Obrolan Di Malioboro
Doc. Pribadi |
Aku berjalan
tergesa-gesa keluar dari sebuah mushola kecil di dekat Jalan Malioboro.
Berjalan dengan serius menatap layar ponsel yang terang menyala.
“Mbak
di mana?”
Kukirimkan
sebuah pesan whatsapp pada seorang teman yang kukenal kurang lebih tiga tahun
lalu melalui facebook. Wanita asli Jogja yang belum pernah kutemui ini, sering
berkomunikasi denganku melalui media sosial dan koresponden. Usia kami terpaut kurang lebih lima tahun.
“Aku di
depan plang tulisan Jalan Malioboro.”
Kubaca
balasan pesannya. Aku melihat sekitar. Tak kutemui seseorang yang mirip dengan
foto yang dikirimkannya tadi siang.
Dia
selama ini tidak pernah mengunggah fotonya di media sosial. Sehingga aku sulit
untuk mengenali wajahnya. Berkali-kali aku melihat foto yang dikirimkannya.
“Aku juga
di dekat tulisan itu,” balasku.
“Aku
memakai baju merah,” jawabnya.
Tanpa
membalas pesannya, aku berjalan melihat setiap orang yang berlalu-lalang di
sekitarku. Setelah cukup lama mencari, aku melihat ada seorang wanita memakai
baju merah dengan jilbab corak merah putih mirip dengan foto yang dari tadi
kupandangi. Terlihat dari cara berjalannya, ada yang berbeda pada kakinya.
“Mbak?”
tanyaku sambil menyebutkan sebuah nama setelah berhenti tepat di hadapannya.
“Iya.
Anik?” tanyanya.
“Iya.”
Aku tersenyum lalu mengulurkan tangan bersalaman dengannya. Kulihat ada seorang
laki-laki bertubuh tinggi yang masih sangat muda di sampingnya. Aku tersenyum
dan menangkupkan tangan ke laki-laki itu. Dan dia membalasnya sambil tersenyum tipis.
Laki-laki
berkulit bersih itu berbicara pelan kepada temanku, lalu berjalan menjauh pergi
meninggalkan kami berdua. Baru saja kami berbicara sepatah dua patah kata,
hujan turun tiba-tiba.
Aku menggandeng
tangannya sambil berjalan cepat. Kami duduk di sebuah kursi kayu beratapkan
seng putih di belakang halte Trans Jogja.
“Bagaimana
kalau kita makan di angkringan saja?” Dia menawarkan.
“Boleh,”
jawabku sambil membaca daftar menu yang tertulis jelas di depan angkringan belakang tempat kami
duduk.
Mataku mencari
menu yang harus kucicipi di kota ini.
“Sepertinya
nasi gudeg enak,” ucapku tiba-tiba.
“Kamu
belum pernah makan gudeg?”
Aku
menoleh ke arahnya. “Sudah, waktu di Kediri. Tapi belum lengkap kalau ke Jogja tidak
makan gudeg,” kataku.
Sambil menunggu
pesanan datang, aku dan dia mengobrolkan banyak hal, entah tentang menulis, toko
buku di Jogja, bahkan tentang masalah pribadi kami. Meskipun selama ini kami
hanya mengenal melalui media sosial dan berada di jarak yang jauh tak
tersentuh, tapi kami sudah saling percaya untuk berbagi beberapa hal pribadi,
meskipun tidak keseluruhan.
“Tadi
adiknya Mbak?” tanyaku sambil mengaduk-aduk teh hangat pesanan kami yang baru
datang.
“Iya,”
jawabnya pelan.
“Kalau
pergi kemana-mana Mbak selalu diantar?”
“Iya,
kakiku sakit tidak bisa naik kendaraan.”
“Oh.”
Aku tidak
menanyakan terlalu jauh apa yang terjadi dengan kakinya, hanya yang kutahu
ukuran kakinya terlihat tidak sama.
