Kopi yang Pernah Aku Minum

by - 22.01


Seandainya aku bisa meminum kopi, apakah aku akan menjadi anak indie yang akan menyelipkan kopi pada beberapa tulisanku? Pertanyaan yang tidak terlalu penting itu sempat mampir di kepalaku. Aku suka senja yang menenangkan, tapi nyatanya juga tidak aku curi keindahannya untuk diabadikan pada puisi-puisiku. 

Beberapa teman suka mengunggah fotonya bersama secangkir kopi dengan menandai sebuah kedai kopi. Apakah aku juga perlu mengunggah es coklat yang aku sukai, karena ketidakberdayaanku menenggak kafein?

Organ tubuhku diciptakan bukan untuk bersahabat dengan kafein. Awalnya kukira hanya kopi yang tidak bisa kunikmati. Setiap beberapa tenggakan sudah merasuk ke tubuhku, keringat mulai terlihat, detak jantung berkejaran, dan tubuh mulai lunglai tak berdaya. Kadang, pada satu sisi perut terasa sakit atau mules. Parahnya hampir selama 24 jam aku tidak akan bisa tidur. Ternyata setelah aku meminum cappucino atau mocca, tubuhku juga bereaksi demikian. 

Efek sampingnya yang tidak aku suka, membuat aku membulatkan tekad untuk menyingkirkan minuman berkafein itu dari daftar minuman yang bisa kupesan. Hanya satu kopi yang bisa aku nikmati, kopi bapak yang aku seruput diam-diam setiap sore. Itu pun tidak banyak, mungkin jika ditakar hanya satu atau dua mili saja. Bapak tidak pernah tahu kebiasaan yang sudah aku lakukan semenjak masih di jaman putih abu-abu dulu. Sekalipun tahu, bapak juga tidak akan marah. Beliau selalu rela membagi makanan atau minuman apapun untuk anaknya. Aku suka aroma kopinya yang menguar.

Ketika aku sempat kuliah dan kerja di luar kota, salah satu hal yang paling kurindukan adalah menyeruput kopi beliau. Tapi pada akhirnya, ketika aku sudah pindah kerja di kota kelahiranku aku malah tidak lagi melakukan kebiasaan ini. Bukan karena sudah tidak suka, tapi karena ada yang menggantikanku. Beberapa keponakan bergantian menghabiskan kopi beliau, sehingga di sore hari sering aku mendapati kopinya sudah habis. 

Baru kemarin aku makan di meja makan, lalu melihat kopi beliau masih seperempat cangkir. Mumpung masih ada, aku meminumnya sedikit. Ada yang berbeda, kali ini rasa pahitnya yang dominan. Tapi tetap terasa enak. Berbeda dengan kopinya dulu yang masih ada manis-manisnya. Mungkin di umurnya yang sudah menua, bapak tidak lagi ingin menimbun banyak gula di tubuhnya. Belakangan ini aku baru menyadari kopi sachetan itu tidak sehat, tapi bersyukurnya bapak masih baik-baik saja sampai sekarang. 

Kopi pahit sore kemarin mengingatkanku pada seseorang yang amat menyukainya. "Cobain deh minum kopi pahit, itu lebih bisa dinikmati. Kalau kopi manis sama aja kamu cuma nikmati gula," katanya suatu hari yang tersisa di ingatanku. 

"Nggak ah, aku nggak bisa minum kopi. Bisa nggak tidur semaleman nanti. Bikin badan lemes."

"Aku minum kopi tetep ngantuk. Kamu aja yang aneh."

Aku masih ingat betul kejadian itu. Siang hari ketika kita mampir di kedai kopi. Saat itu dia sedang berkunjung ke kotaku. Ada kedai kopi yang kami lewati dan satu-satunya yang paling dekat dengan keberadaan kami saat itu. Daripada berjalan lebih jauh lagi, kami memutuskan untuk mampir saja di tempat itu.

Beberapa bulan mengenalnya aku belum pernah secara langsung melihat dia meminum kopi. Hanya beberapa kali dia mengirim foto kopi panasnya kepadaku atau mengunggah cangkir kopi dan buku di sisinya. 

"Kamu mau pesen kopi?" Aku membaca beberapa menu minuman yang ditawarkan.

"Nggak ah, masa siang-siang ngopi." Akhirnya kami sama-sama memesan es coklat. 

