facebook twitter instagram Tumblr

Anik's Blog


Jauh sebelum kepulanganku ke rumah ada ketakutan yang sering datang dan hilang begitu saja. Tentang perbedaan  cara pandang antara aku dan ibu. Ibu sering bilang, "Nanti setelah lulus mau kerja apa? Dimana? Di kantor saja enak. Gajinya lumayan. Apalagi kalau jadi PNS." Aku diam. Mengaminkan setiap doa-doa baik beliau. Dalam hati aku tersenyum getir membayangkan kehidupan setelah lulus seperti yang diceritakan orang-orang. Aku takut ibu terlalu berekspektasi tinggi terhadap anak bungsunya ini. Dan lebih takutnya lagi, aku tidak bisa seperti apa yang beliau harapkan. Aku takut beliau seperti tetanggaku yang konsep berpikirnya kuliah lama menghabiskan uang percuma jika kerjanya tak mapan.

Lalu waktu kepulanganku ke rumah tiba. Dan tibalah waktunya untuk aku mencari pekerjaan. Bapak memang tipe orang yang santai, katanya biarlah aku bernapas sejenak setelah berpikir panjang 4,5 tahun lamanya. Sedangkan ibu, meski tidak secara gamblang berkata padaku, aku bisa melihat arti raut mukanya. Ibu takut aku menjadi pengangguran, ibu takut aku dicibir orang-orang. "Coba saja melamar di sini, di sana, ke sana, ke mari." Begitu setiap hari. Aku pernah ingin marah karena aku berada di bawah tekanan. Tapi kutahan. Batinku mencoba mencari celah untuk menerima segala sikap ibu. Aku mencoba memahaminya.

Qodarullah, 2 minggu setelah kepulanganku aku diterima bekerja di bimbingan belajar anak-anak yang sudah cukup terkenal. Aku segera bilang ke ibu, "Aku diterima. Besok diminta untuk mulai bekerja." Ada wajah sumringah ibu yang kudapati. "Tapi, Bu. Aku masih baru, belum menjadi pengajar. Gajiku masih sangat sedikit," suaraku memberat, aku takut ibu kecewa. Nyatanya, senyum ibu lebih lebar. "Ndak apa-apa, yang penting dapat pengalamannya dulu." Aku bernapas lega.

Hal yang paling aku takutkan ternyata hanya ketakutan yang menghantui saja. Aku ingin bilang ke ibu, kapan-kapan aku akan bilang seperti ini, "Berapapun uang yang dikeluarkan untuk menguliahkanku, tak akan pernah terbuang percuma sekalipun nanti aku memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Karena itu adalah investasi akhirat untuk mendidikku seperti ini dan akan tetap berguna karena kelak aku juga akan mendidik anak-anak penerus bangsa dari rahimku."

Semoga bapak dan ibu bisa memahami.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Pada waktu itu ada lowongan yang buka dari Bulog. Kutawari seseorang, lalu dia bilang, "Aku mau cari kerja selinier." Aku meng-oh-kan tanpa bertanya kenapa. Karena memang, bertanya kenapa bukan pertanyaan yang tepat. Semua orang pasti ingin dan tahu bahwa mahasiswa sebenarnya menginginkan bekerja selinier dengan jurusan kuliahnya. Jika pun ada yang tidak, mungkin itu karena merasa salah jurusan.

Sehari pulang dari perantauan, ada Pak Lik adik paling bungsu dari Bapak memanggilku. Mengajak mengobrol berdua di depan rumah. Lebih tepatnya bukan mengobrol, tapi memintaku untuk mendengarkannya berbicara. Kurang lebih beliau berpesan seperti ini, "Kamu lulusan keguruan harusnya ngajar atau ngelesi agar ilmumu tetap terpakai. Tidak rugi kulih bertahun-tahun dan jauh." Begitu. Aku khidmat mendengarkan tanpa sedikitpun memberi tanggapan. Karena aku menyibukkan diri berbicara dengan diriku sendiri saat itu. Ada rasa kesal, ada rasa gemas, tapi aku mencoba untuk menenangkan diri sendiri, maksudnya beliau adalah mengingatkan demi kebaikanku. 

Aku merasa tantangan sudah di depan mata. Padahal masih sehari pulang ke rumah, sudah diberi wejangan panjang lebar. Aku tidak suka, mungkin karena aku yang terlalu sensitif dengan kata pekerjaan. 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar



26 Desember 2018 adalah kepulanganku dari perantauan. Aku tak lagi pulang sebentar dan  (mungkin) tak lagi balik untuk merantau. Tapi aku akan benar-benar pulang, untuk sementara tak akan pergi lagi. Hidupku berubah, dari yang awalnya mahasiswi aktif berorganisasi tiba-tiba menjadi anak rumahan. Biasanya sehabis Shubuh sudah persiapan pergi kajian atau kegiatan lalu pulang larut malam. Tanpa berpikir masak apa atau cuci baju jam berapa. Lapar tinggal beli, karena tak sempat masak atau hanya sekadar belanja sayuran. Cucian numpuk bisa dicuci seminggu sekali. Tak kan ada yang mengomel. Untuk cucian aku memang hampir tidak pernah melaundry, karena sayang uang. 


