar bersyukur



Dari sebuah kalimat simple, “Aku pengen jalan-jalan, lagi jenuh.” Akhirnya obrolan kami beranak-pinak melahirkan berbagai macam topik. Obrolan panjang yang kami lakukan dengan jeda waktu yang lumayan lama karena kita harus melakukan berbagai macam kegiatan di dunia nyata.

Namanya Sarkutika. Bukan nama sebenarnya, tapi aku memanggilnya begitu. Gadis berkacamata yang memiliki suara bak Raisa. Teman kos dulu semasa di Jember. Kami masih intens berkomunikasi sampai sekarang di tengah-tengah hiruk-pikuknya pekerjaan.

Dia bertanya bagaimana aku menjalani hari di perantauan. Aku bercerita pengalamanku yang sering makan di tempat makan, nonton, ke mall sendirian selama di Mojokerto. Kita juga saling berkisah tentang teman-teman dan pekerjaan kami masing-masing. Lalu di suatu pagi aku ingat sesuatu hal yang membuat hatiku mengganjal beberapa hari belakangan ini. Kukirim voice note kepadanya, intinya aku merasa jenuh dengan tempat kerja yang tidak mempertemukanku dengan banyak orang. Apalagi di tempat kos, jarang terjadi komunikasi yang intens. Aku dan teman kos sibuk dengan rutinitas masing-masing lalu membawa lelah ke kos, dan kegiatan paling enak adalah tidur. Membuat kami menutup pintu dan sibuk dengan diri masing-masing. Aku merasa kesepian, namun di sisi lain ketika melihat story teman-temanku yang menjadi orang kantoran aku merasa tak mampu jika harus membaur di tengah-tengah pergaulan perkantoran. Ajakan nongkrong, karaokean, bahkan sampai minum-minum. This is real. Tapi aku tahu, nggak semua pergaulan seperti itu.

Aku merasa diriku memang aneh, seorang introvert yang tidak suka kesepian, tapi suka menyendiri. Kadang aku berpikir, tempat kerjaku yang sekarang adalah tempat yang tepat untukku. Dimana aku hanya bertemu dengan siswa, pengajar, dan 2 staff saja. Tidak terlalu banyak konflik yang terjadi, pun aku juga tak perlu menguras tenaga untuk beradaptasi dengan banyak orang di dalamnya. Sayangnya, jiwa ketidakbersyukuranku berteriak, minta lingkungan kerja yang beginilah begitulah. Padahal kalau boleh jujur, ini adalah yang terbaik untuk seorang introvert sepertiku. Yah begitulah manusia, berekspektasi tentang lingkungan pekerjaannya. Melihat bagaimana serunya menjadi orang kantor.

Aku bilang ke Sarkutika, “Beri aku nasihat agar aku bisa bersyukur,” ucapku menutup voice note yang kukirim.

Malam harinya dia baru sempat merespon ceritaku. Dia mengirimi beberapa voice note yang berdurasi lama. Intinya, dia cerita bahwa pekerjaannya adalah pekerjaan yang berisiko jika tidak teliti, harus mengurus beberapa cabang dan itu adalah tanggung jawab yang besar. Dia bertemu dengan banyak orang dengan berbagai macam karakter, beberapa kali dia mendapat masalah karena kesalahpahaman.

Mendengar ceritanya, aku bertanya ke diriku sendiri, kalau seandainya Allah benar-benar menempatkanku di kantor yang besar dan bertemu dengan banyak orang apakah aku mampu untuk menjalani rutinitas itu semua, mengemban tanggung jawab sebesar itu, dan bertahan di tengah tekanan yang tidak aku sukai?

