Suatu Malam Yang Wangi
Sumber: www.rudydewanto.com |
Mula-mula, seseorang yang mendapatkan
uang arisan itu adalah hal biasa. Atau Mendapatkan dua anak sapi sekaligus dari
rahim induk sapinya juga hal yang lumrah. Bahkan, menemukan segepok uang
ratusan ribu di halaman rumah juga masih bisa dikatakan wajar. Bisa jadi, itu
adalah uang konglomerat atau juragan yang jatuh tak sengaja saat lewat.
Itu semua menjadi hal yang menghebohkan
jika terjadi pada satu orang dalam waktu yang berturut-turut. Hidup di desa
memang seperti itu, apa pun yang terjadi dengan tetangga sebelah atau
masyarakat sedesanya akan cepat menyebar dan menimbulkan banyak desas-desus
gosip tak terelakkan.
Orang yang mengalaminya adalah Pak
Burhan. Beliau sendiri juga tidak mengerti, kenapa Tuhan begitu baik padanya.
Rezeki terus mengalir deras masuk ke pundi-pundi kantongnya. Itu semua
menimbulkan banyak pertanyaan kepada warga desa yang tengah iri melihat Pak
Burhan dan keluarganya bergelimangan rezeki.
Lalu suatu ketika, gosip susulan yang
lebih heboh muncul. Pak Karman juga mengalaminya. Ada kesamaan di antara
mereka, yaitu mendapatkan aliran rezeki setelah selesai ronda sekitar tiga
harian yang lalu.
“Apa rahasiamu sampai mendapatkan
undian hadiah bank kemarin? Padahal kamu ini orangnya sering apes. Jangankan
menang undian, dapat uang arisan saja sering belakangan,” kata Pak Supri sambil
meneguk kopi pekatnya di depan rumah Pak Karman.
“Aku juga tidak tahu. Aku tidak pernah
main ke dukun untuk menang hadiah atau melariskan daganganku.” Pak Karman
mengambil sepotong pisang hangat yang asapnya masih mengepul.
“Ah, masa? Aku merasa kamu dan Pak Burhan
mempunyai rahasia agar rezekimu lancar.” Pak Supri tetap memaksa Pak Karman
untuk mengaku sesuatu yang sebenarnya tidak diketahuinya.
“Rahasia agar rezeki lancar ya berdoa.”
Pak Karman tersenyum menjawab pernyataan lucu tetangga depan rumah yang rajin
menyambangi setiap ada waktu luang.
“Aku sudah sering berdoa. Tapi ya
rezekiku biasa saja. Tidak datang bertubi-tubi seperti kamu dan Pak Burhan.”
Pak Supri menyesap kopinya sekali lagi sambil memegangi rokok yang tinggal
setengah.
Pak Karman hanya tersenyum simpul
mendengar temannya yang begitu ingin tahu. Dia berdehem lalu membetulkan posisi
duduknya dengan tegak.
“Ada sesuatu yang ingin kuceritakan.”
Pak Karman memandang Pak Supri mantap.
Pak Supri mencondongkan tubuhnya ke
arah Pak Karman. Memasang telinga baik-baik, penasaran apa yang akan
diceritakan lelaki berkumis tebal itu di depannya.
“Aku juga tidak tahu ini benar atau tidak.
Entah, ini hanya kebetulan atau memang benar. Sebelum aku dan Pak Burhan
mengalami hal yang serupa, malamnya kami melaksanakan tugas ronda. Saat
melewati depan rumah Pak Juni, ada bau wangi yang lebih wangi dari melati
sekali pun. Wanginya begitu khas.”
Mata Pak Supri membulat. Ada banyak
penasaran yang menggelayuti benaknya.
“Bau apa itu? Pak Juni mempunyai
sesajen di rumahnya?”
Pak Karman tertawa melihatkan gigi
rapinya yang bersih. Kumis tebalnya naik turun mengikuti gerakan bibir
tebalnya.
“Bukan, sepertinya bukan itu. Tetapi
aku melihat ada dua kuntum bunga berwarna putih mekar di tengah malam di
halaman rumahnya. Anehnya, saat siang, bunga itu sudah layu.” Pak Supri
manggut-manggut mendengar penjelasan tetangga yang sudah dikenalnya puluhan
tahun itu.
“Bunga apa itu?” Dia angkat bicara.
