Jika Matahari Lupa Terbit
Aku terbangun masih di
tempat yang sama. Tempat yang menciptakan kebosanan dan perlahan-lahan menikam
dengan kejam lewat kesepian. Aku membuka mata yang masih merapat, menguap, lalu
menutup mulut dengan jemari yang masih hangat. Dingin yang kemarin malam
memeluk, kini menguap tergantikan kehangatan sinar matahari yang masuk melalui
lubang ventilasi.
Aku selalu benci jika malam
telah merayap menutupi sinarnya. Meski ada sinar lain yang sering dielu-elukan banyak
orang, tetapi tetap saja tidak bisa menggeser matahari untuk menduduki tahtanya.
Aku benci malam, karena selalu
menempatkanku dalam kesendirian. Hanya bertemankan sepi yang mencekam.
Gemerisik dedaunan dan sepoi angin yang menerbangkan rindu membuat hati terasa
ngilu.
Bagiku, malam selalu terasa
lama, karena aku tidak bahagia selama melewatinya. Tetapi aku mencoba menelan kembali rasa bosan dan kesepian yang membuatku
hampir mengumpat kesetanan. Kugantikan dengan ucapan syukur, karena Tuhan masih
mempertemukanku dengan paginya kali ini.
Kusibakkan korden hijau muda
yang berantakan di samping kiri, terlihat matahari gagah bertengger di langit
kebiruan. Saputan awan terlukis manis. Dia tersenyum melihatku
mengintip-ngintip malu di balik korden.
Dengan angkuh dia
menertawaiku. Dia tahu, banyak penduduk bumi yang begitu merindukan pagi atau
siang yang dirajainya, terlebih aku.
Meski aku gengsi mengakui dihadapannya, kuakui setiap kehangatan yang
direngkuhkan ke tubuhku telah menjadi candu. Membuatku selalu ingin bertemu,
meski hanya sekadar menatap dari kejauhan seperti ini.
Aku ingin berlama-lama
ditemaninya. Duduk di kursi kayu seraya memejamkan mata. Kulitku memanas menangkap
cahaya yang menelanjangi bumi di teras, lalu disuntikkannya vitamin D ke
tubuh mungilku. Atau bermalas-malasan di kasur yang mempunyai gravitasi tinggi
sambil menatapnya tiada henti dari jendela kamar.
Aku suka
kehadirannya. Adanya dia membuat semua orang menjadi sok sibuk dengan rutinitas
yang menjemukan. Hiruk-pikuk setiap sudut kota begitu menggelikan. Gaduh suara deru motor, peluit tukang parkir, atau klakson mobil yang
memekakkan. Semua terdengar seperti nada-nada tak beraturan. Atau bau rumput
yang baru dipotong pagi-pagi, bau tanah basah terbasuh hujan kemarin malam, dan bau menyengat sampah busuk yang teronggok
berantakan di gerobak kakek tua.
Banyak
orang menyambut gembira kehadirannya. Lalu beramai-ramai mengeluarkan semua pakaian basah,
adonan krupuk yang belum kering, atau bunga kamboja untuk
bahan parfum yang baru dipetiknya di
makam sebelah rumah. Semua diletakkan di depan rumah. Terpanggang sinarnya
tanpa terbakar. Dengan begitu, banyak orang bisa mengais rezeki dari sinarnya
yang begitu menyegat tapi bermanfaat.
Semua itu
lebih baik, dari pada bau melati atau kemenyan yang mengurapi bulu hidung. Atau suara gaduh wanita tanpa bentuk dan langkah kaki
yang tidak menyentuh lantai setiap malam.
Aku ingin bermain-main
dengannya. Kadang, dia menggodaku dengan bersembunyi di balik awan. Lalu semua
mendadak redup. Aku mematung menunggunya meninggalkan tempat persembunyian. Mendongak
menatap langit mencari-cari jejaknya. Tetapi ,dia malah meneteskan air langit
ke hidung kecilku. Rinai hujan telah menggantikan perannya.
Hatiku bercokol. Dia pergi
tanpa pernah pamit. Awalnya panas terik, lalu tiba-tiba pergi dan menyisakan
hujan rintik-rintik. Setelah cukup puas membuatku nyaris gila menunggu,
tiba-tiba dia menampakkan diri dengan senyum tanpa dosa. Aku memberengut karena
selalu kalah olehnya.
Dia selalu bisa mencuri
hatiku tanpa terlihat seperti praktik pencurian. Diam-diam mengenalkanku dengan
temannya. Bias cahaya yang membuat langit warna-warni, orang-orang menyebutnya
pelangi. Terukir senyum di bibirku saat melihat ukiran warna di langit luas. Itulah
alasanku, tidak pernah bisa berlama-lama marah dengannya.
Selalu saja, aku kalah dalam
perihal rindu. Tak pernah bisa menahan diri untuk bertemu, dan lupa waktu jika
dia sedang membersamaiku.
Ingin sekali, dia keasyikan
denganku lalu lupa untuk pergi atau kembali ke tempat peraduannya. Aku ingin
dia tetap menggantung di sana. Nyatanya, dia diciptakan tanpa sifat lupa, selalu
taat menjalankan titah penciptanya.
Ah, lagi-lagi aku sangat
bodoh. Bagaimana jika dia itu pelupa. Terlalu asyik tertidur lalu lupa terbit,
hingga di bumi tak ada lagi pagi. Semua selalu gelap mencekam dan menakutkan. Tak
ada lagi kata terang, semua terlihat kelam.
Tidak ada lagi adegan orang berbondong-bondong memenuhi jemuran, tidak ada lagi tebaran padi basah di depan rumah, dan tidak ada suara kriukan krupuk saat makan karena adonan krupuk masih membasah. Lalu semua penduduk bumi tidak lagi bersuka cita karena ketiadaannya, lalu mendadak semua jadi gila.
Tidak ada lagi adegan orang berbondong-bondong memenuhi jemuran, tidak ada lagi tebaran padi basah di depan rumah, dan tidak ada suara kriukan krupuk saat makan karena adonan krupuk masih membasah. Lalu semua penduduk bumi tidak lagi bersuka cita karena ketiadaannya, lalu mendadak semua jadi gila.
Atau dia lupa peredarannya. Tak
kulihat dia terbit di ufuk timur, tetapi di ufuk barat menyambut pagi. Mungkin
itu akan menjadi pagi yang terakhir untukku. Dulu dia sangat jauh di atas langit, lalu mulai mendekat tepat di atas kepala menemaniku di tengah lapang bersama semua penduduk bumi. Keringatku bercucuran deras dan menenggelamkan tubuhku.
4 komentar
Ihh kerenn bgttt😍😍
BalasHapusMasya Allah ... ngalir banget baca tulisan Mbak Anik, renyah dibaca dan mudah dipahami pesannya.
BalasHapusTapi, mungkin deskripsi perasaan nya masih kurang Mbak Anik. Hehe *itu menurutku sih yg masih awam😅
Hehehe keren..panjang
BalasHapusWow
BalasHapus