Di awal bulan Maret lalu ketika corona belum masuk ke Indonesia, ada pameran buku di kotaku. Dia menyempatkan diri untuk datang ke kotaku untuk kedua kalinya. Aku menemaninya sampai pukul 7 malam sebelum kereta kepulangannya tiba. 

Sore sebelum jadwal kepulangannya, kita mampir di kedai kopi dengan bangunan lawas yang disulap seestetik mungkin.   

"Kamu pesen kopi?" Aku melihat daftar menu dan bertanya pada dia. 

"Boleh, deh." 

"Yaudah ngopi gih, nanti aku minta dikit."

"Mau kopi apa?" Balik dia yang bertanya kepadaku.

"Terserah kamu. Apa aja boleh."

Setelah dia membaca beberapa saat buku menu, dia menjawab, "Aku pesan kopi vietnam. Nanti cobain."

Di sisi lain aku pesan susu murni hangat, nanti sebagai penawarnya jika aku meminum kopinya terlalu banyak. 

Menunggu pesanan datang, kami mengobrolkan banyak hal random. Mulai dari perbedaan bahasa sukunya yaitu Madura dan sukuku Jawa. Atau tentang perbincangan yang hangat-hangatnya saat itu tentang corona kenapa tidak bisa masuk Indonesia.

Pesanan kopi datang. Oh, aku baru tahu kalau ternyata kopi vietnam itu ada alat penyeduh di atas gelas kopinya. Paling bawah ada susu putih kental yang belum tercampur dengan kopi.

Sumber: Google


"Aku coba dulu sebelum dicampur dengan susunya." Aku mengambil cairan kopinya dengan sendok kecil.  Rasanya pahit menurutku. Lalu aku aduk agar susunya tercampur. Kurasakan lagi, sedikit ada rasa susunya.

"Kamu harus nyobain jenis kopi lainnya. Biar tahu bedanya,"katanya.

"Bukannya sama-sama pahitnya?"

"Ya tapi ada bedanya."

Untuk pertama kalinya aku meminum kopi selain kopi bapak. Sedikit demi sedikit kami sama-sama menghabiskan minuman masing-masing. 

"Mau lagi nggak? Sebelum habis nih." Dia menawari.

Aku menggeleng. Seseruput saja sudah cukup bagiku untuk tahu rasanya. 

Aku memandanginya lekat-lekat. Memperhatikannya ketika dia berbicara, caranya menglihati gelas kopinya lalu menyeruput sedikit, atau ketika dia sedang berpikir sesuatu. Mungkin sebenarnya ini bukan tentang apa yang kita minum, tapi bersama siapa minuman kita semeja. Rasa pahit kopinya tadi, tetap terasa manis di lidahku. Karena apapun yang dia sukai, aku juga akan menyukai. 

Sayangnya, mungkin saat itu adalah pertama dan terakhir kali aku meminum kopinya. Bulan April kami sempat janji akan bertemu lagi, tapi nyatanya batal karena pandemi ini. Lalu pada bulan apapun nantinya, mungkin tidak akan lagi ada pertemuan di antara kami. Karena suatu hal aku memintanya untuk pergi tanpa memberinya kesempatan untuk meninggalkan penjelasan. 

Nanti, di suatu pagi aku akan membuatkan kopi untuk seseorang yang juga akan aku minum sedikit bagiannya. Tapi nanti tidak hanya membuatkan, tapi juga akan aku temani kopinya dengan segelas teh hangat semeja dan obrolan setiap pagi. 

You May Also Like

3 komentar

  1. Saya juga tidak bisa (atau, tidak mau?) meminum kopi. Rasanya aneh. Pun juga dengan susu. Apabila meminumnya, teras mual. Rasa seperti mau muntah. Tidak hanya susu, sih mbak. Makanan/minuman lain yg mengandung susu, saya tidak bisa mengonzumsinya. Seperti, es buah, kue2 yg mengandung susu, dsb..

    BalasHapus
    Balasan
    1. ah yaa, beberapa temanku ada juga yg gini mas. Katanya eneg sama susu. Paling gak suka apapun yg berbau susu.

      Hapus
    2. Yaa, gitu. Eneg kali ya mbak.
      Jd kalo aku mau beli makanan/minuman yg topping nya ada susu, selalu pesan dulu sama yg jual, "Bu ga usah pake susu yaa"

      Gituu 😅

      Hapus