“Aku juga tidak tahu.” Pak Karman
mengangkat bahu.
“Tetapi…” Kalimat Pak Karman tak
terselesaikan. Dia menghisap rokoknya sejenak.
Mereka terdiam sebentar menikmati asap
satu sama lain yang mengudara seperti kabut pagi menutupi jalanan. Hanya saja,
asap rokok ini terasa begitu menyesakkan. Mereka terlihat biasa saja saat asap
menyeruak masuk mengobrak-abrik paru-parunya.
Setelah mencuri napas sejenak, Pak
Karman melanjutkan kalimatnya sambil membuang sedikit abu rokoknya ke asbak. “Burhan
bilang itu bunga joyo kusumo.”
Pak Supri yang sedari tadi sibuk
menghisap dan mengeluarkan asap dari mulutnya, terdiam saat itu juga.
Memandangi Pak Karman lamat-lamat. Dari air mukanya terlihat sedang memikirkan
sesuatu.
“Pak Supri pasti tahu kaitan antara hal
yang kualami dan Pak Burhan dengan bunga itu.”
Pak Supri diam mengambil napas beberapa
kali lalu membuangnya kasar. “Aku tahu.”
“Aku dan Pak Burhan berpikir, mungkin
kesuksesan usaha toko Pak Juni akhir-akhir ini juga karena bunga itu. Dalam
waktu dekat ini, Pak Juni juga akan membuka usaha bengkel di dekat balai desa.
Bagaimana mungkin, orang baru seperti Pak Juni bisa mendapatkan banyak
pelanggan di tokonya. Padahal banyak toko yang sudah lama berdiri di desa ini.
Tidak ada yang antrenya seperti toko Pak Juni.”
“Apa bunga itu mekar setiap malam?”
“Kenapa? Pak Supri mau juga
melihatnya?” Pak Karman tersenyum menggoda.
Pak Supri membalas dengan tatapan sinis
lalu berdehem dan mengalihkan pembicaraan ke topik harga cabai yang kian
melambung.
***
Berita tentang wangi bunga joyo kusumo atau Jaya Kusuma menyebar ke
seluruh sudut desa. Dari anak kecil, remaja, sampai dewasa membicarakan khasiat
ajaibnya. Banyak orang penasaran dengan kebenaran kabar tersebut. Mereka berebut
jadwal ronda agar mempunyai alasan untuk bisa berjalan di depan rumah Pak Juni
tengah malam. Nyatanya, tidak semua orang mempunyai kesempatan yang sama seperti
Pak Burhan dan Pak Karman. Bunga putih yang batangnya seperti kaktus itu tidak
bisa diprediksi kapan akan berbunga. Tidak semua orang bisa melihatnya.
Tentang mitos bunga ini memang sudah mampir
ke telinga para warga desa di Kota Kediri. Itu semua hanya dianggap sebagai
dongeng oleh mereka. Karena mereka tidak pernah membuktikan sendiri
kebenarannya. Bunga ini pun juga tidak dimiliki oleh semua orang, seperti bunga
kamboja, melati, atau cocor bebek. Bunga ini juga tidak dijual secara luas oleh
penjual bunga.
Menurut kepercayaan warga desa itu,
jika bunganya mekar berarti pertanda sang empu akan mendapatkan rezeki yang
berlimpah, atau orang yang bisa melihat mekarnya tengah malam juga akan ikut
tertular rezekinya.
Mitos itu sudah lama. Tapi warga desa hanya
sekadar tahu, tidak sampai percaya berlebihan lalu mencari ke sudut-sudut kota
untuk memiliki bunga itu. Baru setelah ada yang bilang bunga itu benar-benar
terbukti mitosnya, banyak orang berbondong-bondong membuktikan.
Mendengar itu, Pak Supri tergelitik
untuk mencoba. Dia merasa iri dengan Pak Burhan dan Pak Karman yang dengan mudahnya
mendapat aliran rezeki seperti tetesan air hujan.
Pak Supri menatap rumah Pak Juni dengan
tatapan tajam seperti harimau yang sedang membidik mangsa. Sudah beberapa kali
dia mencuri-curi waktu untuk lewat di rumah orang kaya baru itu tengah malam,
hasilnya tetap tidak dilihatnya bunga putih itu.