Penasaranku
dari kemarin sudah terjawab. Pikirku, kenapa dia tidak bisa keluar sendirian? Bertemu
dengannya memang sangatlah susah. Dia harus diantar oleh keluarganya ke mana
pun itu. Kemarin rencana kami bertemu gagal, karena keluarganya sedang ada
acara dan tidak bisa mengantar.
Bahkan,
dia sempat ingin naik kendaraan umum menemuiku, tapi dilarang oleh ibunya. Karena tidak terbiasa pergi jauh sendiri, ibunya sangat khawatir.
Hampir
setengah jam kami bercerita tentang hal-hal terbaru yang belum kami ceritakan. Aku
sedikit meliriknya. Diriku sibuk mengumpulkan keberanian untuk bertanya sesuatu.
“Mbak sudah
diizinkan berjilbab oleh ibu?” tanyaku dengan susah payah.
“Belum.”
Ada raut sendu yang terlukis jelas.
“Lantas,
kenapa saat ini bisa berjilbab?”
“Tadi
aku yang memaksa beliau. Aku bilang, setiap bertemu temanku, aku ingin
berjilbab. Lalu beliau mengizinkan, dan itu pun baju panjang yang kupakai ini lengannya
harus dilipat ke atas,” jelasnya sambil membuka jaket denim yang dipakainya.
Dia menunjukkan
lengan bajunya yang terlipat lalu dibuka lipatan itu. Bajunya dibiarkan terjulur panjang.
“Kenapa
ibu melarang Mbak berjilbab?”
Sebenarnya
dulu dia sudah pernah menceritakan alasannya kepadaku, dan aku masih ingat. Tapi
kali ini, aku menanyakannya lagi agar jawabannya terdengar lebih jelas.
Dulu dia
pernah bercerita, ibunya beranggapan bahwa orang berjilbab itu kuno. Dan aku
belum terlalu mengerti apa maksud dari ungkapan itu.
“Ibuku
itu sangat modis. Beliau beranggapan bahwa orang berjilbab itu cupu.”
Aku
terdiam cukup lama. Pura-pura mengaduk-aduk teh hangat yang gulanya sudah
benar-benar larut. Meneguknya sekali dua kali untuk mencari-cari alasan kenapa
aku diam.
Setelah
itu, aku menyibukkan diri menyendokkan nasi gudeg yang dari tadi kuanggurkan
karena asyik berbicara dengannya. Sebenarnya, aku bukan sibuk menikmati
hidangan malam ini. Aku sibuk menata perasaan.
Ada perasaan
berkecamuk pada diriku. Aku membisu karena terharu. Terpaku di tempat, karena
terbius mendengar cerita-ceritanya. Sesekali memejamkan mata, pura-pura
menikmati embusan angin yang membelai manja. Padahal aku sedang tertatih
menahan air mata yang ingin terjatuh karena perasaanku mengharu biru.
Sempat terlintas
di pikiranku, Allah memberiku Islam dan iman terlalu mudah. Sampai aku lupa
caranya bersyukur. Semenjak mengenakan jilbab dari sekolah dasar sampai detik
ini, aku belum pernah mengucapkan syukur.
Aku belum
pernah berterima kasih kepada Allah karena dimudahkan untuk berjilbab dan
beribadah. Bahkan dilahirkan dari keluarga Islam dan mereka mengenalkan serta
mengajarkan segala hal tentang Islam sejak aku masih usia dini.
Aku memang sangat jahat. Menganggap berjilbab itu seperti makan tempe. Hal yang sangat biasa dan lumrah. Padahal bagi mereka yang sulit mengenakannya adalah hal yang istimewa.
Kukira,
larangan berjilbab itu hanya ada di sebuah perusahaan atau lembaga. Diskriminasi berjilbab
hanya ada di negara nun jauh di benua seberang sana. Ternyata di sebuah keluarga Islam di negara ini juga ada. Dan aku
mendengarnya sendiri.
