Sepucuk Surat Merah Hati (7)

by - 02.00

“Ayu!” 

Aku mengejarnya cepat. Dia memang mempunyai kecepatan berlari yang payah. Hanya butuh beberapa detik jarak dengan dia semakin dekat, lalu kutarik tangan kanannya. Kugenggam erat pergelangan tangannya sampai dia tidak bisa melarikan diri lagi.

“Kau kenapa?” Terdengar napas Ayu memburu seperti orang ketakutan.

“Hanna, kau pasti marah denganku, kan?” Ada sendu yang menghiasi wajahnya.

“Kenapa aku harus marah dengan pengantin baru?” godaku. Aku tertawa renyah di hadapannya. Tetapi tidak dengan Ayu. Dia bergeming dan sibuk menenangkan detak jantungnya karena berlari terlalu cepat tadi.

“Kau tidak sedang bercanda, kan?” Alisku terangkat mendengar pertanyaannya yang konyol.


“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Kau berlari ketakutan melihatku. Kau pikir sahabatmu ini hantu?” Aku memegangi kedua pundaknya.

“Kau masih menganggapku sahabat?” Mendadak mata Ayu berkaca-kaca.

“Apa yang terjadi dengan orang-orang hari ini? Kau tahu, tadi Alsa bertanya kepadaku, apakah akan datang ke pernikahanmu? Lalu aku menjawab, pasti datang. Dan sekarang, kau mengajukan pertanyaan yang tak masuk akal.”

“Kau sudah menerima undangan pernikahan dan suratku?”

Aku berpikir sesaat mengingat adegan tadi pagi dengan mama. “Sudah. Mama tadi memberitahuku. Tapi aku belum membaca suratmu, aku terburu-buru tadi pagi.”

“Lantas?”

“Lantas, aku akan datang di pernikahanmu dan bersanding dengan pengantin baru. Akan kuabadikan momen termanis itu di instagram agar dunia tahu bahwa aku bahagia melihat sahabatku telah menemukan dermaga hatinya.”

Ayu berhambur memeluk. Aku merasakan pelukannya sangat erat. Dia menangis terisak-isak dalam dekapanku. Tak dipedulikan orang-orang berseliweran di samping kami. Aku semakin tak mengerti dengannya akhir-akhir ini.

“Kau terlalu baik untukku, Hanna.” Suara Ayu terdengar serak.

“Kau juga teramat baik untukku, Ayu.” Aku memeluknya sangat erat. Mungkin dengan pelukan ini bisa mengobati sedikit perih di hatinya yang tak kutahu karena apa.

“Hanna, ada hal yang harus kau tahu.” Dia melepas pelukannya dan memegangi kedua pipiku. Kulihat mata dan pipinya basah. Ini sudah adegan kesekian kali yang kulihat.

“Aku menyayangimu dan tak pernah bermaksud menyakitimu.”

Entah kenapa, kali ini kurasakan ada nyeri pada potongan hatiku. Aku memandangi kedua bola matanya, mencari maksud dari ucapnnya. Tetapi aku sama sekali buta, tak bisa membacanya.

“Kau kenapa? Kau tidak boleh cengeng seperti ini, Ayu. Kau harus janji hanya cengeng di depanku, bukan di depan orang lain, apalagi suamimu.”

“Aku bukan wanita yang baik untuknya.”

“Kau tak boleh berkata seperti itu. Dia pasti bahagia memiliki istri cantik dan baik bak putri sepertimu.”

“Kau salah. Aku wanita yang tak berhati.”

Aku menggeleng di depannya. “Sejak kapan kau menjadi gadis lemah seperti ini?” Dia sibuk mengusap pipinya yang sudah membasah.

“Aku ingin bertemu calon suamimu sebelum resepsi nanti. Aku ingin bilang kepada dia, bahwa dia adalah laki-laki beruntung yang mendapatkan perempuan sepertimu.” Matanya membulat menatapku.

“Kau tahu nama calon suamiku?”

“Tidak. Aku hanya membaca tanggal pernikahan kalian, kan sudah kubilang aku buru-buru tadi pagi karena Dimas menjemputku.”

“Oh.” Dia menggumam.

To be continued!


You May Also Like

11 komentar