Doa Yang Terlupa
Lirih
kudengar ada suara yang menyenandungkan lagu dari dalam. Kupandangi lekat-lekat
pintu kayu yang ada di hadapanku. Kuangkat tangan menyentuh daun pintu. Aku ragu-ragu.
Belum sempat
tanganku mengetuk, pintu coklat itu dibuka oleh pemilik kamar. Ada raut
kekagetannya yang tertangkap jelas. Aku segera melukis senyum menyambutnya.
“Alis!”
Dia menyebut namaku masih dengan ekspresi keterkejutan.
“Aku
boleh tidur di kamarmu malam ini?” Segera aku membuka suara agar dia tidak
berpikir macam-macam tentang keberadaanku yang diam-diam di depan kamarnya.
“Kau
takut tidur sendirian di kamar?” tanyanya dengan sedikit menahan tawa.
“Malam
ini terasa lebih horor dari biasanya. Kau tahu sendiri kan liburan ini hanya
ada kita berdua di kos sebesar ini?”
Kali
ini dia tertawa lepas sambil membukakan pintu lebar-lebar. “Ayo masuk!”
Aku
melihat sekeliling kamarnya yang selama ini belum pernah kumasuki. Tercium
wangi lemon dari pengharum ruangan yang menggantung di dekat meja.
Pelan aku
berjalan sambil mengamati dinding kamarnya yang bercat merah jambu. Ada
tempelan bunga plastik di atas tempat tidur. Aku duduk di pinggiran tempat
tidurnya. Dia duduk di kursi yang membelakangiku sambil memainkan laptopnya. Entah,
apa yang sedang dia kerjakan.
“Aku bisa
pinjam mukenamu? Aku belum sholat.” Dia menoleh ke arahku dengan membulatkan
mata hitamnya, lalu tersenyum lebar.
“Aku
tidak punya mukena,” jawabnya ringan. Sontak aku mengerutkan kening.
“Agamaku
Hindu.” Aku menelan ludah mendengar ucapannya.
Selama ini
dia memang tidak pernah menggunakan jilbab seperti temanku yang lain. Meskipun begitu,
kukira dia muslim. Karena banyak temanku muslim tidak menggunakan jilbab.
Aku memang
tidak terlalu dekat dengannya, bertemu saja jarang. Karena kesibukan
masing-masing. Komunikasi kita hanya sekadar menyapa di pertemuan tak sengaja.
“Oh,
maaf. Aku baru tahu.” Aku tersenyum tipis menahan malu. Dia tersenyum lebar
memaklumi.
“Lalu bagaimana?
Aku bisa mengantar ke atas untuk mengambil mukenamu.”
“Tidak
perlu. Tanpa mukena sebenarnya juga bisa. Jilbabku sudah panjang dan pakaianku
juga longgar, sudah bisa digunakan untuk sholat. Hanya saja, aku memang
terbiasa memakai mukena.”
Setelah
aku sholat, kuamati beberapa buku yang terjejer rapi di rak kayu pojok kamar. Sedangkan
dia masih menikmati kegiatannya di depan laptop. Sesekali dia mengajakku
berbicara untuk mengusir sunyi di antara kita.
“Nanti malam aku ada ibadah, apa kamu tidak
terganggu jika tidur di sini?”
“Ibadahmu tidak menggunakan suara keras, kan?” Aku menoleh
ke arahnya.
“Tidak.”
“Tak apa,” jawabku.
“Ibadah jam berapa?”
“Tengah malam.”
Aku sibuk membuka lembaran buku
yang kuambil. Tanpa kuminta, dia menceritakan tentang agamanya.
“Hari Kamis malam nanti adalah
hari raya agamaku. Selama tiga puluh enam jam mulai nanti malam aku harus berpuasa.”
“Hari raya apa? Setahuku Hindu
mempunyai banyak hari raya.”
“Hari raya Saraswati atau hari
pendidikan.”
“Oh.” Aku menggumam mendengar
penjelasannya.
Kulihat
ada kitab sucinya di rak paling atas. Hanya kubuka sekilas, tanpa membaca
detailnya. Karena aku tidak paham dengan isi kitab tersebut, kuletakkan lagi di
rak.