Sepiring
nasi gudeg telah tandas. Setelah berhasil menata perasaan dan kurasakan rasa
sesak yang dari tadi menelusup perlahan mulai hilang, aku kembali membuka
pembicaraan.
“Selalu
doakan ibu, Mbak. Semoga Allah memberi hidayah kepada beliau.”
“Aamiin.
Sebenarnya aku sudah sangat ingin mengenakan jilbab,” katanya. Aku menatapnya. Terlihat
kedua bola matanya yang tertutupi kaca mata berlensa tebal berbingkai hitam menyiratkan
sebuah keyakinan.
“Sudah pukul
delapan. Ibu menyuruhku segera pulang,” ucapnya sambil melihati layar ponsel. Mungkin
sedang membaca pesan dari ibunya.
“Maaf,
aku hanya bisa menemuimu dalam waktu yang sangat singkat.”
“Tak apa,
Mbak. Aku sudah sangat senang bertemu dengan Mbak.”
“Aku
hanya bawa ini untukmu.” Dia mengeluarkan sebuah buku yang masih bersegel dari
tasnya.
“Terima
kasih. Seharusnya aku yang membawakan sesuatu.” Aku menerima buku yang
bertuliskan namanya.
Allah memang
sangat romantis. Setahun lalu dia berencana mengirimkan buku itu ke alamatku,
tapi proses penerbitannya belum juga selesai. Dia sering bercerita kepadaku
karena kesal dengan penerbitannya yang sangat lama. Dan ternyata di balik itu
semua, Allah ingin memberikan buku itu kepadaku melalui sebuah pertemuan kami,
bukan melalui paketan seperti buku-buku yang sering dikirimkannya dulu.
“Bagaimana
kalau kita berfoto dulu di tulisan Malioboro sana?” tanyanya sambil menunjuk
tempat yang sedang ramai dikerumuni banyak orang.
“Ayo!”
Aku berdiri dari tempatku.
Setelah
membayar pesanan, aku berjalan pelan menyamakan langkahnya. Butuh waktu lama
untuk bisa berfoto di tempat yang kami inginkan. Banyak orang yang antre di
sana.
Setelah
selesai mengambil foto, dia dan adiknya berpamitan pulang.
“Semoga
ada kesempatan untuk bertemu lagi, Mbak,” ucapku sambil menyalaminya.
“Aamiin.”
Dia tersenyum ke arahku.
“Kamu
enak ya bisa kemana-mana. Sedangkan, aku cuma jadi anak rumahan. Jujur, sebenarnya
aku iri denganmu,” katanya yang membuatku kaget.
“Anak
rumahan yang bisa menerbitkan buku seperti Mbak itu lebih keren. Daripada aku
sering keluyuran tapi tulisan belum juga kelar.”
Dia
hanya tersenyum menanggapi ucapanku.
“Pasti
Mbak nanti punya kesempatan pergi kemana-mana. Aku juga anak rumahan yang hanya
kebetulan mempunyai kesempatan ke sini.”
Dia tersenyum
lalu pergi bersama adiknya. Kulihat dia semakin menjauh sampai punggungnya tak
terlihat lagi.
Semoga
Tuhan selalu menyertai langkahmu, Mbak! Dan terima kasih untuk obrolan yang tanpa kau sadari berhasil mengaduk-aduk perasaanku.
*Suatu
malam saat hujan turun di luar, tapi basahnya ada di pipi
5 komentar
Masya Allah....jleb. Nampar banget, Deek!
BalasHapusTernyata terlalu banyak hal yg kita gak benar2 bersyukur...Allahu.
Makasih sudah nulis reminder ini, Dek^^
Sama-sama. Ini self reminder juga buatku, Mbak :)
HapusAnik Salam ya untuk mbak yg nulis buku itu. Pernah inbox an ...lupa tapi namanya
BalasHapusIya, Mbak.
HapusOalah Mbak Wid kenal juga sama dia.
Terharu aku membacanya. Sekaligus tersentil pun berasa #selfreminder.
BalasHapus