Untuk saat ini, hanya Pak Karman dan Pak
Burhan yang berhasil melihat mekarnya. Hati Pak Supri bercokol mendapati
kegagalan. Beberapa kali dia pulang tengah malam dengan menelan kekecewaan. Dia
hanya mendapat gigitan nyamuk pada sekujur tubuhnya karena berdiri di balik
rumput yang menjulang tinggi terlalu lama di tanah kosong depan rumah Pak Juni.
Karena sudah lelah dengan kegagalannya,
dia menyerah untuk mencoba lagi. Dia mempunyai cara lain. Jika dia tidak bisa
melihatnya, tentu juga tidak boleh orang lain melihat. Begitulah kiranya cara berpikir
bapak tiga anak ini.
Suatu malam, Pak Supri datang lagi ke
tanah kosong yang hanya berjarak lima rumah dari tempat tinggalnya. Kali ini
tujuannya bukan untuk melihat mekar bunga itu, tapi untuk hal lain. Setelah dia
mengintai dan dipastikan benar-benar aman, dia keluar dari tempat
persembunyiannya dengan membawa golok.
Rumah Pak Juni yang hanya berpagarkan
tanaman hijau, memudahkan siapa pun untuk masuk ke halamannya. Malam ini
ternyata keberuntungan tidak berpihak lagi pada Pak Supri. Sebelum dia
menginjakkan kaki ke halaman rumah besar bercat putih itu, terdengar suara
deritan pintu yang terbuka. Dilihatnya sosok besar tinggi keluar. Pelan-pelan
Pak Supri berjalan cepat lurus kembali ke rumahnya.
Percuma menunggu Pak Juni sampai masuk
lagi. Karena seringnya ronda, dia tahu pemilik rumah itu akan duduk di teras
lama sekali sampai menghabiskankan beberapa batang rokok. Pak Juni pernah
bercerita di kondangan beberapa minggu lalu, bahwa dia mempunyai kebiasaan
insomnia. Di kursi kayu itulah dia sering menghabiskan waktu malamnya.
Ternyata Pak Supri bukanlah tipikal
orang yang menyerah dan kehabisan akal begitu saja. Ada cara lain yang
disiapkan untuk membabat habis tanaman yang telah membius banyak orang untuk
percaya dengan mitos itu.
Besoknya, Pak Supri membawa sebuah
cairan yang berwarna sedikit keruh dalam sebuah botol bekas air mineral. Dia
berniat menyiramkan minyak tanah itu ke bunga Pak Juni, agar bunganya layu lalu
mati. Pak Supri keluar rumah menutup pintu dengan hati-hati agar istri dan
anak-anaknya tidak mendengar kepergiannya. Lantas, sebelum keluar dari halaman,
tiba-tiba perutnya mules ingin buang hajat.
Dia masuk lagi ke dalam rumah. Meletakkan
botol cairan itu di atas meja makan, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Selang beberapa
menit, terdengar suara istrinya mengetuk pintu dan memanggil-manggilnya. Anak keduanya yang masih usia tiga tahun juga sedang mulas ingin buang hajat. Pak
Supri menjawab ketukan pintu itu dengan menyuruhnya menunggu.
Anaknya menunggu sambil duduk di meja
makan dengan mata yang masih sedikit terpejam karena sangat mengantuk. Dia terpaksa
bangun karena perutnya begitu mulas. Istri Pak Supri mendengar anaknya yang
masih bayi menangis, lalu segera berlari kecil kembali ke kamar.
Anak perempuan Pak Supri melihat ada
sebotol minuman di meja makan, dia membuka tutupnya lalu meneguk berulang kali.
Dirasakan cairan pahit membasahi tenggorokannya.
Setelah Pak Supri keluar dari kamar
mandi, dia melihat anaknya terkapar di lantai dengan penuh busa lalu
berteriak-teriak memanggil istrinya.
Pak Supri membatalkan niat jahatnya. Padahal
dia ingin membuat Pak Juni kehilangan bunga pembawa rezeki itu, tapi nyatanya
dia yang malam ini merasakan kehilangan karena ulahnya sendiri.
3 komentar
Bagus banget nik cara penyampaiannya ceritanya
BalasHapusTerima kasih, Mbak. :)
HapusWaaah....
BalasHapusKereen mbak....
Urban legend nya dapat,
Tokohnya dapet,
Twistnya juga oke punya
Suka suka suka