***
Serasa ada
awan yang menutupi pandanganku. Kuusap pelan kedua mata ini. Terlihat dia masih
tidur di sampingku dengan nyenyak. Mataku mencari-cari jam dinding. Terlihat jarum
pendeknya ada di angka dua belas. Jarum panjang menunjukkan menit ke sepuluh.
“Arum!”
Aku memegang bahunya pelan.
“Hmhm.”
Kulihat matanya masih menutup.
“Kau
tidak ibadah?”
Dia
segera membuka mata. Pandangannya langsung tertuju pada jam dinding yang
menggantung di dekat jendela. Dengan setengah malas, dia bangun. Tanpa ingin
tahu apa yang dia lakukan selanjutnya, dan bagaimana ritual ibadahnya, aku
melanjutkan tidur lagi.
Hanya
setelah itu, aku sempat terbangun dengan mata menyipit. Kulihat dia ibadah
dengan dupa yang ada di tangannya. Aku menghadapkan tubuh ke tembok lalu
memejamkan mata yang sudah memberat ini.
“Alis!” Kurasakan ada yang
menggoyang-goyangkan bahuku.
“Kenapa?”
suaraku terdengar berat.
“Ponselmu
dari tadi bunyi. Kulihat alarm sholat malam.” Aku terdiam sesaat mendengarnya. Ada
hal yang menyusup dalam benakku. Setelah kesadaranku telah penuh, aku bangun
dari pembaringan. Menyadari bahwa waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.
Ada perasaan
aneh yang merayapi hati ini. Aku berandai-andai, jika saja Arum beragama Islam.
Dia membangunkanku sholat, lalu kita berdampingan menyembah Tuhan yang sama. Betapa
indahnya bisa beribadah dengan saudara semuslim.
Aku menjadi
teringat dengan Rully teman SMP-ku dulu. Dia beragama Kristen. Dari awal masuk
sekolah, dia sangat akrab denganku. Setiap Minggu, aku menungguinya di depan
gereja untuk menjemput. Karena hampir setiap akhir pekan kita menghabiskan
waktu bersama setelah dia selesai ibadah.
Bahkan,
dia juga tidak segan menungguiku di depan Masjid kompleks perumahannya saat
ibadah Sholat Dhuhur. Yah begitulah, tolerasi memang indah, tapi akan lebih
indah jika bisa beribadah dengan teman sesama muslim.
Mengingat
hal itu membuatku tersenyum sesaat, meski kemudian pandanganku kabur oleh tirai
tipis yang jatuh sebagai butiran air saat kukatupkan pelupuk mataku.
Dalam sujud
di sepertiga malam ini, teringat bagaimana aku merasa asing dengan saudara
seimanku sendiri. Bagaimana aku tidak menemui keislaman dalam diri mereka.
Hatiku seperti
tertusuk belati saat aku ditertawai, dipandang aneh, bahkan dikatai dengan tidak
sepatutnya karena jilbab lebar yang kukenakan. Aku memang bukan orang yang suci
dan terlepas dari dosa. Aku hanya manusia yang kemarin sore mengenal Islam yang
sebenarnya.
Berpenampilan berbeda dari biasanya memang
akan dikomentari oleh banyak orang. Aku tahu itu. Tapi sungguh miris, jika hal
wajar yang dilakukan oleh seorang muslim malah dianggap miring oleh orang
muslim itu sendiri.
Jika ada
orang yang berbeda keyakinan denganku tidak bisa menerima apa yang kuyakini,
itu wajar. Tapi sungguh sakit, jika orang yang mengikrarkan dirinya
berkeyakinan sama denganku malah menolak keras kewajiban yang mencerminkan
keyakinan yang sama-sama kita yakini.
Sungguh,
bukan maksudku sok suci. Aku hanya ingin kita bisa berjalan beriringan menuju
jalanNya. Saling merangkul, menggandeng, bahkan menahan tangan saat ada yang
berbelok ke jalan yang salah.
