Yang Terbaik Bagimu

by - 00.58


Aku mengamatinya dari jarak sedekat ini. Menikmati setiap lekuk wajahnya yang telah berkerut, pipi cekung, rahang kokoh, dan rambutnya yang mulai beruban.

Aku memang rindu berada di dekatnya seperti ini. Ingin menciumnya, tapi kuurungkan. Atau hanya melingkarkan tangan pada tubuhnya, aku merasa sangat malu. Bukan karena apa-apa, tapi karena aku sudah dewasa. Dan sudah lama tak melakukannya. 

Sudah lama aku tak merasa geli saat pipiku disapu dengan kumis tebalnya. Atau tangan kasarnya mengusap wajahku saat memandikan.

Kuselimuti tubuhnya yang mulai menggigil kedinginan—seperti yang dilakukannya padaku saat  masih sekamar dengannya sewaktu kecil dulu.

Aku menatapnya begitu lama menangkap raut-raut kebahagiaan. Lebih tepatnya, kebahagiaan yang selama ini dibuat-buat. Ah, tidak. Mungkin dia memang bahagia dengan versinya sendiri. Kebahagiaan yang sulit kupahami maknanya.


Pandanganku mengabur. Ada bulir-bulir yang tercipta di sudut kelopak mata. Kubiarkan. Perasaanku bergejolak. Perasaan rindu, sayang, bahkan cinta. Ingin sekali rasanya aku memeluknya untuk malam ini saja. Tapi, aku tidak punya keberanian untuk melakukan. Aku terlanjur malu karena aku bukan lagi putri kecilnya yang bisa melakukan semauku.

Aku tidak lagi insomnia karena terjerat bayang wajahnya. Dia berada di sampingku, tapi anganku melayang begitu saja mengingat kepingan cerita yang terjalin dengannya beberapa hari lalu.

***
 “Kalau sudah hilang lalu diapakan? Ya sudah, ikhlaskan saja,” jawabnya tenang. Aku masih terisak dibalik telepon.

Aku masih terbius dengan kejadian yang terjadi kemarin. Semenjak saat itu, aku tidak banyak bicara pada siapa pun. Entah, bingung, heran, sedih, semuanya berbaur menyesakkan.

“Jumat bapak transfer, ya. Beli laptop baru,” ucapnya tiba-tiba.

Aku bingung, apakah harus senang atau sedih mendengar ucapannya itu.

Aku bukan lagi anak kecil, Pak. Aku tidak girang saat mendapat laptop baru. Bukan itu yang aku pikirkan, tapi dirimu. Aku mengkhawatirkanmu. Sungguh! Dibalik ucapan itu pasti tersimpan sepotong rasa yang tak akan pernah kau jelaskan padaku.

“Bapak ada uang?” tanyaku ragu-ragu. Isakku berhenti sesaat.

Beliau pasti tahu uang yang dikeluarkannya tidak berjumlah sedikit. Tapi entahlah, terdengar dari suaranya, beliau begitu merasa enteng menyebutkan nominal.

“Ada. Bapak punya tabungan,” jawabnya meyakinkan.

Aku terdiam sangat lama, begitu juga beliau. Terdengar embusan napasnya dibalik telepon. Aku tahu ada Ibu di sampinya, tapi beliau hanya diam menyimak obrolan kami.

“Apa Bapak belikan di sini nanti dipaketkan ke sana?” tanyanya lagi.

“Tidak usah,” jawabku dengan suara serak.

“Lalu? Bapak antar ke sana?”

“Tidak perlu.”

“La trus?”

“Nunggu laptopnya dikembalikan sama orangnya,” jawabku dengan konyol.

“Masa iya ada orang nyuri trus dikembalikan?” Ada tawa yang ditahannya.

Rasanya ingin aku menertawai diriku sendiri. Entah, siapa yang membisikkanku jawaban konyol itu. Ada rasa tidak tega yang menyusup. Perasaan haru merambati diriku.

“Bapak belikan, ya. Laptop kan sudah menjadi kebutuhan penting untuk kuliah.”

“Aku selama ini terlalu merepotkan Bapak,” kataku dengan tersengal-sengal. Tangisku pecah tapi kutahan. Aku menyembunyikan tangis. Kututup mulut dengan tangan kanan.

“Merepotkan apa? Bapak selama ini tidak pernah merasa direpotkan anak-anak bapak,” jawabnya dengan halus.

