Yang Terbaik Bagimu
Aku mengamatinya
dari jarak sedekat ini. Menikmati setiap lekuk wajahnya yang telah berkerut, pipi
cekung, rahang kokoh, dan rambutnya yang mulai beruban.
Aku memang
rindu berada di dekatnya seperti ini. Ingin menciumnya, tapi kuurungkan. Atau hanya
melingkarkan tangan pada tubuhnya, aku merasa sangat malu. Bukan karena apa-apa,
tapi karena aku sudah dewasa. Dan sudah lama tak melakukannya.
Sudah lama aku tak merasa geli saat pipiku disapu dengan kumis tebalnya. Atau tangan kasarnya mengusap wajahku saat memandikan.
Kuselimuti
tubuhnya yang mulai menggigil kedinginan—seperti yang dilakukannya padaku saat masih sekamar dengannya sewaktu kecil dulu.
Aku
menatapnya begitu lama menangkap raut-raut kebahagiaan. Lebih tepatnya,
kebahagiaan yang selama ini dibuat-buat. Ah, tidak. Mungkin dia memang bahagia
dengan versinya sendiri. Kebahagiaan yang sulit kupahami maknanya.
Pandanganku
mengabur. Ada bulir-bulir yang tercipta di sudut kelopak mata. Kubiarkan. Perasaanku
bergejolak. Perasaan rindu, sayang, bahkan cinta. Ingin sekali rasanya aku memeluknya
untuk malam ini saja. Tapi, aku tidak punya keberanian untuk melakukan. Aku terlanjur
malu karena aku bukan lagi putri kecilnya yang bisa melakukan semauku.
Aku
tidak lagi insomnia karena terjerat bayang wajahnya. Dia berada di sampingku,
tapi anganku melayang begitu saja mengingat kepingan cerita yang terjalin
dengannya beberapa hari lalu.
***
“Kalau sudah hilang lalu diapakan? Ya sudah,
ikhlaskan saja,” jawabnya tenang. Aku masih terisak dibalik telepon.
Aku
masih terbius dengan kejadian yang terjadi kemarin. Semenjak saat itu, aku tidak
banyak bicara pada siapa pun. Entah, bingung, heran, sedih, semuanya berbaur
menyesakkan.
“Jumat
bapak transfer, ya. Beli laptop baru,” ucapnya tiba-tiba.
Aku
bingung, apakah harus senang atau sedih mendengar ucapannya itu.
Aku bukan
lagi anak kecil, Pak. Aku tidak girang saat mendapat laptop baru. Bukan itu
yang aku pikirkan, tapi dirimu. Aku mengkhawatirkanmu. Sungguh! Dibalik ucapan itu
pasti tersimpan sepotong rasa yang tak akan pernah kau jelaskan padaku.
“Bapak ada
uang?” tanyaku ragu-ragu. Isakku berhenti sesaat.
Beliau
pasti tahu uang yang dikeluarkannya tidak berjumlah sedikit. Tapi entahlah,
terdengar dari suaranya, beliau begitu merasa enteng menyebutkan nominal.
“Ada.
Bapak punya tabungan,” jawabnya meyakinkan.
Aku
terdiam sangat lama, begitu juga beliau. Terdengar embusan napasnya dibalik
telepon. Aku tahu ada Ibu di sampinya, tapi beliau hanya diam menyimak obrolan
kami.
“Apa
Bapak belikan di sini nanti dipaketkan ke sana?” tanyanya lagi.
“Tidak
usah,” jawabku dengan suara serak.
“Lalu?
Bapak antar ke sana?”
“Tidak
perlu.”
“La
trus?”
“Nunggu
laptopnya dikembalikan sama orangnya,” jawabku dengan konyol.
“Masa
iya ada orang nyuri trus dikembalikan?” Ada tawa yang ditahannya.
Rasanya
ingin aku menertawai diriku sendiri. Entah, siapa yang membisikkanku jawaban
konyol itu. Ada rasa tidak tega yang menyusup. Perasaan haru merambati diriku.
“Bapak
belikan, ya. Laptop kan sudah menjadi kebutuhan penting untuk kuliah.”
“Aku
selama ini terlalu merepotkan Bapak,” kataku dengan tersengal-sengal. Tangisku pecah
tapi kutahan. Aku menyembunyikan tangis. Kututup mulut dengan tangan kanan.
“Merepotkan
apa? Bapak selama ini tidak pernah merasa direpotkan anak-anak bapak,” jawabnya
dengan halus.
“Aku
minta maaf, Pak. Belum bisa memberi malah sering meminta. Maaf atas
kecerobohanku menambah beban Bapak. Padahal ini awal semester, pasti memerlukan
biaya yang lebih.”
“Nduk, sebelum kamu menikah, kamu masih
menjadi tanggung jawab Bapak.”
Terdengar
ucapannya yang begitu tulus. Nadanya tenang dan begitu halus, tapi seperti
pisau yang menyayat begitu pelan.
