Sepucuk Surat Merah Hati (22-End)
Aku
meminta mama untuk mengantar ke salon langganan kami. Aku ingin merapikan
rambut yang kupangkas tak jelas. Panjang-pendek tak beraturan. Untuk menutupi
malu, sekarang aku menutupi kepalaku dengan kupluk rajutan yang dibuatkan mama
beberapa tahun lalu.
Saat
menunggu antrean panjang, aku membaca majalah yang tertata rapi di rak pojokan
dekat pintu masuk. Kulirik mama juga sedang membaca majalah di sampingku.
“Ma.”
Aku menutup majalah yang ada di tanganku.
“Hmhmh.”
Mama masih sibuk dengan majalahnya.
“Kok
kemarin malam tidak ada martabak lagi di depan rumah?”
Mama
tertawa kecil mendengar pertanyaanku.
“Kenapa?
Hanna kangen martabak gratisan?” Aku melongo mendengar ucapan mama. Beliau
tertawa kecil sambil menatap majalahnya.
“Ya,
bukan. Tapi....” Ucapanku menggantung tak terselesaikan dipotong kalimat mama.
“Dimas sudah Mama ceramahi panjang kali lebar kali tinggi. Tenang, dia tidak
akan berani lagi datang.”
Aku
tersenyum lega memandang beliau. “Kenapa senyum-senyum, Han?” Ternyata mama
melirikku dari tadi.
“Aku
merasakan keanehan,” jawabku.
“Apa?”
Kening mama berkerut langsung menatapku.
“Aneh
saja. Mungkin seperti ini rasanya orang move
on, Ma. Mengingat sesuatu yang sakit dengan tersenyum, bahkan tertawa.”
Mama tersenyum tipis mendengar ucapanku.
“Aku
ingin menertawai diriku sendiri yang pernah tinggal di rumah sakit jiwa.” Mama
tertawa memukul lenganku dengan majalah. Aku menahan tawa sekaligus malu.
Kulihat
Lusi, pemilik salon, berjalan menghampiri kami.
“Lama
tidak datang ke sini. Mau potong rambut siapa?”
“Aku,”
jawabku sambil membuka kupluk saat suasana salon sudah sepi.
“Rambutmu?”
Lusi terbelalak kaget melihatku. Aku hanya cengengesan di depannya.
“Kok
bisa?” Dia memegangi rambutku berpindah dari helai satu ke helai lainnya.
“Sedang
ingin gaya baru,” jawabku asal. “Cukup dirapikan saja, Lus.”
Setelah
mematut di cermin begitu lama dan kupastikan rambutku benar-benar rapi, kupakai
kuplukku lagi. Aku tidak percaya diri dengan rambut pendekku saat ini. Mungkin
setelah rambutku mulai panjang, akan kulepas kupluk ini jika keluar rumah.
Setelah membayar pada Lusi dan mengobrol kecil, aku mengajak mama pulang.
Saat di
depan pintu salon, pandanganku bertemu dengan seseorang yang juga keluar dari
distro yang letaknya tepat di samping salon Lusi. Dia menatapku begitu lama. Kuamati
wajahnya masih sama seperti saat itu. Mata hitam dan pipi tirusnya sangat
kukenali. Apalagi, kacamata gagang hitam yang bertengger di hidungnya yang kecil.
“Hanna!”
“Randu!”
Mungkin
jika aku tidak berpura-pura gila, aku tidak akan memangkas rambutku. Tidak akan
masuk rumah sakit jiwa dan datang ke salon Lusi. Serta tidak bertemu dengannya
lagi. Tuhan selalu membuat pertemuan-pertemuan tak terduga. Menghadirkan tokoh
baru di skenario selanjutnya.
Aku hanya
tahu awal sebuah cerita, tetapi tak pernah tahu bagaimana Tuhan mengakhirinya. Yang
kutahu, aku harus terus berjalan memainkan skenarioNya.
Terima
kasih untuk kesempatan mengenalmu, itu adalah salah satu anugerah terbesar
hidupku. Cinta memang tidak perlu ditemukan, cintalah yang akan menemukan kita.
Terimakasih. Nasihat lama itu benar sekali, aku tidak akan menangis karena sesuatu telah berakhir, tapi aku akan tersenyum karena sesuatu itu pernah terjadi.
Masa lalu. Rasa sakit. Masa depan. Mimpi-mimpi. Semua akan berlalu, seperti sungai yang mengalir. Maka biarlah hidupku mengalir seperti sungai kehidupan.
Terimakasih. Nasihat lama itu benar sekali, aku tidak akan menangis karena sesuatu telah berakhir, tapi aku akan tersenyum karena sesuatu itu pernah terjadi.
Masa lalu. Rasa sakit. Masa depan. Mimpi-mimpi. Semua akan berlalu, seperti sungai yang mengalir. Maka biarlah hidupku mengalir seperti sungai kehidupan.
[Tentang kamu- Tere Liye]
1 komentar
Rasa sakit memang harus dilewati..
BalasHapus