“Aku minta maaf, Pak. Belum bisa memberi malah sering meminta. Maaf atas kecerobohanku menambah beban Bapak. Padahal ini awal semester, pasti memerlukan biaya yang lebih.”

Nduk, sebelum kamu menikah, kamu masih menjadi tanggung jawab Bapak.”
Terdengar ucapannya yang begitu tulus. Nadanya tenang dan begitu halus, tapi seperti pisau yang menyayat begitu pelan.

***
“Adakalanya Allah mengambilnya dari kita untuk mengingatkan ada hak orang lain pada harta yang dititipkanNya,” jelas Bapak beberapa menit setelah sampai di kamarku.

Beliau duduk di pinggiran tempat tidur. Aku di sampingnya duduk manis sambil menunduk dan memainkan kaki.

“Aku hanya takut ada orang yang tidak suka.  Mengingat kronologisnya sangat aneh, aku merasa pelakunya kenal dekat denganku.”

“Maka dari itu, kita harus lebih baik kepada siapa pun. Dan lebih berhati-hati lagi dalam bersikap.”

“Aku hanya ingin tahu siapa pelakunya, Pak,” kataku lirih.

“Untuk apa?”

“Penasaran.”

“Percuma, nanti kamu pasti marah lalu sakit hati. Sudahlah, ikhlaskan saja! Itu akan mengurangimu bebanmu. Biar itu menjadi urusannya dengan Allah.”

Ah, bapak. Jarang kutemui beliau berbicara sepanjang ini. Padahal beliau selalu irit bicara. Aku tertegun mendengar nasihat-nasihatnya.

“Seharusnya kamu bersyukur tidak dipertemukan dengan pelakunya. Kalau iya, pasti keselamatanmu juga terancam. Apalagi kamu saat itu sedang mandi, iya kalau pelakunya perempuan, kalau laki-laki?” tanyanya begitu menohok perasaanku.

Mataku membulat menatapnya.

“Intinya, ada banyak hal yang masih disyukuri. Keselamatanmu lebih penting.”
***
Genangan hangat itu berhasil meleleh di pipiku. Bapak terlalu baik, batinku. Entah berapa banyak air mata yang tumpah. Seperti mendung yang memberati wajah langit, itulah perasaanku. Meski beliau berulang kali menenangkan, ada banyak beban yang masih memberat kurasakan.

Aku tahu, beliau bukan orang kaya yang bisa membeli apa saja. Andai saja aku meminta gadget atau model pakaian terbaru mungkin beliau tidak akan semudah itu menuruti. Ini bukan tentang nominal, tapi tentang kebesaran hatinya.

Aku menangis haru merasakan kasih sayangnya yang begitu tulus. Perhatiannya yang selalu datang bertubi-tubi tanpa pernah kuminta. Cara menjaganya yang begitu mengesankan. Dan segala hal tentangnya yang begitu mengagumkan.

Aku merasa cintanya terlalu sempurna sampai aku pernah takut apa masih ada laki-laki kedua yang bisa menjaga dan mencintaiku hampir seperti beliau?

Bukan hanya itu, aku juga takut, beliau terlalu cepat pergi sebelum aku menemukan lelaki kedua yang aku cintai setelahnya.

Kulihat matanya sedikit terbuka, lalu aku  menutup muka pura-pura memejamkan mata.


*Tulisan ini terinspirasi dari lagu Yang Terbaik Bagimu—Ada Band
 Alasan terinspirasi lagu ini karena sedang rindu ayah di rumah 


Teringat masa kecilku
Kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu
Buatku melambung
Disisimu terngiang
Hangat nafas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi
Serta harapanmu
Kau ingin ku menjadi
Yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu
Jauhkan godaan
Yang mungkin kulakukan
Dalam waktuku beranjak dewasa
Jangan sampai membuatku
Terbelenggu jatuh dan terinjak
Reff :
Tuhan tolonglah sampaikan
Sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji
Tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya
Ku mencintaimu
Kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu
Andaikan detik itu
Kan bergulir kembali
Kurindukan suasana
Basuh jiwaku
Membahagiakan aku
Yang haus akan kasih dan sayangmu
Tuk wujudkan segala sesuatu
Yang pernah terlewati




You May Also Like

6 komentar

  1. Mbak Anik, aku baper banget hbs baca ini. Tulusnya seorang bapak utk anaknya. Jadi teringat almarhum bapak. Bapak adalah sosok tak tergantikan bagi anak perempuannya.

    BalasHapus