Apa itu
hanya akan menjadi angan yang terbang begitu saja karena terhempas angin tanpa
pernah terwujudkan. Ada isak tangis yang kutahan, karena tidak ingin Arum
mendengarnya lalu bertanya terlalu jauh apa yang sedang terjadi.
Di tengah
aku merapalkan doa, kuingat sebuah nama yang begitu kurindui. Sosok orang yang
nasihatnya selalu bergaung dalam jiwaku. Dia yang pernah mengajakku untuk
selalu dekat denganNya, tapi pernah kuabaikan begitu saja.
***
“Daning!”
Kulihat
teman lamaku ini berbeda sekali dengan dulu. Setelah mengingatnya suatu malam
itu, aku berusaha mencari kontaknya dan mengajak bertemu.
Setetes
resah menyusup dalam benakku. Kulihat senyumnya yang dibingkai keyakinan
terlihat jelas.
“Kau memang
benar Daning, kan?”
“Memangnya
sudah berapa lama kita tidak bertemu, sampai kau memandangiku seperti itu?”
“Kau
beda dari yang dulu,” ucapku dengan ragu. Aku memandanginya dari ujung kaki
sampai kepala.
Kulit betisnya
yang putih tak tertutupi sehelai benang pun. Rambutnya yang kecoklatan
dibiarkan tergerai. Aku merasa sedang salah orang. Tapi tidak, di hadapanku ini
benar-benar Daning. Gadis yang pernah kutemui dengan jilbab lebarnya.
“Kau
sangat anggun dengan gamis dan jilbab ungu itu,” katanya.
Aku tersenyum
tipis dengan terpaksa. Kali ini pujiannya terasa sangat hambar.
Setelah
membicarakan banyak hal tentang diri kita, aku baru berani melontarkan
pertanyaan kepadanya.
“Jika
aku boleh tahu, apa yang membuatmu melepas jilbab?”
Dia
tersenyum dengan tanpa ada penyesalan. Kita terdiam cukup lama sibuk
mengaduk-aduk segelas minuman masing-masing. Sesekali kulihat dia mengedarkan
pandangan ke sekeliling tanpa pernah kudapati menatapku.
Cukup lama,
aku menunggunya menjawab. Aku tidak memaksa, hanya menunggunya bersedia
bercerita kepadaku.
“Alis,
dengarkan aku!” Dia mulai angkat suara. Duduknya menjadi tegak dan menatap
serius ke arahku. Aku balik menatap matanya.
“Bisa
jadi, aku seperti ini karena kau tidak pernah menyelipkan namaku dalam doamu.”
Aku
tersentak mendengar ucapannya. Mataku membulat menghujaninya dengan tatapan
tajam.
“Bukankah
hidayah itu dari Allah? Kau tidak bisa menyalahkan orang lain, itu pilihanmu.”
Kuusahakan suaraku tidak terlalu keras, meski darahku telah mendidih.
“Tenang,
Alis! Aku tekankan lagi, di awal sudah kukatakan tadi ‘bisa jadi’.” Dia
berbicara dengan nada yang sangat tenang.
Dia
mencuri waktu untuk mengambil napas, lalu kembali melanjutkan kalimatnya. “Kadang,
orang lain terlalu sibuk berdoa untuk dirinya sendiri tanpa ingat untuk
mendoakan saudaranya.”
“Apakah
kau pernah menyebut namaku dalam doamu?” tanyaku lirih.
“Aku
pernah dengar, saat kita mendoakan orang tanpa diketahui orang tersebut, maka
doa itu akan dikabulkan oleh Allah.”
Aku
membuang napas pelan.
*Terinspirasi dari obrolan tadi siang
9 komentar
Wow...
BalasHapusGood story with good point
Suka2 mbak
Makasih, mas. :)
HapusWow...
BalasHapusGood story with good point
Suka2 mbak
Keren nih tulisan. Ngena banget.
BalasHapusTapi memang benar begitu adanya. Miris.
Makasih, Mbak :)
HapusGet the point.
BalasHapusAs always urs, Dek. Keren!
Tulisan ini reminder sekali...
Makasih, Mbak. :)
HapusBagus. Point toleransinya ngena banget
BalasHapusMakasih, Mbak :)
BalasHapus