Sekarang, mau ke kajian harus berpikir, apalagi pas ibu sakit. Nanti yang bersih-bersih siapa, yang masak siapa, yang jaga toko siapa. Ada kakakku, tapi dia sibuk dengan urusan rumah tangganya sendiri. Karena kebetulan kajiannya pagi sampai pukul 8an. Akhirnya, mengalah. Mendengarkan kajian melalui radio sambil nyapu rumah dan ngurus ibu. 


Ketika di rumah, banyak hal berubah. Mungkin karena aku masih baru pulang. Masih mencari-cari tempat untuk berkegiatan. Aku merasa tidak betah dengan berdiam diri hanya sekadar mengurus rumah dan sesekali keluar mengirimkan lamaran pekerjaan. Ditambah lagi yang membuatku semakin jenuh, aku sedang menggunakan provider internet yang sangat lemot di rumah. Kadang jika mau mengakses internet dengan cepat harus keluar teras atau mepet ke jendela depan untuk menggunakan wifi gratisan milik saudara. Karena hal itu aku memutuskan untuk menggunakan internet seperlunya. Sesekali jika ingin mengecek chat wa teman atau grup dan membuka IG atau browser untuk mengetahui info lainnya. Biasanya untuk hiburan dan informasi, aku paling update dengan yutub yang katanya lebih dari TV. Sekarang, yang paling utama adalah TV sebagai media informasi dan hiburan.


Namun, kondisi ini membuatku banyak berpikir dan merenung. Hampir dua minggu hidup tanpa cekokan informasi menikah muda di media sosial dan status teman. Hampir dua minggu hidup di tengah kehidupan nyata dua rumah tangga orangtua dan kakak pertamaku. Karena kakakku masih serumah. Dan hampir dua minggu aku hidup dengan melakukan separuh urusan rumah tangga. Hal ini membuatku sadar, nikah itu mudah. Tapi menjalani kehidupan setelah pernikahan perlu banyak persiapan. Hm, aku tidak bermaksud menolak campaign nikah muda. It's oke, tapi harus benar-benar matang persiapannya. 


Saat masih merantau, aku ingin sekali cepat menikah. Dengan alasan ingin menjaga diri, terhindar dari fitnah, lebih mudah berhijrah, dan alasan baik lainnya. Namun sekarang, keinginan itu memang masih ada, tapi tak lagi hanya keinginan semata, juga terselipi pikiran dan kesibukan untuk mempersiapkan rumah tangga sebaik-baiknya.


Aku sekarang sibuk di rumah, sibuk belajar menggoreng tempe yang gurih dan tidak gosong, belajar mencuci baju agar bersih, belajar mengurus keponakan, dan diam-diam belajar menjadi seorang istri dari ibu dan kakak di rumah. Dan aku juga diam-diam berdoa, semoga kamu (entah siapa nih) juga sedang sibuk memperbaiki diri. 



Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About Me

Foto saya
Anik's Blog
Hi, ini tempat pulangnya Anik. Berisi hal-hal random yang rasanya perlu ditulis.
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Tumblr

Member Of

1minggu1cerita

Categories

  • Blogwalking
  • Calon Ibu
  • FIKSI
  • Flashback
  • Kerelawanan
  • Obrolan Cermin
  • Review Ala-Ala
  • Sudut Pandang Pernikahan

Postingan Populer

  • (Katanya sih) Quarter Life Crisis
  • Ingin Menikmati Hidup
  • MENERIMA DENGAN UTUH (2)
  • Sudut Pandang Pernikahan: Apakah Mencintai itu Perlu?
  • Blogwalking

Blog Archive

  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Juli 2023 (2)
  • Agustus 2021 (1)
  • Juli 2021 (2)
  • September 2020 (2)
  • Agustus 2020 (4)
  • Juli 2020 (3)
  • Juni 2020 (7)
  • Mei 2020 (17)
  • April 2020 (4)
  • September 2019 (1)
  • Agustus 2019 (3)
  • Juli 2019 (9)
  • Juni 2019 (4)
  • Mei 2019 (3)
  • April 2019 (1)
  • Maret 2019 (7)
  • Februari 2019 (3)
  • Januari 2019 (3)
  • Oktober 2018 (6)
  • Maret 2018 (22)
  • Februari 2018 (14)
  • Agustus 2017 (7)
  • Juli 2017 (11)
  • Juni 2017 (11)
  • Mei 2017 (1)
  • April 2017 (5)
  • Maret 2017 (3)
  • Februari 2017 (4)
  • Januari 2017 (14)
  • Desember 2016 (12)
  • November 2016 (2)

Created with by ThemeXpose