Aku bilang begini ke Sarkutika, “Aku menyimpulkan sebenarnya setiap pekerjaan dan tempat kerja memiliki kondisi tersendiri yang tidak bisa dibanding-bandingkan. Aku bekerja dengan bertemu orang yang tidak terlalu banyak, pekerjaan yang tidak terlalu menumpuk di bulan-bulan tertentu, enak memang sayangnya itu kurang membuat aku berkembang lebih jauh lagi dalam hal adaptasi. Setiap pekerjaan memberikan kita pelajaran, aku memang mendapat pelajaran yang baru dari pekerjaanku, tidak kamu temukan di bidang pekerjaanmu. Dan kamu bekerja dengan penuh tekanan dan tanggung jawab yang besar, tapi justru menurutku itu adalah hal yang baik untuk membuatmu lebih berkembang. Sekarang aku sadar, Allah itu menempatkan kita sesuai dengan kapasitas kita. Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya.”

Lalu si Sarkutika ini membuat aku tertampar begitu keras. Dia bertanya, “Kamu masih sering ngaji nggak?” Aku jawab, “Ya, tapi ada kalanya imanku lagi turun. Kadang aku malas. Kenapa?”

Disitulah letak syukurmu seharusnya, aku selama bekerja hampir nggak pernah ngaji, bahkan untuk menyentuh Al-Quran pun tak sempat. Aku juga baru sadar, sering gelisah masalah pekerjaan, tapi aku tidak gelisah ketika sudah lama tak mengaji. Kadang saat waktu Sholat pun aku menunda-nunda karena sibuk dengan pekerjaan. Manfaatkan waktu yang diberikan Allah untukmu. Seharusnya kamu mensyukurinya.”

“Ya Allah, iyaya. Kenapa aku tidak kepikiran, malahan kadang aku mendustakan dengan Bermalas-malasan."

Kami melanjutkan cerita, lalu sampailah kita pada cerita tentang seorang teman. Aku mengawali ceritanya ke Sarkutika, “Aku mau cerita. Semoga kita bisa memetik cerita dari teman yang ini. Dia bekerja di kota besar, dengan gaji UMR, bonus yang lumayan, bahkan beberapa kali dari story-nya terlihat pulang pergi ke pulau orang, makan enak, menginap di hotel mewah, yah enak-enaklah pokoknya. Banyak teman yang bilang wih enak nih sekarang hidupnya sering ke pulau orang, dia bilang kelihatannya aja enak padahal jalan-jalannya cuma beberapa jam dan mikir kerasnya berjam-jam. Aku tahu bagaimana dia pernah bercerita di awal bekerja yang begitu putus asa dengan tugasnya yang sangat sulit sampai dia menangis. Lalu sekarang dia mulai paham dengan pekerjaannya, sering melewati malam-malam dengan begadang, bahkan weekend pun masih sering menyelesaikan pekerjaan. Tapi, ada hal yang lebih membuatku kaget. Dia pernah tiba-tiba tanya tempat kajian kepadaku, lalu aku menyarankannya untuk mem-follow IG kajian di kotanya. Tanpa bertanya, teman yang ini bercerita sendiri kepadaku bahwa hatinya merasa kosong. Dia bilang, secara materi dia memang kecukupan, tapi dia merasa itu semua tak ada artinya karena rohaninya kehausan.”

Sarkutika membalas pesan whatsappku dengan emoticon menangis. Dia bilang, “Kebahagiaan itu nggak bisa diukur dengan materi, ya.”

Terlihat dia mengetik pesan lagi dan bilang, “Secara materi mungkin nominalnya lebih besar aku dan teman yang kamu ceritakan, tapi sebenarnya secara akhirat kamu yang lebih beruntung.”

Lagi-lagi aku merasa tertohok membaca pesannya. Ada nikmat besar yang tidak kusadari, bahkan untuk kusyukuri. Karena hatiku dipenuhi duniawi. Pun nikmat waktu senggang yang lumayan banyak yang Allah berikan sering aku siakan, ibadah tetap ditelantarkan. Hamba macam apa aku ini, padahal pun aku bisa bekerja karena Allah yang membukakan pintu rezeki.

You May Also Like

0 komentar