***
“Adakalanya
Allah mengambilnya dari kita untuk mengingatkan ada hak orang lain pada harta
yang dititipkanNya,” jelas Bapak beberapa menit setelah sampai di kamarku.
Beliau duduk
di pinggiran tempat tidur. Aku di sampingnya duduk manis sambil menunduk dan
memainkan kaki.
“Aku
hanya takut ada orang yang tidak suka. Mengingat
kronologisnya sangat aneh, aku merasa pelakunya kenal dekat denganku.”
“Maka
dari itu, kita harus lebih baik kepada siapa pun. Dan lebih berhati-hati lagi
dalam bersikap.”
“Aku
hanya ingin tahu siapa pelakunya, Pak,” kataku lirih.
“Untuk
apa?”
“Penasaran.”
“Percuma,
nanti kamu pasti marah lalu sakit hati. Sudahlah, ikhlaskan saja! Itu akan
mengurangimu bebanmu. Biar itu menjadi urusannya dengan Allah.”
Ah,
bapak. Jarang kutemui beliau berbicara sepanjang ini. Padahal beliau selalu
irit bicara. Aku tertegun mendengar nasihat-nasihatnya.
“Seharusnya
kamu bersyukur tidak dipertemukan dengan pelakunya. Kalau iya, pasti
keselamatanmu juga terancam. Apalagi kamu saat itu sedang mandi, iya kalau
pelakunya perempuan, kalau laki-laki?” tanyanya begitu menohok perasaanku.
Mataku membulat
menatapnya.
“Intinya,
ada banyak hal yang masih disyukuri. Keselamatanmu lebih penting.”
***
Genangan
hangat itu berhasil meleleh di pipiku. Bapak
terlalu baik, batinku. Entah berapa banyak air mata yang tumpah. Seperti mendung
yang memberati wajah langit, itulah perasaanku. Meski beliau berulang kali
menenangkan, ada banyak beban yang masih memberat kurasakan.
Aku
tahu, beliau bukan orang kaya yang bisa membeli apa saja. Andai saja aku
meminta gadget atau model pakaian terbaru mungkin beliau tidak akan semudah itu menuruti. Ini bukan tentang nominal, tapi tentang kebesaran hatinya.
Aku menangis
haru merasakan kasih sayangnya yang begitu tulus. Perhatiannya yang selalu datang
bertubi-tubi tanpa pernah kuminta. Cara menjaganya yang begitu mengesankan. Dan segala hal tentangnya yang begitu mengagumkan.
Aku merasa
cintanya terlalu sempurna sampai aku pernah takut apa masih ada laki-laki kedua
yang bisa menjaga dan mencintaiku hampir seperti beliau?
Bukan hanya
itu, aku juga takut, beliau terlalu cepat pergi sebelum aku menemukan lelaki
kedua yang aku cintai setelahnya.
Kulihat
matanya sedikit terbuka, lalu aku menutup muka pura-pura memejamkan mata.
*Tulisan ini terinspirasi dari lagu Yang Terbaik Bagimu—Ada Band
Alasan terinspirasi lagu ini karena sedang rindu ayah di rumah
Teringat masa kecilku
Kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu
Buatku melambung
Disisimu terngiang
Hangat nafas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi
Serta harapanmu
Kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu
Buatku melambung
Disisimu terngiang
Hangat nafas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi
Serta harapanmu
Kau ingin ku menjadi
Yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu
Jauhkan godaan
Yang mungkin kulakukan
Dalam waktuku beranjak dewasa
Jangan sampai membuatku
Terbelenggu jatuh dan terinjak
Yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu
Jauhkan godaan
Yang mungkin kulakukan
Dalam waktuku beranjak dewasa
Jangan sampai membuatku
Terbelenggu jatuh dan terinjak
Reff :
Tuhan tolonglah sampaikan
Sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji
Tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya
Ku mencintaimu
Kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu
Tuhan tolonglah sampaikan
Sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji
Tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya
Ku mencintaimu
Kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu
Andaikan detik itu
Kan bergulir kembali
Kurindukan suasana
Basuh jiwaku
Membahagiakan aku
Yang haus akan kasih dan sayangmu
Tuk wujudkan segala sesuatu
Yang pernah terlewati
Kan bergulir kembali
Kurindukan suasana
Basuh jiwaku
Membahagiakan aku
Yang haus akan kasih dan sayangmu
Tuk wujudkan segala sesuatu
Yang pernah terlewati
6 komentar
Keceeee😍
BalasHapusMakasih yang lebih kece
HapusHiks hiks...love you bapak
BalasHapusHiks T.T
HapusMbak Anik, aku baper banget hbs baca ini. Tulusnya seorang bapak utk anaknya. Jadi teringat almarhum bapak. Bapak adalah sosok tak tergantikan bagi anak perempuannya.
BalasHapusSaya nulis ini juga baper, Mbak. T.T
Hapus