Aku Benar-Benar Pulang

by - 06.18




26 Desember 2018 adalah kepulanganku dari perantauan. Aku tak lagi pulang sebentar dan  (mungkin) tak lagi balik untuk merantau. Tapi aku akan benar-benar pulang, untuk sementara tak akan pergi lagi. Hidupku berubah, dari yang awalnya mahasiswi aktif berorganisasi tiba-tiba menjadi anak rumahan. Biasanya sehabis Shubuh sudah persiapan pergi kajian atau kegiatan lalu pulang larut malam. Tanpa berpikir masak apa atau cuci baju jam berapa. Lapar tinggal beli, karena tak sempat masak atau hanya sekadar belanja sayuran. Cucian numpuk bisa dicuci seminggu sekali. Tak kan ada yang mengomel. Untuk cucian aku memang hampir tidak pernah melaundry, karena sayang uang. 


Sekarang, mau ke kajian harus berpikir, apalagi pas ibu sakit. Nanti yang bersih-bersih siapa, yang masak siapa, yang jaga toko siapa. Ada kakakku, tapi dia sibuk dengan urusan rumah tangganya sendiri. Karena kebetulan kajiannya pagi sampai pukul 8an. Akhirnya, mengalah. Mendengarkan kajian melalui radio sambil nyapu rumah dan ngurus ibu. 


Ketika di rumah, banyak hal berubah. Mungkin karena aku masih baru pulang. Masih mencari-cari tempat untuk berkegiatan. Aku merasa tidak betah dengan berdiam diri hanya sekadar mengurus rumah dan sesekali keluar mengirimkan lamaran pekerjaan. Ditambah lagi yang membuatku semakin jenuh, aku sedang menggunakan provider internet yang sangat lemot di rumah. Kadang jika mau mengakses internet dengan cepat harus keluar teras atau mepet ke jendela depan untuk menggunakan wifi gratisan milik saudara. Karena hal itu aku memutuskan untuk menggunakan internet seperlunya. Sesekali jika ingin mengecek chat wa teman atau grup dan membuka IG atau browser untuk mengetahui info lainnya. Biasanya untuk hiburan dan informasi, aku paling update dengan yutub yang katanya lebih dari TV. Sekarang, yang paling utama adalah TV sebagai media informasi dan hiburan.


Namun, kondisi ini membuatku banyak berpikir dan merenung. Hampir dua minggu hidup tanpa cekokan informasi menikah muda di media sosial dan status teman. Hampir dua minggu hidup di tengah kehidupan nyata dua rumah tangga orangtua dan kakak pertamaku. Karena kakakku masih serumah. Dan hampir dua minggu aku hidup dengan melakukan separuh urusan rumah tangga. Hal ini membuatku sadar, nikah itu mudah. Tapi menjalani kehidupan setelah pernikahan perlu banyak persiapan. Hm, aku tidak bermaksud menolak campaign nikah muda. It's oke, tapi harus benar-benar matang persiapannya. 


Saat masih merantau, aku ingin sekali cepat menikah. Dengan alasan ingin menjaga diri, terhindar dari fitnah, lebih mudah berhijrah, dan alasan baik lainnya. Namun sekarang, keinginan itu memang masih ada, tapi tak lagi hanya keinginan semata, juga terselipi pikiran dan kesibukan untuk mempersiapkan rumah tangga sebaik-baiknya.


Aku sekarang sibuk di rumah, sibuk belajar menggoreng tempe yang gurih dan tidak gosong, belajar mencuci baju agar bersih, belajar mengurus keponakan, dan diam-diam belajar menjadi seorang istri dari ibu dan kakak di rumah. Dan aku juga diam-diam berdoa, semoga kamu (entah siapa nih) juga sedang sibuk memperbaiki diri. 



You May Also Like

0 komentar